Hiriety mengerang, suara yang nyaris putus asa, mengungkapkan kenikmatan yang melampaui batas. Bola matanya terpejam erat, rambutnya berantakan, tubuhnya bergetar tak terkendali. Sensasi yang diberikan Marco jauh lebih intens, jauh lebih memuaskan daripada apapun yang pernah ia alami sebelumnya. Bahkan Erasmus, sang dosen tampan yang selalu memanjakannya, tidak pernah bisa membuatnya merasakan hal seperti ini.
Marco, dengan instingnya yang tajam, mengetahui setiap titik sensitif Hiriety dengan sempurna. Ia merangsang Hiriety dengan penuh perhitungan. Ia menikmati reaksi Hiriety, menikmati erangannya yang penuh gairah, menikmati bagaimana tubuh Hiriety bergetar di bawah sentuhannya.
"Hahh…" Hiriety mendesah panjang, suara yang penuh kenikmatan dan juga kepuasan. Sensasi panas mengalir keluar dari inti tubuhnya, membanjiri seluruh tubuhnya dengan gelombang kenikmatan yang luar biasa. Ia merasa melayang, merasakan dirinya tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tak
Mata abu Hiriety terbuka. Cahaya samar dari lampu meja menciptakan bayangan lembut di langit-langit kamar. Dia mengerjap, lalu melirik jam di atas nakas: pukul tiga pagi. Tapi Marco sudah berdiri di depan cermin, mengenakan setelan kemeja gelap. Raut wajahnya tenang, tapi matanya memancarkan gelisah yang tak bisa disembunyikan.Ditatapnya Marco, lama, dalam diam.“Kau pergi sepagi ini?” gumam Hiriety akhirnya. Suaranya serak karena masih setengah terjagaMarco menoleh perlahan “Pesawatku jam empat” jawabnya pelan. “Aku tidak ingin membangunkanmu.”“Oh.. artinya kau mau pergi tanpa pamit?” balas Hiriety pendek, duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.Marco menghampirinya, ia berlutut di sisi ranjang, diusapnya kepala Hiriety “Mau menahanku?” Dia bertanyaHiriety tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Matanya yang masih berat menatap sosok Marco di depannya. Pijar lampu tidur
Hari itu, langit Milan menggantung mendung tipis. Tapi langkah Marco dan Hiriety justru ringan—atau setidaknya, penuh arti.Mobil yang dikemudikan Marco tidak menuju kawasan eksklusif Brera, bukan pula ke butik-butik mewah di Via Montenapoleone. Marco membawa mobilnya keluar kota, melintasi jalanan sempit yang mengarah ke pinggiran industri tua di selatan Milan, di mana cat tembok sudah mengelupas dan toko-toko kecil berdiri rapuh di antara gudang-gudang tua.Hiriety bersandar di kursi penumpang, mengenakan hoodie kebesaran dan kacamata hitam, tangannya memegang sebatang rokok elektrik yang sesekali ia hirup dengan malas.“Kau benar-benar membawaku ke tempat paling jelek.”Marco melirik ke arahnya dengan senyum tipis. “Kau bilang ingin lihat aku jalan di lumpur.”“Dan sekarang?” tanya Hiriety, menoleh padanya. “Kau merasa lebih rendah dari biasanya?”Marco menginjak rem pelan dan memarkir
Hiriety menatap langit kamarnya, senyum tipis terukir dibibirnya begitu mengingat aktifitas mereka tadi malam“Ada enaknya juga berperan sebagai submissive” Gumamnya pelanHiriety beralih menatap Marco yang tertidur disebalahnya. Napas pria itu teratur, wajahnya tenang, berbeda jauh dari tatapan tajam dan penuh dominasi yang ia tunjukkan sebelumnyaHarus Hiriety akui jika dominasi Marco adalah yang terbaik diantara semua laki-laki yang bersamanya bahkan melebihi Denzel“Padahal kau yang paling minim pengalaman” gumamnyaHiriety menjangkau tangannya, menelusuri garis rahang Marco dengan lembut. Jari-jarinya berhenti sejenak di atas bibir Marco, mengingat sentuhan panas dan juga kasar dari ciuman mereka tadi malam. Ia tersenyum kecil, menikmati rasa puas yang memenuhi dirinya. Ia tahu bahwa ia telah menguasai permainan ini, bahwa ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan.“Kau benar-benar terjebak padaku Marco Val
Pesawat pribadi Marco mendarat di Milan pada pagi hari yang mendung. Langit kelabu seperti suasana hatinya. Ia turun dari jet tanpa banyak bicara, hanya menyambar coat hitam panjangnya dan melangkah cepat menuju mobil yang sudah disiapkan.Yurid, asistennya, sempat mengejarnya di landasan. “Tuan, setidaknya beri saya waktu menyusun jadwal ulang untuk pertemuan—”“Batalkan semuanya.” suara Marco datar tapi tajam. “reschedule untuk lusa” perintahnyaMobil melaju cepat menuju apartemen Hiriety. Sepanjang jalan, Marco duduk gelisah di jok belakang, menggertakkan gigi, tangan mengepal, dan jemarinya tak bisa diam. Wajah Hiriety semalam terus terbayang dalam pikirannya—dengan ekspresi licik, dengan senyum tipis yang menyembunyikan terlalu banyak hal.Begitu tiba di apartemen, dia bahkan tak menunggu lift. Ia naik satu per satu anak tangga dengan langkah besar dan terburu-buru. Jantungnya berdetak kencang bukan kar
Hiriety senang menggoda Marco tapi lama-kelamaan dia jadi bergairah sendiri. Membayangkan apa yang Marco lakukan dengan foto-foto bugilnya jelas membuat fantasinya bekerja tanpa terkontrol“Sialnya kau kuat juga tak menelepon atau membalas pesanku” Gerutu HirietyHiriety meletakkan ponselnya di meja rias, jari-jarinya masih sedikit gemetar karena gairah yang baru saja ia rasakan. Membayangkan Marco melihat foto-fotonya, merasakan keinginan yang sama seperti dirinya, telah membangkitkan hasrat yang membara dalam dirinya. Ia merasa sedikit malu, namun juga sangat terangsang.Hiriety meraih laptopnya. "Mari kita akhiri permainan ini" gumamnya, sebelum memulai video call dengan Marco melalui perangkat yang lebih besarMarco yang sedang sibuk dengan tangannya sambil menatap foto Hiriety nampak tak terkejut ketika kekasihnya itu melakukan panggilan videoKoneksi terhubung, dan wajah Hiriety muncul di layar. Ia terlihat cantik, bahkan lebih me
Yurid menuju ruang kerja Marco dengan senyum lebar. Kontrak akusisi yang telah ditandatangani ada ditangannya namun begitu membuka ruang kerja Marco, senyum lebarnya dengan cepat berubah menjadi kaku.Yurid bahkan nampak tak berani buka suara karena ekspresi tak mengenakan di wajah MarcoAtasannya itu bahkan mengeluarkan umpatan. Rahangnya mengeras, dan aura kemarahan menyelimuti seluruh ruanganYurid menelan ludah, langkahnya terhenti. Kontrak di tangannya seketika terasa tak ada artinya. “Tuan…” gumamnya pelan. Tapi Marco tak langsung merespons.“Diam sebentar” ucap Marco akhirnya, suaranya rendah tapi tajam seperti pecahan kaca.Yurid diam sejenak, berusaha membaca situasi. Tapi saat Marco membalikkan badan dan memperlihatkan ekspresinya—mata merah, wajah tegang—Yurid tahu lebih baik tidak bertanya.Rekaman video dari kamera pengintai restoran. Di situ, terlihat jelas: Hiriety, duduk dengan seorang
Jangan sebut dia Hiriety Berdine Walton jika dia takut pada ancaman Marco.Justru, semakin Marco mencoba mengikatnya, semakin ia ingin melepaskan simpul itu. Baginya, bukan Marco Valley namanya kalau tak dibakar cemburu. Dan bukan Hiriety jika tak bermain di ujung batasnya.Jadi malam itu, selepas galeri ditutup dan tamu-tamu mulai berpamitan, Hiriety masih berdiri di depan lukisan terakhir—lukisan abstrak berwarna biru tua dan merah bata, konon menggambarkan konflik batin dan gairah tak terucap.Tapi ada alasan sendiri kenapa dia tetap terpaku pada lukisan itu.Lukisan itu bukan sekadar warna dan bentuk yang menggugah perasaan—itu adalah karya seniman besar yang asli hanya ada tiga di dunia. Harganya jutaan dolar.Dan Hiriety tahu persis bahwa yang terpajang malam ini… adalah yang palsu.Ia melangkah pelan mendekat, menatap detail goresan kuasnya. Warna biru tua yang seharusnya menyerap cahaya malah sedikit memantul. Dan
Bandara Malpensa dipenuhi orang-orang yang tergesa, namun Marco berjalan lambat, seperti tak ingin benar-benar meninggalkan Milan. Ia menoleh ke belakang beberapa kali, berharap Hiriety tiba-tiba muncul dan berkata “Sudah, batalkan saja penerbangannya.”Tapi yang ditatap hanya deretan pintu kaca dan pantulan dirinya sendiri.14 jam penerbangan dari Milan dan Washington tak mengurangi performa MarcoMarco tiba di kantornya dengan langkah cepat dan tegas. Seperti yang ia khawatirkan, perasaan terhadap Hiriety tak sekadar mengganggu—itu mendominasi segala hal dalam hidupnya. Namun, kini ia berdiri di lorong dingin gedung perusahaan, siap menghadapi pertemuan penting yang bisa menentukan masa depan akuisisi DormanTech.Ruang rapat di lantai tertinggi sudah penuh dengan wajah-wajah serius yang memandangnya dengan harap-harap cemas. Mereka tahu betul siapa Marco Valley, namun mereka juga tahu bahwa satu keputusan salah dapat menghancurkan sega
Pagi itu, sinar matahari yang lemah menyusup melalui tirai tipis kamar Hiriety. Hiriety masih menggeliat malas di bawah selimut ketika ponsel Marco berdering pelan di meja samping ranjang.Marco meraih ponsel dengan satu tangan, berusaha tidak membangunkan Hiriety yang bersandar di dadanya.Nama Yurid tertera di layar—asisten kepercayaannyaMarco menjawab dengan suara rendah, “Ya?”“Tuan, Dewan Direksi ingin mengatur pertemuan darurat. Ada perkembangan terkait akuisisi DormanTech. Anda bilang akan ke Washington akan kembali hari ini kan? Tanggal 18” suara Yurid terdengar tegas, penuh urgensi.“Hmmm siapkan penerbanganku malam ini”“Baik Tuan”Marco menutup panggilan itu dengan gumaman tak senang. Ia mendesah berat dan memejamkan mata sejenak, sebelum menoleh ke arah wanita di sampingnya. Hiriety masih terjaga, menatapnya dengan mata setengah terbuka.“Masalah besar?&rd