Marco menatap Hiriety yang sedang mengobati tangannya. Pergerakannya lembut tapi penuh tekanan, seolah setiap sapuan kapas pada lukanya adalah bentuk dari kemarahan yang tak diucapkan.
"Aku bisa melakukannya sendiri" gumam Marco, separuh protes.
"Diam" balas Hiriety cepat, tanpa menatapnya. “Kalau kau cukup pintar, kau tak akan melukai dirimu hanya untuk membuktikan sesuatu padaku. Tapi karena kau bodoh, ya sudah. Nikmati perawatan dari perempuan yang kau ragukan cintanya.”
Nada suara itu dingin, tapi tangan yang menyentuhnya tetap hangat. Bertentangan. Seperti wanita itu sendiri.
Marco tersenyum tipis. “Kau marah Mia cara?”
Hiriety menekan sedikit luka di tangan Marco “Aku muak” balasnya tajam. “Rasanya lelah sekali jika harus membuktikan perasaanku padamu. Seolah aku cuma menjadikanmu serpihan kecil di hidupku dan kau selalu meragukan itu.”
“Memang benar” Ucap Marco mencicit
<“Denzel. Dia masih hidup” ucap Hiriety dengan tenangnyaMarco terdiam cukup lama.Wajahnya tidak bergerak, seolah waktu sendiri berhenti di balik pupil matanya yang gelap dan dalam. Hiriety menatapnya, menanti—mungkin menunggu amarah, penyangkalan, atau setidaknya sebuah pertanyaan. Tapi yang ia dapat hanya... diam. Sunyi yang terlalu berat untuk diabaikan.Lalu tiba-tiba, Marco tersenyum kecil. “Kalau begitu,” ujarnya ringan, nyaris seperti bercanda, “apa kau mau kubantu mencarikan dia?” Nada suaranya terlalu tenang. Terlalu dingin.Hiriety menyipitkan mata, mencoba membaca maksud di balik kalimat itu. Tapi Marco sudah memutar tubuhnya dan menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah“Aku serius” katanya sambil menoleh pada Hiriety yang sejak tadi memilih diam “Kau bilang dia masih hidup. Jadi, mau kubantu mencarinya?”“Memangnya kau tahu apa yang akan kulakukan jika berh
“Itulah yang membuat kami diam dulu, Hirie. Semua bukti, semua pernyataan resmi... mengarah pada satu hal: Denzel memang dinyatakan mati. Tapi pria yang diplomat itu temui… dia terlalu mirip. Mama sudah meminta orang mengikutinya dan mengambil gambarnya untukmu”Ucapannya dengan sang mama beberapa waktu lalu terngiang di pikirannya. Dengan penuh tekanan Hiriety menginjak pedal gasnya. Mobil Hiriety melaju cepat melewati jalanan kota Washington yang mulai dipenuhi lalu lintas siang. Tangannya menggenggam erat kemudi, tetapi pikirannya melayang—ke nama Denzel, dan ke wajah Marco yang malam tadi masih memejam di sampingnya.Dia meraih ponsel di jok penumpang. Dengan cepat, ia menyambarnya dan menelepon“Dimana?” Tanya Hiriety cepat“Di kantor. Aku ada rapat sebentar lagi. Ada apa?” Suara berat Marco terdengarHiriety menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu dalam hatinya yang mulai bergolak, dan hanya ada
Hiriety tiba di mansion Walton sekitar pukul 10 pagi. Setelah tragedi balapan mereka, mau tak mau Hiriety mengikuti keinginan Marco untuk menginap di hotel terdekat—lebih untuk menenangkan amarahnya daripada karena cedera apa pun. Meski begitu, pagi ini, suasana hatinya lebih tenang. Bahkan terlalu tenang, seperti ketenangan setelah badai yang menyapu habis isi perahu.Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan. Masih mengenakan kemeja putih longgar milik Marco yang tergantung di bahunya, dan sepatu boot-nya yang kotor karena semalam. Rambutnya dikuncir asal, sisa malam yang liar masih menempel di matanya yang dalam dan kosong.Tanpa sadar Hiriety tersenyum lebar, nampak seperti remaja puber yang sedang jatuh cinta. Para pekerja disana bahkan bertanya-tanya apa yang membuat nona muda mereka nampak sangat bahagia“Apa melihat aurora membuat hidupmu indah selamanya, Sweetheart?” Tanya Caid dengan sedikit mengejekHiriety tak t
Mobil yang mereka kendarai melesat keluar dari basement, seperti dua panah yang dilepaskan dari busur takdir. Suara ban menggesek aspal, deru mesin menggema di lorong-lorong parkiran yang sepi.Begitu mereka menyentuh jalan raya, malam kota berubah jadi arena pribadi.Lampu jalan membentuk garis-garis cahaya yang melesat di kaca depan. Udara malam terbelah oleh kecepatan mereka. Camaro Hiriety melesat duluan, menyentak ke depan seperti kuda liar yang tak mau dijinakkan, namun Aston Martin Marco menyusul, memotong tikungan dengan presisi tajam.Di tikungan pertama, Marco menyalip. Gerakannya bersih, tajam, seperti pisau yang tahu betul bagian mana yang harus dilukai. Tapi Hiriety tidak tinggal diam. Di trek lurus berikutnya, Camaro-nya menyalak, suara mesinnya melolong saat ia mengambil alih kembali.“Cepat sekali…” gumam Marco sendiri di dalam mobilnya, matanya menyipit, adrenalin mulai meresap ke dalam darahnya.Satu lap terlewa
“Mau kemana?” tanya Marco, matanya tak lepas dari Hiriety yang sedang mengancingkan kemeja putih yang baru ia kenakan.Hiriety meliriknya dengan senyum nakal "Aku rasa sudah cukup untuk hari ini, Tak mungkin kan aku tidur di kantormu?" jawabnya, suaranya ringan namun penuh makna.Marco mengerutkan kening, merasa ada yang kurang. "Tidak ingin pulang ke rumah denganku?” Marco menyandarkan tubuh ke sisi meja, masih mengamati setiap gerakan Hiriety seolah mencoba merekamnya dalam ingatan.Hiriety tidak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk mengancingkan baju, tapi sorot matanya menatap ke luar jendela, ke langit malam dan kota yang dipenuhi oleh gemerlap lampu.Rumah.Hiriety tahu jika yang Marco maksud adalah rumah pribadi pria itu“Aku ingin menemui orangtuaku dulu” Jawab Hiriety. Ia menyelesaikan kancing kemeja terakhir, lalu berbalik sepenuhnya menghadap Marco. Sorot matanya, yang sebelumnya tampak jauh dan m
Marco menatap Hiriety yang sedang mengobati tangannya. Pergerakannya lembut tapi penuh tekanan, seolah setiap sapuan kapas pada lukanya adalah bentuk dari kemarahan yang tak diucapkan."Aku bisa melakukannya sendiri" gumam Marco, separuh protes."Diam" balas Hiriety cepat, tanpa menatapnya. “Kalau kau cukup pintar, kau tak akan melukai dirimu hanya untuk membuktikan sesuatu padaku. Tapi karena kau bodoh, ya sudah. Nikmati perawatan dari perempuan yang kau ragukan cintanya.”Nada suara itu dingin, tapi tangan yang menyentuhnya tetap hangat. Bertentangan. Seperti wanita itu sendiri.Marco tersenyum tipis. “Kau marah Mia cara?”Hiriety menekan sedikit luka di tangan Marco “Aku muak” balasnya tajam. “Rasanya lelah sekali jika harus membuktikan perasaanku padamu. Seolah aku cuma menjadikanmu serpihan kecil di hidupku dan kau selalu meragukan itu.”“Memang benar” Ucap Marco mencicit