Share

Bab 6

"Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?"

Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, "baiklah, terserah kamu saja." Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja.

"Makanlah," suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut.

Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. "Aku benci melihat caramu makan, lambat." Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi dari tangannya. Selalu saja, tiap kali dia memperlakukanku seperti ini, aku seperti ingin menangis. Air mataku sudah menetes, tapi masih dengan antusias menerima semua suapan darinya. Tuan Abizar terlihat datar dan tak berkutik, aku tidak bisa menebak perasaannya dari raut wajahnya yang tidak berubah itu, apakah dia jijik? Senang? Atau biasa saja?

"Aku bisa makan sendiri, Tuan ...." Aku berkata sambil mengunyah nasi.

"Aku tahu kamu bisa makan sendiri," Tuan Abizar berbisik. Dia mengambilkanku air minum, melihat wajah merahku yang seperti nyaris tersedak. Aku menerimanya lalu menenggak air mineralnya hingga tandas. Tangan besar Tuan Abizar kembali bersiap hendak menyuapiku lagi, aku hanya membuka mulut, menerima suapannya dan mengunyah.

"Saya sudah kenyang, Tuan ...." Aku berbisik dengan pipi mengembung, penuh dengan lauk dan nasi.

"Kalau kamu sudah kenyang, siapa yang akan menghabiskan semua sisa makanan ini ...." Kalimatnya masih datar, kembali memberikan aku air minum, saat mendapatiku susah menelan setiap suapannya.

"Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian ...."

Aku menatap wajahnya yang diam sebentar. Lalu kepalanya mengangguk, "kalau begitu aku ikut makan." Dia meraup nasi untuk dirinya sendiri, berhenti menyuapiku, dia kembali makan dan menyuruhku mandiri. Dari piring yang sama, aku mengambil nasi dan lauk untuk kumasukkan ke dalam mulut. Aku memerhatikan kebiasaan Tuan Abizar, lagi-lagi dia menyisakan lauk enak untukku, lebih memilih memakan nasi dan sayur yang rasanya hambar.

"Kalau Tuan ingin berbagi kehidupan Tuan denganku, kalau begitu bolehkah aku juga membagi kehidupanku dengan Tuan?"

Mendengar pertanyaanku Tuan Abizar berhenti menyuap. Beliau mengerjap, berusaha mencerna kalimatku. Lalu tebakannya terlontar, "kamu juga ingin menyuapiku?"

Tebakan yang tepat sasaran, apalagi tanganku sudah terangkat hendak menyuapinya. Kukira Tuan Abizar akan berubah jijik, menatapku dingin, marah lalu pergi. Ternyata dugaan terlalu berlebihan, Tuan Abizar membuka mulutnya, menerima suapanku langsung dari tanganku. Setelah mengunyah, dia bertanya. "Hanya sekali saja?" Aku kembali meraup nasi dan lauk yang dia abaikan. Sengaja aku menyuapinya agar dia ikut memakan makanan enak yang sengaja dia abaikan untukku. Bibirnya kembali mengambil suapan di tanganku, Tuan Abizar mengunyah, kepalanya mengangguk-angguk. "Enak," ini kali pertama aku mendengar dia memuji sebuah makanan. Aku senang mendengarnya.

Wajahnya kembali mendekat, menanti suapanku ke selanjutnya. Dengan semangat, aku kembali menyuapinya. Rasanya seperti menyuapi adikku di kampung, wajah Tuan Abizar terlihat seperti itu. "Aku sudah kenyang," Tuan Abizar baru bilang seperti itu setelah semua makanan di atas meja sudah habis. Aku tersenyum, dia yang menghabiskan semuanya. Sepertinya dia bisa menambah makanan lebih banyak jika aku yang menyuapinya. Ah, teringat umur, saat hal barusan terbayang di kepalaku, kupikir kami kekanakan sekali.

"Kamu itu suka berdandan, tapi garis bedak di bawah matamu selalu kelihatan ...." Tuan Abizar berdecak setelah mengamati wajahku selama beberapa detik. Jari telunjuk kanannya meratakan garis bedak di bawah mataku, lalu setelah itu tersadar. Tuan Abizar menatap telunjuknya lama, lalu memeringatkan. "Sepertinya bedak murahmu itu tidak cocok di wajahmu, perlu kubelikan make up lain?"

"Tidak usah, Tuan. Setidaknya bedak itu tidak membuat wajahku berjerawat."

Aku menampik, memerhatikan Tuan Abizar yang tidak mengalihkan tatapannya dari ujung telunjuknya.

"Bisa buatkan aku kopi? Agar aku tidak mengantuk, karena setelah ini aku harus bergadang mengurus dokumen."

Kepalaku mengangguk, baru saja bangkit beliau kembali menambahkan. "Yang panas."

"Yang panas?"

Tuan Abizar mengangguk, "benar, yang sangat panas."

Tanpa bertanya, aku mengiakan saja. Setelah kubuatkan Tuan Abizar membawa gelas kopi tersebut ke ruangannya. Beliau duduk diam di atas kursi kerjanya, meletakkan cangkir kopi tersebut, lalu memasukkan ujung telunjuknya ke dalam cairan hitam yang masih begitu panas. Tuan Abizar hanya meringis, tidak mengangkat telunjuknya sebelum kopi itu dingin.

>><<

Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya.

"Jangan ganggu aku," Tuan Abizar berkata sinis.

"Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini."

"Sudah kubilang sejak awal, aku tidak berminat. Kamu ingin hal yang sama terulang?"

"Abizar, wanita yang akan kami nikahkan lagi denganmu adalah wanita yang memiliki nasab dengan ulama terkenal. Jangan main-main kali ini, jika kamu membuat ulah lagi, keluarga kita akan hancur."

"Kalian tahu aku akan membuat ulah, lalu kenapa kalian mencarikan aku wanita yang baru?" Tuan Abizar mendengus.

"Kami pikir, kami perlu mencari wanita terbaik, agar kamu tidak punya alasan untuk menolak."

"Semua wanita itu terbaik, tidak ada wanita yang buruk. Hanya saja, yang kucari bukan wanita yang terbaik. Sudahlah, kembali ke Saudi sana. Aku menolak pernikahan ini, tidak perduli dari keluarga mana wanita itu berasal. Kalian tidak bisa seenaknya hendak menjodohkan aku dengan seorang wanita. Sekalipun penolakanku kali ini, lagi-lagi akan mempermalukan keluarga kita. Bukan aku yang salah, kalian yang seenaknya."

"Ayolah Abizar," Akmal mengacak-ngacak rambut.

"Kamu ingin Abi yang mendatangimu langsung dan menghajarmu? Abi akan memaafkanmu jika kamu datang ke Saudi sekarang juga. Jadi ini kesempatan untukmu, atau Abi sendiri yang akan menghancurkan anak bebal sepertimu. Ada yang salah denganmu, emangnya apa yang salah dari pernikahan dan poligini? Kamu selalu menolak keduanya."

"Ini yang kubenci dari keluarga kita dan semua orang yang menyerupai keluarga kita."

Tuan Abizar bersiap membuka pintu mobilnya, "pertama, menganggap apa yang kalian lakukan bukan kesalahan. Kamu tahu, saat kamu memiliki istri kedua, hanya kamu yang menjadi pihak yang diuntungkan. Dan istri pertama yang menemanimu selama ini, hanya akan mengalami kerugian, kehilangan setengah haknya sebagai istri dan harus merasakan luka terperih yang bahkan lebih sakit dari sebuah kata talak."

Mata Tuan Abizar berair, dia seperti berat menjelaskannya. "Saat kamu menikahi istri ketiga, di antara kamu dan kedua istrimu sebelumnya, hanya kamu yang akan menjadi pihak yang diuntungkan. Hanya kamu, dari tiga orang di antara kalian. Kamu menambah daftar orang yang terluka, kamu mengurangi hak-hak mereka, nafkah ranjang maupun material, kamu memaksa mereka untuk berbagi hak sekalipun kadang mereka butuh nafkah dan sentuhan lebih dari yang kamu bagi-ratakan. Kamu menikah lagi, dengan alasan tidak bisa menahan diri. Tapi kenapa kamu tidak merasa bersalah saat mendesak semua istrimu untuk menahan diri? Sekalipun mereka bisa menahannya, menahan nafus dan rasa sakit itu, tapi bisakah kamu pikirkan kembali? Kenapa hanya mereka, kenapa tidak kalian juga, bersabar, menahan diri?"

"Budaya di sini dan di sana beda, Abizar. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda."

"Itulah yang kubenci, sudut pandang mereka yang menganggap tidak salah hal tersebut. Aib di sana, lumrah di sini. Ingat, aku campuran Indonesia-Arab Saudi, aku memiliki dua budaya dan dua sudut pandang. Tapi semua orang di sana, tidak seharusnya memiliki sudut pandang yang sama 'kan? Kadang mereka—kamu dan juga Abi—harus berpikir, yang harus menahan diri dan bersabar bukan hanya istri-istri kalian, tapi kalian juga."

"Jika Abi mendengar ini dia pasti menyesal menikahi ibumu dan memiliki anak sepertimu, sindiranmu mengena sekali." Tuan Akmal terkekeh, sambil mengelap pillar dengan kain basah aku hanya memerhatikan mereka yang terus beradu pandang. "Semenjak kamu tinggal di Indonesia, pola pikirmu banyak berubah, Abizar. Dulu, kamu memang tidak mendukung sama sekali tradisi keluarga kita—poligini atau semacamnya 'lah. Kamu tidak pernah protes, saat saudara-saudara kita menikahi wanita lebih dari satu atau ayah kita sendiri menalak istri tuanya hanya untuk wanita baru. Tapi sekarang, kamu sudah sedikit berani ternyata."

"Karena aku berpikir, emangnya layak wanita yang kamu cintai merasakan semua itu?"

"Oke, oke, wanita yang kamu cintai." Tuan Akmal menanggapi, dia tertawa.

"Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya." Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.

"Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?"

"Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku."

"Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang kamu olah hampir bangkrut, tapi untuk mencari wanita lain saja, kamu tidak bisa bersabar dan menahan diri."

"Abizar, Abi yang memintaku. Andai tidak, sebelumnya aku tidak berpikir seperti demikian untuk menyakiti Ashya." Tuan Akmal berusaha menyangkal. Dari teras depan aku masih memerhatikan mereka, sepertinya Tuan Abizar akan terlambat ke kantor. Tanpa sadar kupeluk pillar yang ada di teras. "Abi dan kakek-kakek kita sebelumnya melakukan hal yang serupa, makanya kita dianjurkan untuk melakukan hal yang sama."

"Kalau begitu, aku orang pertama yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Bilang ke Abi, jangan carikan aku wanita manapun, aku hanya akan mencari satu yang akan kucari sendiri. Aku tidak akan mengikuti jejak kalian, harap maklumi aku. Aku tidak mau mendengar rumahku penuh tangisan dari wanita yang kucintai."

"Abizar," Tuan Akmal mendesah lelah.

"Satu lagi, Akmal. Jaga Ashya baik-baik. Nanti kamu akan kehilangannya. Yang kubahas bukan perceraian, tapi kematian. Tapi untuk sekarang Ashya baik-baik saja, tergantung bagaimana perasaannya kelak."

Peringatan itu membuat Tuan Akmal tergugu. Tuan Abizar masuk ke dalam mobil, menjatuhkan diri ke bangku setir dan melajukan mobilnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status