"Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?"
Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, "baiklah, terserah kamu saja." Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja.
"Makanlah," suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut.
Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. "Aku benci melihat caramu makan, lambat." Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi dari tangannya. Selalu saja, tiap kali dia memperlakukanku seperti ini, aku seperti ingin menangis. Air mataku sudah menetes, tapi masih dengan antusias menerima semua suapan darinya. Tuan Abizar terlihat datar dan tak berkutik, aku tidak bisa menebak perasaannya dari raut wajahnya yang tidak berubah itu, apakah dia jijik? Senang? Atau biasa saja?
"Aku bisa makan sendiri, Tuan ...." Aku berkata sambil mengunyah nasi.
"Aku tahu kamu bisa makan sendiri," Tuan Abizar berbisik. Dia mengambilkanku air minum, melihat wajah merahku yang seperti nyaris tersedak. Aku menerimanya lalu menenggak air mineralnya hingga tandas. Tangan besar Tuan Abizar kembali bersiap hendak menyuapiku lagi, aku hanya membuka mulut, menerima suapannya dan mengunyah.
"Saya sudah kenyang, Tuan ...." Aku berbisik dengan pipi mengembung, penuh dengan lauk dan nasi.
"Kalau kamu sudah kenyang, siapa yang akan menghabiskan semua sisa makanan ini ...." Kalimatnya masih datar, kembali memberikan aku air minum, saat mendapatiku susah menelan setiap suapannya.
"Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian ...."
Aku menatap wajahnya yang diam sebentar. Lalu kepalanya mengangguk, "kalau begitu aku ikut makan." Dia meraup nasi untuk dirinya sendiri, berhenti menyuapiku, dia kembali makan dan menyuruhku mandiri. Dari piring yang sama, aku mengambil nasi dan lauk untuk kumasukkan ke dalam mulut. Aku memerhatikan kebiasaan Tuan Abizar, lagi-lagi dia menyisakan lauk enak untukku, lebih memilih memakan nasi dan sayur yang rasanya hambar.
"Kalau Tuan ingin berbagi kehidupan Tuan denganku, kalau begitu bolehkah aku juga membagi kehidupanku dengan Tuan?"
Mendengar pertanyaanku Tuan Abizar berhenti menyuap. Beliau mengerjap, berusaha mencerna kalimatku. Lalu tebakannya terlontar, "kamu juga ingin menyuapiku?"
Tebakan yang tepat sasaran, apalagi tanganku sudah terangkat hendak menyuapinya. Kukira Tuan Abizar akan berubah jijik, menatapku dingin, marah lalu pergi. Ternyata dugaan terlalu berlebihan, Tuan Abizar membuka mulutnya, menerima suapanku langsung dari tanganku. Setelah mengunyah, dia bertanya. "Hanya sekali saja?" Aku kembali meraup nasi dan lauk yang dia abaikan. Sengaja aku menyuapinya agar dia ikut memakan makanan enak yang sengaja dia abaikan untukku. Bibirnya kembali mengambil suapan di tanganku, Tuan Abizar mengunyah, kepalanya mengangguk-angguk. "Enak," ini kali pertama aku mendengar dia memuji sebuah makanan. Aku senang mendengarnya.
Wajahnya kembali mendekat, menanti suapanku ke selanjutnya. Dengan semangat, aku kembali menyuapinya. Rasanya seperti menyuapi adikku di kampung, wajah Tuan Abizar terlihat seperti itu. "Aku sudah kenyang," Tuan Abizar baru bilang seperti itu setelah semua makanan di atas meja sudah habis. Aku tersenyum, dia yang menghabiskan semuanya. Sepertinya dia bisa menambah makanan lebih banyak jika aku yang menyuapinya. Ah, teringat umur, saat hal barusan terbayang di kepalaku, kupikir kami kekanakan sekali.
"Kamu itu suka berdandan, tapi garis bedak di bawah matamu selalu kelihatan ...." Tuan Abizar berdecak setelah mengamati wajahku selama beberapa detik. Jari telunjuk kanannya meratakan garis bedak di bawah mataku, lalu setelah itu tersadar. Tuan Abizar menatap telunjuknya lama, lalu memeringatkan. "Sepertinya bedak murahmu itu tidak cocok di wajahmu, perlu kubelikan make up lain?"
"Tidak usah, Tuan. Setidaknya bedak itu tidak membuat wajahku berjerawat."
Aku menampik, memerhatikan Tuan Abizar yang tidak mengalihkan tatapannya dari ujung telunjuknya.
"Bisa buatkan aku kopi? Agar aku tidak mengantuk, karena setelah ini aku harus bergadang mengurus dokumen."
Kepalaku mengangguk, baru saja bangkit beliau kembali menambahkan. "Yang panas."
"Yang panas?"
Tuan Abizar mengangguk, "benar, yang sangat panas."
Tanpa bertanya, aku mengiakan saja. Setelah kubuatkan Tuan Abizar membawa gelas kopi tersebut ke ruangannya. Beliau duduk diam di atas kursi kerjanya, meletakkan cangkir kopi tersebut, lalu memasukkan ujung telunjuknya ke dalam cairan hitam yang masih begitu panas. Tuan Abizar hanya meringis, tidak mengangkat telunjuknya sebelum kopi itu dingin.
>><<
Aku mengenali sosok yang datang yang wajahnya menyerupai Tuan Abizar. Kalau tidak salah, namanya Tuan Akmal. Adiknya Tuan Abizar, yang sesekali datang ke Indonesia, tapi dia menetap di Arab Saudi. Dia datang pagi-pagi ke rumah Tuan Abizar, sepertinya mendarat di Indonesia kemaren dan semalam menginap di hotel. Tuan Abizar baru saja hendak keluar dari rumah untuk berangkat bekerja, mengabaikan kehadiran adiknya begitu saja, aku lihat Tuan Akmal mengejar langkah Tuan Abizar lalu menahan lengannya.
"Jangan ganggu aku," Tuan Abizar berkata sinis.
"Abizar, ayolah ikut aku sekarang juga. Pukul 08.00 kita berangkat ke Arab Saudi, Abi ingin mengenalkanmu dengan seorang wanita dari keluarga terhormat, barang kali kamu berubah pikiran kali ini."
"Sudah kubilang sejak awal, aku tidak berminat. Kamu ingin hal yang sama terulang?"
"Abizar, wanita yang akan kami nikahkan lagi denganmu adalah wanita yang memiliki nasab dengan ulama terkenal. Jangan main-main kali ini, jika kamu membuat ulah lagi, keluarga kita akan hancur."
"Kalian tahu aku akan membuat ulah, lalu kenapa kalian mencarikan aku wanita yang baru?" Tuan Abizar mendengus.
"Kami pikir, kami perlu mencari wanita terbaik, agar kamu tidak punya alasan untuk menolak."
"Semua wanita itu terbaik, tidak ada wanita yang buruk. Hanya saja, yang kucari bukan wanita yang terbaik. Sudahlah, kembali ke Saudi sana. Aku menolak pernikahan ini, tidak perduli dari keluarga mana wanita itu berasal. Kalian tidak bisa seenaknya hendak menjodohkan aku dengan seorang wanita. Sekalipun penolakanku kali ini, lagi-lagi akan mempermalukan keluarga kita. Bukan aku yang salah, kalian yang seenaknya."
"Ayolah Abizar," Akmal mengacak-ngacak rambut.
"Kamu ingin Abi yang mendatangimu langsung dan menghajarmu? Abi akan memaafkanmu jika kamu datang ke Saudi sekarang juga. Jadi ini kesempatan untukmu, atau Abi sendiri yang akan menghancurkan anak bebal sepertimu. Ada yang salah denganmu, emangnya apa yang salah dari pernikahan dan poligini? Kamu selalu menolak keduanya."
"Ini yang kubenci dari keluarga kita dan semua orang yang menyerupai keluarga kita."
Tuan Abizar bersiap membuka pintu mobilnya, "pertama, menganggap apa yang kalian lakukan bukan kesalahan. Kamu tahu, saat kamu memiliki istri kedua, hanya kamu yang menjadi pihak yang diuntungkan. Dan istri pertama yang menemanimu selama ini, hanya akan mengalami kerugian, kehilangan setengah haknya sebagai istri dan harus merasakan luka terperih yang bahkan lebih sakit dari sebuah kata talak."
Mata Tuan Abizar berair, dia seperti berat menjelaskannya. "Saat kamu menikahi istri ketiga, di antara kamu dan kedua istrimu sebelumnya, hanya kamu yang akan menjadi pihak yang diuntungkan. Hanya kamu, dari tiga orang di antara kalian. Kamu menambah daftar orang yang terluka, kamu mengurangi hak-hak mereka, nafkah ranjang maupun material, kamu memaksa mereka untuk berbagi hak sekalipun kadang mereka butuh nafkah dan sentuhan lebih dari yang kamu bagi-ratakan. Kamu menikah lagi, dengan alasan tidak bisa menahan diri. Tapi kenapa kamu tidak merasa bersalah saat mendesak semua istrimu untuk menahan diri? Sekalipun mereka bisa menahannya, menahan nafus dan rasa sakit itu, tapi bisakah kamu pikirkan kembali? Kenapa hanya mereka, kenapa tidak kalian juga, bersabar, menahan diri?"
"Budaya di sini dan di sana beda, Abizar. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda."
"Itulah yang kubenci, sudut pandang mereka yang menganggap tidak salah hal tersebut. Aib di sana, lumrah di sini. Ingat, aku campuran Indonesia-Arab Saudi, aku memiliki dua budaya dan dua sudut pandang. Tapi semua orang di sana, tidak seharusnya memiliki sudut pandang yang sama 'kan? Kadang mereka—kamu dan juga Abi—harus berpikir, yang harus menahan diri dan bersabar bukan hanya istri-istri kalian, tapi kalian juga."
"Jika Abi mendengar ini dia pasti menyesal menikahi ibumu dan memiliki anak sepertimu, sindiranmu mengena sekali." Tuan Akmal terkekeh, sambil mengelap pillar dengan kain basah aku hanya memerhatikan mereka yang terus beradu pandang. "Semenjak kamu tinggal di Indonesia, pola pikirmu banyak berubah, Abizar. Dulu, kamu memang tidak mendukung sama sekali tradisi keluarga kita—poligini atau semacamnya 'lah. Kamu tidak pernah protes, saat saudara-saudara kita menikahi wanita lebih dari satu atau ayah kita sendiri menalak istri tuanya hanya untuk wanita baru. Tapi sekarang, kamu sudah sedikit berani ternyata."
"Karena aku berpikir, emangnya layak wanita yang kamu cintai merasakan semua itu?"
"Oke, oke, wanita yang kamu cintai." Tuan Akmal menanggapi, dia tertawa.
"Ashya mungkin tersiksa selama ini semenjak kamu mencari istri kedua, ketiga dan keselanjutnya." Saat Tuan Abizar menyebut nama itu, raut wajah Tuan Akmal berubah. Semakin gelap, bahunya gemetar.
"Salah satu hal yang tidak betah membuatku berkunjung ke Arab Saudi, karena terlalu sering melihat istri-istri tua kalian menangisi kalian. Rumah yang seharusnya penuh kebahagiaan, malah menjadi penjara hati setiap wanita. Aku bukan tipe lelaki yang begitu menghargai perempuan, kamu tahu itu setelah mendapati kelakuanku selama ini. Tapi yang tidak pas di hatiku, kenapa para wanita kalian harus menahan diri, bersabar dan ikhlas, sedangkan kalian tidak dituntut hal yang serupa?"
"Jangan ungkit nama Ashya, jika membahas ini denganku."
"Harus, karena Ashya adalah wanita yang sudah menemanimu selama lima tahun, penuh kesabaran, menahan diri dan keikhlasan saat kamu kehilangan kepercayaan dari Abi, perusahaanmu yang kamu olah hampir bangkrut, tapi untuk mencari wanita lain saja, kamu tidak bisa bersabar dan menahan diri."
"Abizar, Abi yang memintaku. Andai tidak, sebelumnya aku tidak berpikir seperti demikian untuk menyakiti Ashya." Tuan Akmal berusaha menyangkal. Dari teras depan aku masih memerhatikan mereka, sepertinya Tuan Abizar akan terlambat ke kantor. Tanpa sadar kupeluk pillar yang ada di teras. "Abi dan kakek-kakek kita sebelumnya melakukan hal yang serupa, makanya kita dianjurkan untuk melakukan hal yang sama."
"Kalau begitu, aku orang pertama yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Bilang ke Abi, jangan carikan aku wanita manapun, aku hanya akan mencari satu yang akan kucari sendiri. Aku tidak akan mengikuti jejak kalian, harap maklumi aku. Aku tidak mau mendengar rumahku penuh tangisan dari wanita yang kucintai."
"Abizar," Tuan Akmal mendesah lelah.
"Satu lagi, Akmal. Jaga Ashya baik-baik. Nanti kamu akan kehilangannya. Yang kubahas bukan perceraian, tapi kematian. Tapi untuk sekarang Ashya baik-baik saja, tergantung bagaimana perasaannya kelak."
Peringatan itu membuat Tuan Akmal tergugu. Tuan Abizar masuk ke dalam mobil, menjatuhkan diri ke bangku setir dan melajukan mobilnya.
Yang tertulis di surat keemasan itu, hanyalah bait doa dan kalimat-kalimat damba. Omar menjatuhkan diri di sebelah makam Melati, duduk bersimpuh, lalu membelai kepala nisan wanita itu. Omar membuka lipatan kertas, membacakan doa yang panjang untuk Melati. Semalaman, Omar tidak beranjak. Membiarkan gamis putihnya kotor oleh tanah.Mendadak Omar lemas, wajah lelaki itu terlihat lelah. Bibirnya yang semula membacakan 'surat cinta' itu dengan suara keras, kini berubah lirih. Omar menjatuhkan keningnya ke kepala nisan Melati, memeluknya, menciumi puncaknya, air mata yang semula berusaha Omar tahan kini lolos begitu saja. "Aku merindukanmu, Melati. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu." Omar tidak perduli, selain Melati, di bawah sana lelaki lain bisa mendengarkannya.Entah kenapa kerongkongan Omar menjadi begitu kering dan haus. Daripada minum, hanya sebuah kalimat yang bisa menuntaskan dahaganya. Setelah air matanya kering, Omar dengan susah-payah menyebut nama Allah. Kesaksiannya atas
"Astaga, ternyata kalian di sini." Malik menghembuskan napas kasar, tangan besarnya mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. "Semalaman aku mencari, kukira sesuatu yang buruk terjadi pada kalian berdua.""Kami hanya bermalam di hotel sebagai sepasang suami-istri," Abizar melingkarkan tangan ke bahu Mawar, lalu membawa istrinya merapat."Pulang, sebelum Akmal membuat heboh keluarga Hafshan karena mengira kamu dan Mawar menghilang." Malik mengibaskan kedua tangannya malas, memberi intruksi kepada bawahan-bawahan yang dia bawa ikut serta untuk meninggalkan gedung hotel dan masuk kembali ke dalam kendaraan masing-masing. Malik menyisakan satu mobil untuk Abizar dan Mawar. Abizar menarik Mawar untuk masuk ke dalam mobil, istrinya sudah bersih dan rapi setelah mandi di kamar hotel dan meminjam pakaiannya istri Pangeran Adzriel.Abizar menghubungi Ahmad, Abizar ingin membawa Mawar ke gedung yang Omar sewa untuk acara pernikahan mereka. Termasuk pergi ke butik, untuk memilih dan merancang
Gedoran di pintu membuat Abizar mengerang kesal. Lelaki itu menjatuhkan diri dari kasur dan mendelik ke arah pintu, pelayan-pelayan tersebut menganggu pagi indahnya bersama Mawar. Matahari di luar mulai terik, setelah salat Subuh Abizar dan Mawar segera mengistirahatkan diri. Abizar yang nyenyak dalam dekapan Mawar, malah dihancur-leburkan semua khayalannya."Buka pintunya, Nona. Atau kami masuk tanpa izin dari Anda." Suara familiar yang meminta dari luar dalam bahasa Arab. Mawar terbangun, langsung melingkarkan tangan ke pinggang Abizar yang tengah merapikan bungkusan pakaiannya. "Siapa, Mas?"Abizar berdecak, "aku bingung bagaimana menjelaskan kepada mereka, kalau kamu benar-benar istriku." "Perbaiki pakaianmu, Mawar." Abizar memperingatkan, dengan tangan yang mengelus-ngelus lengan terbuka Mawar. Abizar mendaratkan kecupan di bahu wanita itu, lalu melanjutkan. "Mungkin ada beberapa pelayan lelaki di luar. Ingat, aku bisa menusuk mata siapapun yang berani melihat keseksianmu." Abi
Keputusan gegabah Abizar membuat sepasang suami-istri tersebut terdampar di tepi jalan yang senyap dan sepi. Tiada taxi yang lewat, hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Abizar menyesal membuat Mawar kesusahan, wanita itu berdiri lesu di sisi tubuhnya. Sepertinya mulai mengantuk dan kedinginan. "Maafkan aku, sayang."Mendengar ungkapan maaf Abizar, Mawar menggeleng. "Tidak apa-apa."Takut tubuh Mawar terhuyung dan wanita itu jatuh menimpa aspal, Abizar langsung mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Mawar meletakkan kepalanya ke bahu Abizar, menggesek-gesek, mencari letak nyaman. Sepertinya sia-sia menunggu taxi yang tidak akan lewat, Abizar memilih berjalan mencari hotel terdekat. Mawar di dekapan dadanya nyaris tertidur, Abizar mencuri beberapa ciuman di bibir dan pipi wanita itu."Pipimu dingin sekali, Mawar." Abizar menghela napas. Ini salahnya, memaksa turun dan membuat mereka diserang angin malam yang menusuk kulit. Abizar berusaha menghangatkan wajah istrinya, Abizar p
Mereka mengambil penerbangan pagi. Sepasang pengantin baru—Abizar dan Mawar—menumpangi penerbangan yang sama dengan keempat saudaranya. Sementara Omar, akan menyusul keesokan harinya atau lusa. Entah kenapa lelaki tua itu suka sekali menunda.Setelah hampir 17 jam penerbangan, bersisakan dua jam agar pesawat mendarat di Saudi, Mawar tertidur di lengan kokoh suaminya. Abizar tersenyum, sesekali mengecup rambut kepala istrinya lalu memainkan surat undangan keemasan yang ada di tangannya. Entah berapa ribu surat undangan yang serupa dibagikan untuk acara pernikahan mereka."Qad yajidun sueubatan fi qabul zawjatik, Abizar—mereka mungkin akan susah menerima istrimu, Abizar." Haikal yang menduduki bangku yang ada di belakang berbisik di telinga Abizar.Wajah semringah Abizar menjadi masam, lelaki itu menghela napas. Diliriknya Mawar, memastikan istrinya masih terlelap. Syukurlah, sepertinya Mawar tidur mati seperti biasanya. "Kita lihat saja nanti." Abizar memelankan suara, "aku akan berusa
"Semalam tidak ke sana, menyapa istrinya Abizar?" Omar bertanya saat matahari naik. Iqbal menggeleng, lelaki itu tengah duduk di teras sambil memangku Al-Qur'an. "Maaf, tidak. Aku tahu apa yang dilakukan sepasang suami-istri di malam hari jika berdua saja, aku tidak mau menganggu.""Maaf Tuan Omar Hafshan, sepertinya ketiga anakmu yang lain akan datang kemari." Lelaki itu tersenyum tanpa merasa bersalah.Omar langsung mengerti maksudnya, lelaki tua itu pasrah. "Kamu yang memberitahu mereka, ya?" "Yap," Iqbal mengangguk tanpa perduli. "Akmal nyaris kecelakaan di Jakarta karena mencari-carimu, lebih baik kuberitahu sebelum dia nyasar tanpa hasil lagi. Sedangkan Malik, tak ada pilihan selain memberitahunya daripada dia datang ke kelab malam Semarang untuk melampiaskan emosi. Aku kasihan kepada wanita-wanita yang akan menjadi sasaran kebejatannya kalau mabuk.""Meskipun tidak kuberitahu 'pun sebenarnya Haikal sudah tahu kalau kamu ada di sini, dia hanya menunggu dua saudaranya yang lain
"Apakah rumah ini sudah cukup layak untuk menjadi tempat persembunyianmu, Tuan Omar Hafshan?" Abizar membalik tubuh dan menyeringai. Omar menganggukkan kepala, baginya lebih dari cukup. Rumah minimalis di depan mereka cukup tersembunyi, terletak di dekat hutan dengan pemandangan asri. Bukan hanya bersembunyi, Omar juga bisa bersantai di sini. Omar bukan takut menghadapi anak-anaknya, mau bagaimanapun juga Omar adalah Ayah yang patut ditakuti, Malik yang lancang sekalipun tidak akan berani memukul ayahnya sendiri. Omar hanya tidak sanggup jika mendapati raut kecewa keempat anaknya yang lain. Abizar yang tidak dirugikan saja, terlihat begitu kecewa, apalagi anak-anaknya yang lain. Omar tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya gagal menjadi seorang Ayah lima kali berturut-turut. Alif membawa pakaian ganti Omar, menyusul langkah lelaki tua tersebut. "Untuk sementara kita akan berbulan madu di sini, Mawar." Abizar mengampit pinggang Mawar. Lelaki itu mengecup dahi wanita yang dicintain
Alif berusaha fokus menyetir, tapi tetap saja mustahil. Pasangan di bangku belakang benar-benar membuat hatinya resah, mereka terlalu mesra membuat jiwa kesepian Alif sebagai lelaki tanpa pasangan terusik. Setelah Maghrib mereka memutuskan kembali ke Semarang, acara dan resepsi pernikahan harus segera direncanakan. Abizar harus membahasnya dengan Omar, lalu membawa Mawar ke Saudi, untuk dikenalkan kepada keluarganya dan menyiapkan acara pernikahan."Jangan mengintip, Alif." Abizar mengingatkan, Alif hanya mengangguk sambil menelan saliva. Kedua tangannya yang mencekram setir bergetar, menahan diri untuk tidak melihat spion, sangat penasaran apa yang terjadi di belakang.Mawar menyenderkan tubuhnya ke salahsatu pintu mobil, wajahnya cemberut saat memerhatikan jalanan depan, Abizar mengungkungnya dari belakang, Mawar duduk di pangkuannya. "Capek atau gugup?" Abizar bertanya, tidak berhenti menciumi rahang Mawar. Dia sudah menahan diri untuk tidak menyentuh selama tiga tahun, sekarang wa
Tadi malam setelah kelelahan Mawar langsung tidur. Wajah kusutnya mencerminkan rasa sakit yang dia dapatkan.Sedangkan wajah Abizar berseri-seri, kungkungannya tidak lepas dari tubuh terbuka Mawar, saking senangnya Abizar tidak mau melelapkan diri, dia ingin lanjut mencumbu tubuh indah yang membuatnya mabuk kepayang. Setidaknya izinkan tangan dan bibirnya memainkan peran, tidak yang lain, Abizar tidak mau menganggu waktu istirahat Mawar karena wanita itu benar-benar kelelalahan, padahal sentuhan Abizar lembut dan gemulai.Nyaris Subuh menyapa, kantuk seakan tidak ada di kamus Abizar, semalaman Abizar hanya memandangi wajah Mawar. Tangannya mengusap rambut, pinggang, punggung dan perut yang dia khayalkan akan membesar. Pelan-pelan agar tidak membangunkan Mawar, Abizar menciumi wajah, tangan dan punggung Mawar. Sangat dihindarkannya bibir, Abizar suka kelepasan ingin menyedot seluruh napas Mawar."Aku mencintaimu, Mawar. Sangat. Demi Allah." Abizar menurunkan diri dari ranjang putih yang