Share

Bab 7

Author: Ollane
last update Last Updated: 2022-06-22 21:11:14

Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali.

Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain.

"Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya.

"Ya Tuan?"

Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?"

Aku mengangguk, "silahkan, Tuan."

"Mungkin ini sedikit konyol, aku ingin memastikannya dengan bertanya langsung pada perempuan. Sekalipun yang suamimu lakukan itu tradisi, desakan orang tuanya, dan yang paling dicintai tetap dia, apakah perempuan masih merasakan sakit hati jika suaminya beristri lebih dari satu?" Tuan Akmal menatapku penuh tanya, sangat menuntut jawaban. Aku tahu isi kepalanya, dia berharap aku menggeleng. Yang berarti, istrinyapun begitu. Tapi aku perempuan, tentu saja aku mengangguk. Yang berarti Ashya-nya merasakan sakit itu.

"Tentu saja, Tuan." Mendengar jawabanku Tuan Akmal menahan napas.

"Sekalipun itu tradisi?"

"Tradisi bisa menyakiti perempuan," aku menjawab.

"Desakan orang tua?"

"Kadang mertua selalu menjadi alasan seorang istri terluka," aku tersenyum saat mendapati wajahnya gelisah.

"Yang paling kucintai tetap dia?"

"Perempuan menginginkan cinta yang utuh, bukan yang terbagi."

"Kenapa perempuan bisa begitu egois?" Sambar Tuan Akmal kesal.

Aku mengernyitkan dahi, "bukannya kalian—para lelaki—yang egois?" Mendengar jawabanku Tuan Akmal terdiam. "Begini Tuan, coba pikirkan perkataanku. Bagaimana jadinya istri yang kamu cintai berselingkuh?"

Teriakan Tuan Akmal terdengar geram, "mana bisa! Akan kurajam."

Aku tersenyum kecut, "tidak terima 'kan? Cemburu 'kan? Itu yang dirasakan perempuan, tidak terima. Cemburu, tapi kadang mereka tidak bisa mengelak. Tersiksanya mereka dalam sebuah rumah tangga yang kalian jalani, tidak bisa dipungkiri. Begitulah, itu jawabanku. Jawaban mayoritas wanita."

"Tapi Ashya tidak pernah protes ... dia tidak pernah mengeluh atau menghalangiku ...." Tuan Akmal menatapku penuh harap.

"Anda tidak mengerti perempuan ternyata, Tuan. Perempuan itu mudah tersakiti dan merasa cemburu, tapi mereka paling ahli menahan rasa sakit dan cemburu itu. Sekalipun di luar baik-baik saja, bukan berarti di dalam sama saja. Mungkin dia tidak mau saja menunjukkannya ke Anda."

Tuan Akmal terdiam, dia berusaha mengatur napas, sepertinya istri pertamanya menyita habis pikirannya. "Baiklah ...." Desahnya frustrasi. "Bisakah buatkan aku minuman? Yang dingin." Sambil mendekap lap kotor aku mengangguk, pergi ke dapur untuk membuatkannya minuman. Setelah minuman yang dia perintahkan sudah kuletakkan di atas meja, Tuan Akmal meminumnya untuk mendinginkan kepala. Wajah merahnya sudah membuktikan kalau beliau terjebak oleh amarah dan rasa kesal, termasuk sedikit percikan penyesalan.

"Abizar benar ...." Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan duduk bersimpuh di sana.

"Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat."

Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksaman.

"Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai. Kukira ... tapi ternyata itu hanya harapanku saja, ya?"

Gelas yang diseruput Tuan Akmal sudah kosong, dia tersenyum miris. "Aku tidak mengerti apa maksud Abizar sebelumnya? Bukan perceraian, tapi kematian? Aneh, dia senang sekali membuatku bingung."

"Aku akan menghubungi ayah kami—menyampaikan lagi-lagi Abizar menentang pernikahan ini. Karena dari keluarga mana wanita yang akan dinikahkan dengan Abizar itu berasal, jadi kami harus memaksa Abizar untuk tetap menjalaninya." Mata Tuan Akmal meneliti semua pijakan lantai, dinding dan pillar.

"Oh ya, bersihkan semua ini dengan benar. Ayah kami akan datang ke Indonesia untuk menemui Abizar—menghajarnya sebagai balasan dari kata talak untuk Ulfa dan memaksanya untuk menurut lagi. Termasuk, siapkan sekitar beberapa kamar kosong. Mereka akan menginap—ayahku, calon istri Abizar dan beberapa orang yang lain. Untuk calon istri Abizar, siapkan kamar dari bangunan yang terpisah dari rumah utama ini." Tuan Akmal menunjuk sebuah bangunan di seberang kolam ikan yang terpisah dari rumah utama yang ditempati Tuan Abizar.

Aku hanya mengangguk, ternyata takdir memaksaku untuk banting tulang hanya karena kelakuan Tuan Abizar yang lagi-lagi berani menentang keluarganya.

"Sepertinya Abizar cukup luluh padamu," Tuan Akmal memerhatikan pahatan wajahku. Lalu berdeham, "jika dia pulang coba kamu bujuk dia untuk tidak melawan. Termasuk, jangan beritahu kalau ayah kami akan mampir, perjalanan pesawat dari Arab Saudi ke sini akan memakan banyak waktu." Tuan Akmal melirik arlojinya, mengangguk-angguk. "Aku pamit, assalamualaikum." Setelah salam dia mengambil ponsel dari saku celana sembari berjalan menuju kendaraannya dan mulai berbincang dengan sosok terhormat di seberang sana. Kulihat Tuan Akmal menjauhkan ponselnya dari telinga saat sosok ayah mereka marah dan membentak. Tuan Akmal terdengar berusaha menyabarkannya. Tuan Akmal masih bersandar di body mobilnya, lalu mengetik nomor lain. Nada suaranya berubah, sepertinya wanita yang ditelepon itu istrinya.

"Assalamualaikum, Ashya. Apa kabar?"

Raut wajah Tuan Akmal terlihat masam saat sambungan ponsel tersebut terputus. Beliau meringis, lalu menjatuhkan diri masuk ke dalam mobil.

>><<

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   END

    Yang tertulis di surat keemasan itu, hanyalah bait doa dan kalimat-kalimat damba. Omar menjatuhkan diri di sebelah makam Melati, duduk bersimpuh, lalu membelai kepala nisan wanita itu. Omar membuka lipatan kertas, membacakan doa yang panjang untuk Melati. Semalaman, Omar tidak beranjak. Membiarkan gamis putihnya kotor oleh tanah.Mendadak Omar lemas, wajah lelaki itu terlihat lelah. Bibirnya yang semula membacakan 'surat cinta' itu dengan suara keras, kini berubah lirih. Omar menjatuhkan keningnya ke kepala nisan Melati, memeluknya, menciumi puncaknya, air mata yang semula berusaha Omar tahan kini lolos begitu saja. "Aku merindukanmu, Melati. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu." Omar tidak perduli, selain Melati, di bawah sana lelaki lain bisa mendengarkannya.Entah kenapa kerongkongan Omar menjadi begitu kering dan haus. Daripada minum, hanya sebuah kalimat yang bisa menuntaskan dahaganya. Setelah air matanya kering, Omar dengan susah-payah menyebut nama Allah. Kesaksiannya atas

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 51

    "Astaga, ternyata kalian di sini." Malik menghembuskan napas kasar, tangan besarnya mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. "Semalaman aku mencari, kukira sesuatu yang buruk terjadi pada kalian berdua.""Kami hanya bermalam di hotel sebagai sepasang suami-istri," Abizar melingkarkan tangan ke bahu Mawar, lalu membawa istrinya merapat."Pulang, sebelum Akmal membuat heboh keluarga Hafshan karena mengira kamu dan Mawar menghilang." Malik mengibaskan kedua tangannya malas, memberi intruksi kepada bawahan-bawahan yang dia bawa ikut serta untuk meninggalkan gedung hotel dan masuk kembali ke dalam kendaraan masing-masing. Malik menyisakan satu mobil untuk Abizar dan Mawar. Abizar menarik Mawar untuk masuk ke dalam mobil, istrinya sudah bersih dan rapi setelah mandi di kamar hotel dan meminjam pakaiannya istri Pangeran Adzriel.Abizar menghubungi Ahmad, Abizar ingin membawa Mawar ke gedung yang Omar sewa untuk acara pernikahan mereka. Termasuk pergi ke butik, untuk memilih dan merancang

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 50

    Gedoran di pintu membuat Abizar mengerang kesal. Lelaki itu menjatuhkan diri dari kasur dan mendelik ke arah pintu, pelayan-pelayan tersebut menganggu pagi indahnya bersama Mawar. Matahari di luar mulai terik, setelah salat Subuh Abizar dan Mawar segera mengistirahatkan diri. Abizar yang nyenyak dalam dekapan Mawar, malah dihancur-leburkan semua khayalannya."Buka pintunya, Nona. Atau kami masuk tanpa izin dari Anda." Suara familiar yang meminta dari luar dalam bahasa Arab. Mawar terbangun, langsung melingkarkan tangan ke pinggang Abizar yang tengah merapikan bungkusan pakaiannya. "Siapa, Mas?"Abizar berdecak, "aku bingung bagaimana menjelaskan kepada mereka, kalau kamu benar-benar istriku." "Perbaiki pakaianmu, Mawar." Abizar memperingatkan, dengan tangan yang mengelus-ngelus lengan terbuka Mawar. Abizar mendaratkan kecupan di bahu wanita itu, lalu melanjutkan. "Mungkin ada beberapa pelayan lelaki di luar. Ingat, aku bisa menusuk mata siapapun yang berani melihat keseksianmu." Abi

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 49

    Keputusan gegabah Abizar membuat sepasang suami-istri tersebut terdampar di tepi jalan yang senyap dan sepi. Tiada taxi yang lewat, hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Abizar menyesal membuat Mawar kesusahan, wanita itu berdiri lesu di sisi tubuhnya. Sepertinya mulai mengantuk dan kedinginan. "Maafkan aku, sayang."Mendengar ungkapan maaf Abizar, Mawar menggeleng. "Tidak apa-apa."Takut tubuh Mawar terhuyung dan wanita itu jatuh menimpa aspal, Abizar langsung mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Mawar meletakkan kepalanya ke bahu Abizar, menggesek-gesek, mencari letak nyaman. Sepertinya sia-sia menunggu taxi yang tidak akan lewat, Abizar memilih berjalan mencari hotel terdekat. Mawar di dekapan dadanya nyaris tertidur, Abizar mencuri beberapa ciuman di bibir dan pipi wanita itu."Pipimu dingin sekali, Mawar." Abizar menghela napas. Ini salahnya, memaksa turun dan membuat mereka diserang angin malam yang menusuk kulit. Abizar berusaha menghangatkan wajah istrinya, Abizar p

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 48

    Mereka mengambil penerbangan pagi. Sepasang pengantin baru—Abizar dan Mawar—menumpangi penerbangan yang sama dengan keempat saudaranya. Sementara Omar, akan menyusul keesokan harinya atau lusa. Entah kenapa lelaki tua itu suka sekali menunda.Setelah hampir 17 jam penerbangan, bersisakan dua jam agar pesawat mendarat di Saudi, Mawar tertidur di lengan kokoh suaminya. Abizar tersenyum, sesekali mengecup rambut kepala istrinya lalu memainkan surat undangan keemasan yang ada di tangannya. Entah berapa ribu surat undangan yang serupa dibagikan untuk acara pernikahan mereka."Qad yajidun sueubatan fi qabul zawjatik, Abizar—mereka mungkin akan susah menerima istrimu, Abizar." Haikal yang menduduki bangku yang ada di belakang berbisik di telinga Abizar.Wajah semringah Abizar menjadi masam, lelaki itu menghela napas. Diliriknya Mawar, memastikan istrinya masih terlelap. Syukurlah, sepertinya Mawar tidur mati seperti biasanya. "Kita lihat saja nanti." Abizar memelankan suara, "aku akan berusa

  • Tawanan Cinta Tuan Abizar   Bab 47

    "Semalam tidak ke sana, menyapa istrinya Abizar?" Omar bertanya saat matahari naik. Iqbal menggeleng, lelaki itu tengah duduk di teras sambil memangku Al-Qur'an. "Maaf, tidak. Aku tahu apa yang dilakukan sepasang suami-istri di malam hari jika berdua saja, aku tidak mau menganggu.""Maaf Tuan Omar Hafshan, sepertinya ketiga anakmu yang lain akan datang kemari." Lelaki itu tersenyum tanpa merasa bersalah.Omar langsung mengerti maksudnya, lelaki tua itu pasrah. "Kamu yang memberitahu mereka, ya?" "Yap," Iqbal mengangguk tanpa perduli. "Akmal nyaris kecelakaan di Jakarta karena mencari-carimu, lebih baik kuberitahu sebelum dia nyasar tanpa hasil lagi. Sedangkan Malik, tak ada pilihan selain memberitahunya daripada dia datang ke kelab malam Semarang untuk melampiaskan emosi. Aku kasihan kepada wanita-wanita yang akan menjadi sasaran kebejatannya kalau mabuk.""Meskipun tidak kuberitahu 'pun sebenarnya Haikal sudah tahu kalau kamu ada di sini, dia hanya menunggu dua saudaranya yang lain

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status