Share

Bab 7

Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali.

Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain.

"Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya.

"Ya Tuan?"

Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?"

Aku mengangguk, "silahkan, Tuan."

"Mungkin ini sedikit konyol, aku ingin memastikannya dengan bertanya langsung pada perempuan. Sekalipun yang suamimu lakukan itu tradisi, desakan orang tuanya, dan yang paling dicintai tetap dia, apakah perempuan masih merasakan sakit hati jika suaminya beristri lebih dari satu?" Tuan Akmal menatapku penuh tanya, sangat menuntut jawaban. Aku tahu isi kepalanya, dia berharap aku menggeleng. Yang berarti, istrinyapun begitu. Tapi aku perempuan, tentu saja aku mengangguk. Yang berarti Ashya-nya merasakan sakit itu.

"Tentu saja, Tuan." Mendengar jawabanku Tuan Akmal menahan napas.

"Sekalipun itu tradisi?"

"Tradisi bisa menyakiti perempuan," aku menjawab.

"Desakan orang tua?"

"Kadang mertua selalu menjadi alasan seorang istri terluka," aku tersenyum saat mendapati wajahnya gelisah.

"Yang paling kucintai tetap dia?"

"Perempuan menginginkan cinta yang utuh, bukan yang terbagi."

"Kenapa perempuan bisa begitu egois?" Sambar Tuan Akmal kesal.

Aku mengernyitkan dahi, "bukannya kalian—para lelaki—yang egois?" Mendengar jawabanku Tuan Akmal terdiam. "Begini Tuan, coba pikirkan perkataanku. Bagaimana jadinya istri yang kamu cintai berselingkuh?"

Teriakan Tuan Akmal terdengar geram, "mana bisa! Akan kurajam."

Aku tersenyum kecut, "tidak terima 'kan? Cemburu 'kan? Itu yang dirasakan perempuan, tidak terima. Cemburu, tapi kadang mereka tidak bisa mengelak. Tersiksanya mereka dalam sebuah rumah tangga yang kalian jalani, tidak bisa dipungkiri. Begitulah, itu jawabanku. Jawaban mayoritas wanita."

"Tapi Ashya tidak pernah protes ... dia tidak pernah mengeluh atau menghalangiku ...." Tuan Akmal menatapku penuh harap.

"Anda tidak mengerti perempuan ternyata, Tuan. Perempuan itu mudah tersakiti dan merasa cemburu, tapi mereka paling ahli menahan rasa sakit dan cemburu itu. Sekalipun di luar baik-baik saja, bukan berarti di dalam sama saja. Mungkin dia tidak mau saja menunjukkannya ke Anda."

Tuan Akmal terdiam, dia berusaha mengatur napas, sepertinya istri pertamanya menyita habis pikirannya. "Baiklah ...." Desahnya frustrasi. "Bisakah buatkan aku minuman? Yang dingin." Sambil mendekap lap kotor aku mengangguk, pergi ke dapur untuk membuatkannya minuman. Setelah minuman yang dia perintahkan sudah kuletakkan di atas meja, Tuan Akmal meminumnya untuk mendinginkan kepala. Wajah merahnya sudah membuktikan kalau beliau terjebak oleh amarah dan rasa kesal, termasuk sedikit percikan penyesalan.

"Abizar benar ...." Tuan Akmal bersuara. Aku mengambil posisi duduk, tidak mungkin duduk di sofa yang sama dengannya, kujatuhkan diri ke lantai dan duduk bersimpuh di sana.

"Di rumah kami memang penuh dengan tangis wanita, yang selalu kami anggap tidak ada—pasti kamu menguping pembicaraan kami sebelumnya. Istri-istri ayahku, saudara-saudaraku dan istri-istriku. Awalnya aku kurang perduli, kupikir kewajaran jika mereka merasakan hal itu, mereka cuma harus menahannya. Istri keduaku yang menangis saat kubawakan istri ketiga dan istri ketigaku yang menangis saat kubawakan istri keempat."

Aku memasang telinga, mendengarkan dengan seksaman.

"Berbeda dengan istri-istri pertama saudara-saudaraku yang lain, aku tidak pernah mendapati Ashya menangis seperti yang mereka lakukan. Kukira aku tidak menyakitinya. Kukira dia memahamiku. Kukira dia tahu betul, sebanyak apapun wanita di rumah kami, tetap Ashya yang paling kucintai. Kukira ... tapi ternyata itu hanya harapanku saja, ya?"

Gelas yang diseruput Tuan Akmal sudah kosong, dia tersenyum miris. "Aku tidak mengerti apa maksud Abizar sebelumnya? Bukan perceraian, tapi kematian? Aneh, dia senang sekali membuatku bingung."

"Aku akan menghubungi ayah kami—menyampaikan lagi-lagi Abizar menentang pernikahan ini. Karena dari keluarga mana wanita yang akan dinikahkan dengan Abizar itu berasal, jadi kami harus memaksa Abizar untuk tetap menjalaninya." Mata Tuan Akmal meneliti semua pijakan lantai, dinding dan pillar.

"Oh ya, bersihkan semua ini dengan benar. Ayah kami akan datang ke Indonesia untuk menemui Abizar—menghajarnya sebagai balasan dari kata talak untuk Ulfa dan memaksanya untuk menurut lagi. Termasuk, siapkan sekitar beberapa kamar kosong. Mereka akan menginap—ayahku, calon istri Abizar dan beberapa orang yang lain. Untuk calon istri Abizar, siapkan kamar dari bangunan yang terpisah dari rumah utama ini." Tuan Akmal menunjuk sebuah bangunan di seberang kolam ikan yang terpisah dari rumah utama yang ditempati Tuan Abizar.

Aku hanya mengangguk, ternyata takdir memaksaku untuk banting tulang hanya karena kelakuan Tuan Abizar yang lagi-lagi berani menentang keluarganya.

"Sepertinya Abizar cukup luluh padamu," Tuan Akmal memerhatikan pahatan wajahku. Lalu berdeham, "jika dia pulang coba kamu bujuk dia untuk tidak melawan. Termasuk, jangan beritahu kalau ayah kami akan mampir, perjalanan pesawat dari Arab Saudi ke sini akan memakan banyak waktu." Tuan Akmal melirik arlojinya, mengangguk-angguk. "Aku pamit, assalamualaikum." Setelah salam dia mengambil ponsel dari saku celana sembari berjalan menuju kendaraannya dan mulai berbincang dengan sosok terhormat di seberang sana. Kulihat Tuan Akmal menjauhkan ponselnya dari telinga saat sosok ayah mereka marah dan membentak. Tuan Akmal terdengar berusaha menyabarkannya. Tuan Akmal masih bersandar di body mobilnya, lalu mengetik nomor lain. Nada suaranya berubah, sepertinya wanita yang ditelepon itu istrinya.

"Assalamualaikum, Ashya. Apa kabar?"

Raut wajah Tuan Akmal terlihat masam saat sambungan ponsel tersebut terputus. Beliau meringis, lalu menjatuhkan diri masuk ke dalam mobil.

>><<

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status