Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.
Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya.
Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri.
Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi.
Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya.
“Kau rupanya punya bakat menjadi patung,” sindir Robin dengan intonasi datar.
Suara itu, meski tidak keras, membuat Poppy tersentak seolah baru saja dipanggil dari dunia lain. Dia menoleh cepat ke arah Robin, matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Suara Robin yang dalam dan dingin selalu berhasil membuatnya merasa kecil, seperti seorang anak yang baru saja dimarahi gurunya.
Robin memiringkan kepala sedikit, ekspresinya tetap tenang, namun sorot matanya seperti pisau tajam yang menguliti setiap reaksi Poppy. Lalu, dengan suara rendah yang membuat udara terasa lebih berat, dia menambahkan “Jangan bilang kau tidak tahu cara bercinta.”
Poppy tersentak. Dia lantas melangkah dengan ragu karena tak tahu harus berbuat apa.
“Aku …” Poppy mencoba menjawab, tapi suaranya tercekat. Dia tak tahu harus berkata apa, langkahnya pun terasa tertahan, ragu di antara maju atau tetap berdiri di tempat.
Ucapan vulgar Robin membuat Poppy sangat malu. Dia tak bisa menunjukkan wajahnya dan pura-pura membetulkan gaun.
Terlebih lagi, Robin mulai melepas satu persatu kain yang menutup badannya. Tanpa canggung, pria itu hanya menyisakan celana pendek di depan wanita yang baru dua kali bertatap muka dengannya.
“T-tidak … bukan begitu …” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Dia menggenggam ujung gaunnya, pura-pura membetulkannya meski tak ada yang perlu diperbaiki. Tangan gemetarnya jelas mengkhianati usahanya untuk terlihat tenang.
Robin tak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka.
“Lepaskan gaun itu dan bersihkan badanmu dulu!” titah Robin.
“Baik …”
Poppy segera berlari ke kamar mandi. Sungguh, dia sangat takut melewati malam ini.
Dia bukan tak menanti, tetapi tak ingin melakukan kesalahan, atau melihat reaksi sang suami yang tak berselera menggauli dirinya.
Ketika gaun panjang terlepas dari tubuhnya, terlihat carut luka yang membekas di lengan dan paha. Poppy malu menunjukkan bekas penyiksaan bos besar kepada pria yang sudah menjadi suaminya kini.
‘Bagaimana jika dia jijik setelah melihat bekas luka ini? Apakah dia akan mengirimku kembali?’
Poppy menggeleng-gelengkan kepala selagi mengenyahkan pikiran buruknya. Dia segera mandi agar Robin tak marah karena lama menunggu dirinya.
Saat dia keluar dari kamar mandi, Robin tak ada di kamar. Poppy menghela napas lega sambil berjalan ke kursi.
Sebelum sempat duduk, pintu kamar terbuka. Poppy kembali berdiri sambil mengencangkan tali jubah mandi.
Rupanya, Robin baru saja mandi di kamar sebelah. Rambut pria itu masih setengah basah dan tanpa malu mengenakan handuk yang hanya menutup sampai tengah paha.
Tetesan air terlihat di ujung helai rambutnya, namun dia tampak tak peduli. Dengan gerakan malas, dia menggosok rambutnya sekilas menggunakan handuk sebelum melemparnya sembarangan ke atas kursi di sudut ruangan.
Tanpa banyak bicara, Robin melangkah ke ranjang dan duduk santai di sana, bersandar dengan satu tangan menopang tubuhnya. Sorot matanya tajam, namun wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.
Poppy, yang berdiri canggung di sisi ruangan, tak tahu harus berbuat apa. Ketegangan di antara mereka terasa pekat. Dia mencoba mengalihkan pandangan dari sosok Robin, tetapi suaranya yang berat dan tegas segera memecah keheningan.
“Apa yang kau lakukan? Cepat naik ke ranjang dan layani aku,” ujar Robin, dengan nada yang datar, tapi penuh otoritas.
Poppy tertegun, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu membuat wajahnya memanas, dan dia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Pandangan Robin yang menatap langsung padanya, membuat Poppy merasa semakin terpojok.
“B-baik ….” Poppy mengucapkan kata itu dengan ragu, suaranya teredam oleh ketegangan yang menggantung di udara. Langkahnya terasa berat saat dia berjalan pelan menuju ranjang, meremas jubah mandi yang membalut tubuhnya dengan kuat, seolah itu satu-satunya hal yang memberinya sedikit rasa aman.
Namun, ketika dia hampir sampai, Robin bergerak cepat. Dalam sekejap, dia menarik handuk yang terikat di pinggangnya dan melemparkannya ke lantai, mengungkapkan kejantanan tubuhnya.
Poppy merasa seperti tersentak. Bola matanya hampir melompat keluar oleh pemandangan yang membuat wajahnya memerah dalam sekejap. Dia ingin segera menundukkan kepala atau memalingkan wajah, tapi matanya seolah terperangkap, tak bisa berpaling dari tubuh suaminya yang begitu nyata dan menggugah rasa malu.
Robin yang melihat kebingungannya hanya mengerlingkan mata dengan sindiran. “Kau tidak akan bisa membangunkannya hanya dengan tatapan,” ujarnya, suaranya penuh ejekan. “Lepaskan jubah mandimu!”
Poppy memejamkan mata sambil membuka ikatan tali jubah mandi. Cepat atau lambat, mereka tetap akan melakukan hubungan badan.
Dengan rona wajah yang kian memerah, Poppy menjatuhkan jubah mandi ke lantai. Sementara matanya masih terpejam erat, sepasang manik amber sang suami menatap tubuh polosnya, seakan-akan sedang memberi penilaian di setiap jengkal.
Poppy langsung membuka mata ketika Robin menarik tangannya. Dia jatuh menindih paha kekar sang suami, merasakan sesuatu yang mulai mengganjal ketika dia terduduk di pangkuannya.
Alih-alih berbicara, Robin menuntun tangan Poppy untuk mengurut miliknya. Meski secara amatir, Poppy mampu membuat Robin sedikit mengerang, seketika dia menghentikan tangan Poppy. Lalu, mengarahkan mulut sang istri untuk melakukan hal lainnya.
“Uhm ….”
Poppy hampir tersedak saat Robin mendorong belakang kepalanya lebih dalam. Dia sampai kehilangan napas karena tak bisa melawan milik Robin yang terus mendesak.
“Haah … hah ….”
Poppy langsung meraup udara sebanyak-banyaknya ketika Robin melepaskan kepalanya.
“Berbaring …,” perintah Robin datar.
Poppy menurut sambil menyilangkan tangan di depan paha. Masih sangat malu mengekspos tubuhnya.
Tampaknya, Robin tak begitu peduli. Setelah pemanasan singkat yang membuat istrinya basah, Robin mulai membaringkan tubuh Poppy ke ranjang, kemudian mengarahkan kejantanannya untuk melesak masuk ke tempat yang semestinya, melakukan penyatuan.
“Ngh ….”
Poppy menahan diri agar tak menjerit kesakitan. Khawatir Robin akan marah.
Poppy langsung menggigit bibir mungilnya kala lenguhan lolos dari mulutnya. Tak mengelak jika percintaan panas itu menjadi semakin terasa nikmat.
Namun, seolah-olah tak mengizinkan Poppy untuk melihat bagaimana Robin bermain di area intimnya, dan menghantarkan lenguhan nikmat dari bibir Poppy, Robin mengambil sebuah kain yang ada di meja, tanpa melepas penyatuan mereka.
Robin mengikatkan kain tersebut ke mata Poppy, membuat Poppy seketika menjadi ketakutan setelah kenikmatan yang telah dia terima sebelumnya.
“T-Tuan …”
Robin menyentuh bibir Poppy menggunakan ibu jari, lalu mengentak dalam kejantanannya, dan menyemburkan cairannya di dalam Poppy. Perasaan hangat di dalamnya membuat Poppy sedikit terhuyung dan mencengkeram erat lengan Robin yang hanya bisa dia lihat dengan samar di balik kain penutup mata.
Poppy terkulai lemas. Dadanya naik-turun dengan cepat, seiring dengan napasnya yang terengah-engah. Setelah dua kali Robin menyiram benih di rahimnya, pria itu akhirnya membuka kain yang menutup mata Poppy.
Dalam bayangan Poppy sebelumnya, Robin mungkin sedang berbaring di sisinya. Bersiap untuk tidur seperti pasangan suami-istri lain seusai bercinta.
Akan tetapi, Robin ternyata sudah berpakaian rapi. Dia kemudian melempar kain hitam penutup mata ke meja. Tanpa sepatah katapun, Robin mengayunkan kaki menuju pintu.
“Kunci pintu sebelum tidur,” titah Robin tanpa menoleh ke belakang.
Mau tidur di mana suaminya jika dia menyuruh Poppy mengunci pintu? Poppy ingin bertanya, tetapi tak punya nyali setelah mendengar nada suara Robin yang begitu dingin.
Karya ini spesial untuk seseorang yang mengalami trauma serupa. Saya menulis ini dengan harapan X bisa jadi seperti Poppy yang akhirnya menemukan kebahagiaan sejati, serta dijadikan penghiburan dan motivasi. Respons trauma pada setiap individu itu berbeda-beda--saya tahu-- tapi saya yakin jika kamu bisa melaluinya. Waktu akan menyembuhkan lukamu, semua orang di sekitarmu akan selalu membantu. Kalau memang masih ada orang-orang toxic yang menghakimi nasib burukmu/hidupmu, abaikan saja ... seperti Rafael mengabaikan kebencian kakeknya. Maafkan kesalahan mereka untuk membuat hidupmu lebih nyaman dan damai, seperti Poppy memaafkan kesalahan besar ibu tirinya. Semua orang berhak bahagia, begitu pula denganmu ... 🌞 Sedikit dari Author ... Sebenarnya V tipe yang ... ini loh karyaku, mau suka atau nggak itu dari perspektif masing-masing, mungkin ada penulis lain yang baca cuma butuh inspirasi tanpa meninggalkan jejak, mungkin orang tertentu yg kalau pas cerita nggak sesuai dengan kei
“Oh, jangan menangis, Nick,” pinta Robin, berusaha menidurkan putranya. Namun, suara tangisan Nick semakin kencang. Poppy lantas ikut membantu Robin menenangkannya. “Lihat wajah Nick, suamiku. Dia menangis, tapi seperti sedang marah … seperti kau yang sering marah tidak jelas.” Poppy terkekeh. “Dia akan menjadi pria yang lebih tampan dariku kelak.” Poppy tiba-tiba mencium pipi Robin. “Tapi, kau tetap jadi pria yang paling tampan untukku.” Meski telah hidup bersama lebih dari setahun, wajah Robin masih merona setiap kali mendengar pujian istrinya. Debaran dalam dadanya pun masih sama seperti awal-awal menyadari cintanya. Perasaan Robin tak berubah. Hanya sikapnya yang berubah menjadi lebih penyayang. “Jangan terlalu banyak membaca novel! Awas saja kalau kau juga merayu pria lain!” “Itu tidak akan pernah terjadi.” Poppy malah mengusap-usap wajahnya ke wajah suaminya sambil terkekeh. “Aku tahu kau suka dirayu.” Robin masih menyimpan aura misterius. Namun, Poppy merasa lebih ban
“Dokter! Cepat periksa istriku!” titah Robin.Poppy tampak begitu lemas. Napasnya berat dan matanya tertutup rapat.“Istri Anda hanya kelelahan, Tuan.”Robin bernapas lega. Dia kembali menggenggam tangan istrinya. Seandainya dia bisa melahirkan, dia akan menggantikan peran Poppy daripada melihatnya begitu tak berdaya.Menyaksikan istrinya melahirkan, Robin sontak teringat pada Sienna. Apa pun kesalahannya, Sienna juga pernah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya.Robin merenung sambil menciumi punggung tangan Poppy. Dia yang merasa lebih tinggi dari para wanita, sampai membeli seorang istri, juga bersikap buruk pada ibunya, ternyata hanya pria lemah yang tak lebih kuat dari mereka.“Silakan menunggu di luar, Tuan. Kami akan bersiap memindahkan Nyonya Poppy ke kamar.”Robin keluar dari ruang bersalin dengan wajah bahagia. Keluarganya menyambut dengan pelukan hangat sambil memberikan selamat.Ketika memeluk Sienna, ucapan lirih lolos dari mulutny
Capri akan makan siang ketika Antonio meneleponnya. Dia sampai tersedak suapan pertama saat mendengar Poppy keguguran dan sedang diperiksa dokter.Dengan kecepatan penuh, Capri mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang dikatakan Antonio. Dia bahkan kena tilang karena melanggar rambu lalu lintas jalan. Untung saja, dia tak mengalami kecelakaan.Melihat orang-orang berkumpul di ruang pemeriksaan, serta rekan sejawatnya yang pucat pasi, Capri merasakan firasat buruk. Tanpa basa-basi, dia segera mengikuti dokter itu untuk memeriksa kondisi Poppy.Setelah menunggu beberapa menit, Capri keluar sambil menunduk.“Jangan katakan itu,” gumam Robin, enggan mendengar berita buruk.Capri membuka mulut akan bicara. Namun, teriakan seorang wanita dari kejauhan menghalanginya.“Robin!!!” seru Sienna sambil menangis.Dia langsung memeluk putranya. “Tidak apa-apa. Yang penting Poppy selamat. Jangan menyalahkan dirimu sendiri.”
“Istriku!!” Robin panik bukan main. Poppy tak pernah menunjukkan wajah kesakitan seperti itu, bahkan ketika dia menyiksanya.Poppy memegangi perutnya yang terasa melilit kencang. Bayi dalam perutnya seakan memberontak ingin keluar, berputar-putar di dalam perutnya.Robin dapat merasakan gerakan bayi dari perut istrinya yang begitu jelas, seperti menendang tangannya. Bayi itu bahkan ikut menyalahkannya, pikir Robin.Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor telepon Antonio di ponselnya sampai ibu jarinya hampir salah menekan nomor orang lain.“Cepat kemari! Istriku kesakitan!”“Baik, Tuan!”Antonio yang menunggu di luar, bergegas lari kencang ke dalam bersama para pengawal. Kedatangan mereka membuat pengunjung lain kaget dan panik.Sementara itu, Robin sudah berhasil menggendong istrinya. Cukup berat, namun dia tak begitu merasakannya.Mereka akhirnya bertemu di koridor. Para pengawal segera mengawal Robin, juga Antonio yang membawa sepatu Poppy yang terjatuh.“Cepat ke rumah sakit!” t
“Wah! Terima kasih banyak, Tuan Robin! Semoga kita bisa berjumpa lagi.” Wanita muda itu lalu pergi tanpa melihat Poppy.Robin berdiri canggung, tak berani menatap istrinya. “Ayo, makan … makan dulu.”Robin jelas menyembunyikan sesuatu!Ketika akan digandeng suaminya, Poppy segera menarik tangannya. “Apa-apaan itu tadi? Sejak kapan kau jadi ramah pada orang lain?!”Sebelum pertanyaan Poppy terjawab, seorang pelayan restoran mendekati mereka. “Tuan Robin, saya akan mengantar Anda ke ruangan yang sudah Anda pesan.”Dengan bibir cemberut, Poppy akhirnya menunda kemarahannya. Sampai di dalam ruangan VIP restoran, dia langsung menatap tajam suaminya yang duduk berseberangan darinya.“Kau belum menjawabku!”Sepanjang mengenal Robin, baru kali ini Poppy melihat kegugupan suaminya itu.Robin bingung … harus dari mana dia mulai menceritakannya?‘Tidak, itu bukan rahasia. Aku tidak pernah berniat menyembunyikan sesuatu dari istriku,’ batin Robin.“Kenapa kau membiarkan wanita lain mendekatimu? J