Ditengah-tengah rasa takut yang mendera, Serena merasakan seseorang menarik tubuhnya dengan kuat. Membawanya ke dalam dekapan yang hangat dan ia tahu siapa yang melakukan itu, Morgan.
Tatapan mata mereka sempat beradu beberapa saat sebelum Morgan kembali menatap lurus ke depan. Memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyingkirkan orang-orang Aroon. Belum sempat Serena bertanya, Morgan sudah membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Sampai di sana tubuh Serena di tekan ke dinding. "Apa yang kau lakukan di sini hmm?" tanya Morgan dengan mendekatkan bibir ke telinga Serena. "Seseorang ... menangkap ... saya Tuan," jawab Serena tergagap. "Begitu ya? jadi hari ini aku sudah menjadi pahlawan untukmu?" "Iya Tuan, karena itu saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. Sekarang tolong biarkan saya pergi." Ucapan Serena kali ini membuat Morgan tertawa menggelegar. "Beraninya kau menyuruhku. Aku tak akan melepaskanmu sebelum mendapatkan imbalan darimu. Buat aku melayang seperti malam itu! setelah itu baru kulepaskan." Tubuh Morgan kini menyingkir dari hadapan Serena. Pria itu hendak menyingkirkan pakaian dari tubuhnya, namun bukannya menurut Serena justru berusaha membuka pintu. Morgan paham sekarang, wanita yang merupakan pelayan di kediamannnya itu kembali menolak apa yang ia inginkan dan itu membuatnya kesal. Ditariknya tubuh Serena dengan kasar hingga menabrak salah satu meja yang terdapat di sana. Membuat vas bunga yang berada di atasnya jatuh dan pecah berhamburan. Meski pecahan kaca tersebut mengenai kakinya, Serena tak bergeming. Ia terus melangkah mundur di atasnya demi menghindari Morgan. Tangannya menangkup di depan dada sambil memohon agar Morgan tak menyentuhnya. "Patuhi perintahku pelayan!" geram Morgan dengan tatapan tajam menusuk. "Tidak Tuan, kumohon jangan lagi. Bagaimana jika nanti aku hamil?" Wanita itu mulai terisak. Morgan sendiri baru sadar kalau apa yang ia lakukan bisa membuat pelayannya hamil. Bersentuhan dengan wanita memang bukan yang pertama baginya. Sejauh ini juga tak pernah ada yang mengadu mengenai kehamilan, karena mereka memang para wanita yang sudah terlatih untuk memanjakan para pria sepertinya. Kini sesuatu yang berwarna merah mulai mengotori lantai. Jelas saja itu berasal dari kaki Serena yang terluka. Morgan yang merasa tak tahan segera mendekati Serena dengan langkah cepat lalu menggendong paksa wanita itu. "Tidakkk ... Jangan lakukan lagi!! Lepaskan aku!!" "Diamlah!! kakimu terluka!!" bentak Morgan saat Serena terus berusaha mendorongnya menjauh. Setelah mendengar teriakan itu akhirnya Serena terdiam. Ia sangat terkejut saat Morgan tiba-tiba berjongkok di hadapannya lalu memeriksa kakinya. Tak lama pria itu menelepon seseorang yang ternyata adalah dokter. Sambil menunggu dokter datang, Morgan kembali bertanya. "Apa urusanmu dengan para-pria itu?" "Bukan apa-apa," jawab Serena cepat. "Jangan membuatku kesal!! tidak mungkin seseorang menangkapmu tanpa alasan kecuali orang itu gila!!" bentak Morgan karena Serena tak memberitahukan secara gamblang apa yang ingin ia ketahui. "Mungkin ... mereka memang gila," lirih Serena yang langsung mendapatkan cengkeraman di dagunya. "Jangan main-main denganku pelayan sialan, atau kau adalah wanita murahan yang mereka beli dan kabur." "Aku bukan wanita seperti itu!!" jerit Serena dengan suara tertahan disela-sela rasa sakit karena cengkeraman Morgan. "Lalu apa alasannya katakaaann!!" Morgan yang sangat ingin tahu kembali berteriak di depan wajah Serena sambil menghempaskan dengan kasar dagu wanita itu. Sudah pasti rasanya sangat sakit. "Aku minta maaf Tuan, tapi aku benar-benar tidak tahu kenapa mereka melakukan ini padaku, sama halnya dengan aku yang tidak tahu kenapa kau seperti ini terhadapku." Kali ini Morgan terdiam. Ditatapnya wajah kusut Serena yang tertunduk dengan bibir meringis menahan rasa perih yang mulai menjalar di kakinya. "Apa kakimu sakit?" Tanpa sadar suara lembut keluar dari bibir Morgan. "Iya," lirih Serena yang kembali meneteskan air mata. "Jangan menangis! aku tak suka melihat orang menangis." Tanpa banyak bertanya, Serena buru-buru menghapus kedua pipinya yang sembab. Tak lama seseorang terdengar mengetuk pintu dan ternyata itu adalah seorang dokter yang datang dengan didampingi pengawal Morgan. "Siapa yang sakit Tuan?" tanya dokter tersebut sopan dan sangat berhati-hati. Sudah pasti ia merasa takut terhadap pria yang telah mengundangnya kali ini. "Kaki istriku tak sengaja menginjak pecahan kaca," jawab Morgan yang membuat Serena menatap kaget ke arahnya, namun wanita itu tetap diam. Hanya saja sikap Morgan selanjutnya membuatnya lebih terkejut lagi. Pria itu duduk di sampingnya sambil menggenggam tangannya dengan erat saat dokter mulai mengobati kakinya. Tangannya bahkan beberapa kali menyeka keringat di kening Serena yang muncul karena menahan rasa sakit. "Sudah selesai Tuan, tak ada lagi pecahan kaca yang tertinggal. Saya juga akan memberikan obat untuk diminum, jika nanti mengalami demam, langsung minum saja obatnya." "Hmm ... baiklah," sahut Morgan. Tak lama setelah dokter pergi, datanglah dua orang membawa makanan. "Makanlah jika tidak mau mati!" titah Morgan yang terdengar kejam, sementara Serena justru semakin tak mengerti dengan apa yang pria itu pikirkan, ia hanya diam di tempat tanpa menyahut. "Pelayan, kau tidak dengar apa yang kukatakan?!" Kali ini Serena mengangkat wajahnya, menatap ke arah pria yang juga tengah menatapnya dengan sinis. "Jika anda tidak menyukai saya, bukankah seharusnya anda menghabisi saya saja Tuan?" tanya Serena kemudian. Membuat Morgan mendekat lalu membungkuk, menghadapkan wajahnya ke wajah Serena yang masih duduk di tepi ranjang. "Apa kau ingin mati?" bisik Morgan. "Mungkin itu lebih baik," jawab Serena yang membuat Morgan kembali berdiri tegak lalu mengeluarkan sesuatu dari balik jas hitamnya. Benda berbahaya yang sudah ditarik pelatuknya itu kini menempel di kening Serena, tetapi bukannya menghindar, wanita itu justru memejamkan mata.Pagi itu Morgan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Semalaman ia benar-benar tak bisa tidur. Merasa kondisinya tak terlalu baik, Morgan sengaja meminta Maxime agar menghandle beberapa pekerjaan.Asistennya itu tentu menyambut baik tugas yang diberikan. Ia juga mengabarkan jika untuk sementara waktu Rebeca menunda kedatangannya."Oiya Tuan, apa anda tak menjawab telepon dari Nyonya Rebeca?" tanya Maxime karena semalaman ia terus diinterogasi oleh wanita itu untuk mempertanyakan dimana keberadaan suaminya. Apakah sudah ada perkembangan mengenai kondisinya, apakah sudah meminum obatnya, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang lain.Rebeca memang meminta dokter khusus untuk mengobati suaminya. Ia ingin sosok tampan itu menjadi pria perkasa yang bisa memuaskannya di atas ranjang. Ia bahkan rela membayar mahal dokter tersebut hingga mengikuti Morgan bertugas ke Paris selama tiga bulan. Tapi sayangnya Morgan sama sekali tak tertarik dengan apa yang Rebeca lakukan.Ia justru m
Serena sedikit kesal. Disaat segenting itu bisa-bisanya Arthur masih membahas soal cara memanggilnya. Tanpa Serena sadari, semua yang terjadi saat ini sudah pasti memang disengaja.Arthur melakukan itu karena saat ini bulatan di dada Serena benar-benar menempel sempurna ke tubuhnya dan yang pasti ia begitu menikmatinya. Sebagai pria dewasa yang normal, Arthur sungguh bisa merasakan betapa indahnya benda itu."Iya baiklah, Arthur, tolong sekarang lakukan!! singkirkan binatang itu!!" seru Serena tak sabar, namun justru terdengar begitu manja meski sebenarnya ia tak bermaksud demikian.Tak ingin wanita dalam dekapannya merasa curiga, akhirnya Arthur mulai menggerakkan tangannya untuk menyingkirkan binatang tersebut dari bahu Serena, namun tetap saja ia tak serta merta langsung membuangnya.Hal pertama yang ia lakukan adalah menyingkap rambut panjang Serena dan menyempatkan diri untuk menghirup aroma lembut tubuh wanita itu. Disaat itulah ide gila muncul di benak Arthur, bersamaan dengan
Setelah puas barulah Morgan kembali ke kamar untuk menghubungi orang yang selama ini ia tugaskan mencari Serena."Sebenarnya kau melakukan tugasmu atau tidak?!" bentak Morgan yang memang tengah dilanda emosi."Kami sungguh melakukannya Tuan, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada titik terang mengenai keberadaan Nyonya Serena. Tidak ada teman atau sanak saudara yang ia miliki. Semua cctv di beberapa kota tak luput dari pantauan kami, tapi hasilnya masih nihil."Morgan sebenarnya juga tahu itu. Besar kemungkinan Serena sudah keluar negeri, tapi ke negara mana yang menjadi tujuannya, Morgan juga masih tidak tahu, sementara Serena benar-benar tak memiliki siapapun dalam hidupnya yang bisa Morgan cari untuk menggali informasi.Disaat seperti itu ia teringat pada Sean."Sean ... mungkin aku harus bertanya padanya. Tapi rasanya juga percuma, pria bodoh itu bahkan begitu yakin Serena sudah tiada. Jika ia semudah itu mengarang cerita, artinya ia tahu, tak ada siapapun yang akan mencarita
Sudah cukup lama Morgan menghabiskan waktu di Paris. Setelah beberapa usaha ia lakukan, akhirnya ia berhasil mengambil alih perusahaan Serena yang dikuasai Sean dan istrinya."Bedebah kau Morgan!!" bentak Sean tak terima setelah ia diusir dari perusahaannya sendiri. Meski pria itu tak berhadapan langsung dengan Morgan, tetap saja bibirnya memaki tanpa henti, terlebih saat ia diseret ke penjara karena terbukti melakukan penipuan dan manipulasi data kepemilikan perusahaan.Tak hanya itu, hukuman seumur hidup juga sudah menanti ketika bukti-bukti pembunuhan berencana yang ia lakukan pada kedua orangtua Serena semakin kuat. Sayangnya mantan mertua Serena sudah lebih dulu meninggal karena terkena serangan jantung setelah mendengar vonis yang ia terima.Sean masih tak menyangka, Morgan yang seolah-olah mengulurkan tangan dengan janji-janjinya yang luar biasa, ternyata dengan mudah mengambil segalanya. Yang membuatnya heran, pria itu tahu perihal Serena."Tidak mungkin jika Serena bisa menge
Disaat Felix sudah pergi, ternyata Serena justru menunjukkan respon. Suster yang melihat pergerakan tangan wanita itu langsung memanggil dokter."Panggil keluarganya Sus, katakan pada mereka agar mengajak pasien berinteraksi, mungkin dengan itu pasien bisa mendengar dan bisa segera membuka mata!" perintah sang dokter.Dokter muda bernama Arthur itu menatap lekat wajah Serena. Rasa iba selalu merasuki relung hatinya setiap kali ia memeriksa wanita di hadapannya saat ini."Kasihan sekali kamu. Beban berat seperti apa yang menimpamu Nona, sampai-sampai kau ingin beristirahat cukup lama," ucap Arthur lirih. Tak disangka mata Serena mulai bergerak-gerak walau masih tetap terpejam.Hal itu membuat Arthur semakin bersemangat. Sungguh akan menjadi kebahagiaan tersendiri baginya jika pasien koma di hadapannya saat ini akhirnya bisa bangun."Bangunlah Nona Serena. Dunia ini sangat indah. Sekarang kau sudah memiliki pangeran kecil yang sangat tampan. Hari-harimu pasti akan lebih menyenangkan ber
Sayangnya saat benar-benar hendak dijual, orang yang menawar tanah sekaligus rumah keluarga Felix justru sudah tak menginginkannya lagi. Orang tersebut sudah mendapatkan tempat yang lain. "Jangan khawatir Ayah, Felix akan mencoba mencari pertolongan di tempat kerja," ucap Felix yang mencoba menenangkan sang ayah. "Baiklah, Ayah tunggu kabar baiknya." Setelah memastikan ayah dan ibunya mau mengisi perut, Felix segera pergi ke tempat kerjanya. Jarak tempuh dari rumah sakit menuju ke sana hanya sekitar dua puluh menit saja. Sebagai seorang fotografer di perusahaan ternama yang dikontrak khusus untuk memfoto para model di sana, gaji Felix sebenarnya cukup besar. Selama ini ia hampir tak pernah kesulitan. Akan tetapi biaya pengobatan Serena memang sangat besar, belum lagi biaya perawatan bayinya yang tak mungkin dibawa menjauh dari sang ibu. Semua permasalahan itu ternyata membuat Felix tak bisa fokus bekerja. "Felix, apa yang kau lakukan, kita harus mendapatkan foto terbaik h
"Bibi, jangan menatapku begitu, aku baik-baik saja," ucap Serena pada sang bibi, tapi bukannya tenang, wanita paruh baya itu justru meneteskan air mata. Ia bahkan mengalihkan pandangan ke hamparan laut yang mengitari mereka saat ini. Perjalanan yang mereka tempuh memang masih sedikit jauh. Tapi Serena merasa dirinya baik-baik saja. Hanya sesekali perutnya terasa mulas. Tapi ekspresi paman dan bibinya nampak tegang, dan itu membuatnya bingung. Serena hampir bangun dari tempat ia berbaring karena merasa bosan berada di posisi yang sama, namun tabib yang berada di sampingnya langsung menahan. "Tidurlah kembali, jangan terlalu banyak bergerak!" Mendengar suara tegas dari bibir tabib tersebut, Serena langsung kembali ke tempat semula, hanya saja tangannya meraba-raba untuk menggenggam tangan bibi May. "Bibi, jangan khawatir. Aku bahkan tak merasa kesakitan sama sekali, hanya mulas sedikit saja," ucap Serena sambil mengukir senyum di bibirnya. Mendengar itu bibi May hanya tersenyum
Tetaplah di sini. Aku ke sana untuk melakukan pekerjaan. Lagipula tak ada untungnya untukmu, aku tak bisa menjadi laki-laki sejati. Kau lihat sendiri kan?" Akhirnya Morgan menanggapi permintaan Rebeca."Tidak, kau adalah suamiku. Kau juga sudah berjanji mau melakukan terapi agar bisa sembuh. Aku mencintaimu Morgan. Tolong jangan seperti ini. Menghadaplah kemari, aku ingin merasakan kehangatan pelukanmu."Bukannya menurut, Morgan justru tetap diam dan menutup mata rapat-rapat. Kali ini ia memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ia juga menjadi penasaran, bagaimana jika wanita yang menggodanya bukanlah Rebeca tapi Serena, apa miliknya tetap tak bisa bereaksi.Pertemuannya dengan Sean akhir-akhir ini justru membuat rindu Morgan terhadap Serena semakin menumpuk. Tanpa terasa sudah 7 bulan lamanya ia tak lagi bisa melihat kecantikan wanita yang dicintainya itu.Sementara di tempat yang berbeda, Serena tengah membantu bibinya menyiapkan berbagai menu untuk menyambut kedatangan kak
Keputusan Morgan sudah bulat. Menurutnya lebih baik tak memiliki keturunan sama sekali daripada harus ada benihnya di rahim Rebeca. "Jangan berbelit-belit, buatkan ramuan untukku!!" Morgan sudah tak bisa bersabar, membuat dua orang di hadapannya tak bisa berkata-kata lagi. Malam itu, setelah satu Minggu aktif mengkonsumsi ramuan herbal yang khusus dibuat untuknya, Morgan akhirnya tak keberatan lagi saat Rebeca memaksanya untuk menyingkirkan semua pakaiannya. Morgan sudah menyerah. Ia tak tak mungkin menolak Rebeca terus menerus karena itu pasti akan menimbulkan masalah, sementara untuk saat ini ia masih membutuhkan kerjasama itu. Saat pakaian di tubuh Morgan tersingkir semuanya, Rebeca sempat terdiam beberapa detik. Wanita mana yang tak akan terpesona pada keindahan tubuh seorang Morgan Calister. Selain wajah tampan dan sorot matanya yang tajam, guratan otot di tangan dan dadanya sungguh berhasil membuat wanita resah seketika. Membayangkan bagaimana tangan kokohnya yang berta