Brak! Pintu restoran terbuka keras, menghentak suasana yang semula hangat. Semua mata menoleh, termasuk Aurora yang langsung membeku ketika melihat pria yang masuk dengan langkah panjang penuh amarah.
“Rafael…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang tercekat di tenggorokannya. Ia ingat wajah itu samar, gelap, menempel di memorinya sejak pertemuan di gedung tua. Pria misterius yang memperingatkannya… yang hampir membuatnya percaya bahwa Damian bukan pahlawan seperti yang ia kira. Kini, Rafael berdiri hanya beberapa langkah darinya, tatapannya menusuk, rahangnya mengeras. “Aurora.” Aurora setengah bangkit, jantungnya berpacu. “Apa yang kau lakukan…” Damian sudah lebih dulu bergerak. Ia duduk santai, memutar gelas wine di tangannya, menatap Rafael dengan senyum yang lebih dingin dari baja. “Lihat siapa yang datang. Aku kira kau sudah tahu batasmu, Rafael.”Aurora menepikan mobil hitam mengilap di depan gerbang rumah mewah keluarganya. Jantungnya berdetak cepat saat melihat Mama berdiri di teras, mengenakan gaun pastel sederhana. Wajah Mama tampak lebih tirus, ada gurat lelah yang menusuk hati Aurora. “Mama…” Aurora turun cepat, memeluk ibunya erat. Kehangatan itu membuatnya ingin menangis. Aroma rumah, yang dulu selalu menenangkan, kini terasa asing. “Sayang… kau baik-baik saja?” suara Mama bergetar ketika mengelus rambutnya. Aurora menahan napas, berusaha tidak pecah. “Aku baik, Ma. Yuk, temani aku shopping. Seperti dulu…” Mama tersenyum tipis, seolah ada sesuatu yang tidak terucap. “Baiklah, Nak. Papa sedang di ruang kerja. Tidak bisa ikut.” Aurora menoleh sekilas ke dalam rumah, dadanya mengeras. “Bagaimana… bisnis Papa sekarang? Apa sudah lebih baik setelah…” ia menahan diri sejenak, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “setelah sunti
Aurora terbangun dengan kepala berat, mata masih sembab. Cahaya matahari menembus tirai, memantul di lantai marmer dingin. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Semalam… ia menangis sampai tertidur. Dan sekarang, ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pintu terbuka. Damian masuk dengan nampan sarapan. Kemeja hitamnya terbuka satu kancing, rambutnya sedikit basah baru saja mandi. Wajahnya tanpa senyum, tapi mata itu… tajam dan dalam, seperti jurang. “Pagi,” ucapnya pelan, namun suaranya serak, berat, membuat udara terasa lebih padat. Aurora mengangguk kecil. “Pagi.” Damian meletakkan nampan di meja, lalu menarik kursi untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi aura kuasanya tetap mendominasi ruangan. Aurora duduk ragu. Ada jus jeruk dan kopi. Damian menuang kopi untuk dirinya sendiri, lalu duduk di seberang. Diam. Hanya terdengar suara burung berkicau dari balkon luar. A
Brak! Pintu restoran terbuka keras, menghentak suasana yang semula hangat. Semua mata menoleh, termasuk Aurora yang langsung membeku ketika melihat pria yang masuk dengan langkah panjang penuh amarah. “Rafael…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang tercekat di tenggorokannya. Ia ingat wajah itu samar, gelap, menempel di memorinya sejak pertemuan di gedung tua. Pria misterius yang memperingatkannya… yang hampir membuatnya percaya bahwa Damian bukan pahlawan seperti yang ia kira. Kini, Rafael berdiri hanya beberapa langkah darinya, tatapannya menusuk, rahangnya mengeras. “Aurora.” Aurora setengah bangkit, jantungnya berpacu. “Apa yang kau lakukan…” Damian sudah lebih dulu bergerak. Ia duduk santai, memutar gelas wine di tangannya, menatap Rafael dengan senyum yang lebih dingin dari baja. “Lihat siapa yang datang. Aku kira kau sudah tahu batasmu, Rafael.”
Mobil meluncur meninggalkan gedung tua. Aurora menatap keluar jendela, lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kepalanya riuh. Banyak pertanyaan berputar tentang foto itu, tentang malam lima tahun lalu, tentang Damian. Tapi setiap kali ia ingin bertanya, lidahnya kelu.Ia meraih ponselnya, jemarinya gemetar. Ingin menghubungi ayahnya, ingin menuntut kebenaran. Tapi bagaimana jika Damian mengawasinya? Bagaimana jika… ayahnya memang bersalah?Damian duduk di sampingnya, diam, hanya ketukan jarinya di sandaran kursi yang terdengar. Ritmenya pelan tapi menusuk, seakan mengingatkan: Aku masih mengendalikan segalanya.Mobil berhenti di depan restoran bintang lima. Cahaya lampu kristal dari dalam memantul di kaca jendela. Damian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi tatapannya berkata lain.“Makan malam,” ucapnya singkat, nadanya seperti perintah.Aurora menegakkan bahu, mencoba tenang meski
Aurora berdiri mematung di ruangan besar itu. Lampu gantung yang menggantung tinggi di langit-langit gedung tua terasa seperti mata yang mengawasi, menghakimi. Di meja kayu, foto itu masih terbuka, senyum masa lalu menertawakan dirinya.Tangannya gemetar, seolah foto itu bukan sekadar kertas—tapi sebuah pintu ke neraka yang selama ini ia tolak untuk dibuka.“Aku…” suaranya parau, nyaris tenggelam. “Aku tidak mengerti, Damian.”Damian berdiri beberapa langkah darinya, jas hitamnya kini sedikit terbuka, dasi longgar, tapi auranya tetap mencengkeram. Ia menatap Aurora lama, dalam, sampai udara di antara mereka terasa berat.“Kau mau tahu kebenaran, Aurora?” suaranya rendah, dingin. “Maka dengarkan… karena setelah ini, kau tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama.”Aurora menelan ludah, ngeri, tapi juga… penasaran.Damian berjalan mendekat, langkahnya mantap, sepatu kulitnya menimbulkan gema di lantai marmer tua. Ia berh
Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M