Kamar itu remang. Hujan belum berhenti di luar.
Aurora duduk di pinggir ranjang Damian.Damian menatap keluar jendela, tak bicara sepatah kata pun sejak video itu.Tangannya mengepal. Napasnya berat.Aurora berdiri, mendekat pelan, lalu duduk di belakangnya.Ia menyentuh bahu pria itu. “Damian….”“Kalau dia bukan ayahku,” gumam Damian lirih, “siapa aku?”Aurora memeluknya dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak telanjang Damian. “Kau adalah laki-laki yang kupilih. Bukan karena nama. Tapi karena hatimu.”Damian menoleh. Wajahnya pucat, tapi mata itu terbakar campuran luka dan gairah.“Jangan bilang kau memilihku kalau akhirnya akan pergi.”Aurora menggenggam wajahnya, dan mencium bibir pria itu dalam, pelan, lalu makin kuat. Ciuman itu mengandung luka. Ciuman itu minta dimengerti.Damian membalas. Tangannya meremas pinggang Aurora. Tubuh wanita itu ditarik ke atas pangkuannya.“Peluk aKabut tipis menyelimuti lereng-lereng Loraine Hill, seperti tirai halus yang menutupi rahasia masa lalu. Mobil sport hitam Damian meluncur pelan di jalanan basah. Di sampingnya, Aurora duduk diam, membiarkan jari-jarinya digenggam oleh pria yang kini tak lagi hanya milik dunia hitam tapi juga miliknya. "Aku masih belum percaya kita akan tinggal di pondok," gumam Aurora, menatap pemandangan luar jendela. Damian meliriknya, lalu tersenyum samar. "Pondok, versi mafia." Saat mobil melewati gerbang besi yang nyaris tertelan tumbuhan liar, mata Aurora membesar. Di balik belokan terakhir, sebuah vila dua lantai berdiri megah di tengah perbukitan. Dinding kacanya memantulkan cahaya pagi. Kolam renang mengambang seperti menyatu dengan lembah hijau yang luas. Angin membawa aroma lavender liar yang tumbuh di taman sekitar bangunan. "Apa... ini?" tanya Aurora terperangah. Damian memarkir mobil, lalu membuka pintu untukny
Hujan gerimis menyapu kaca mobil saat Damian duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong tapi penuh badai. Aurora menggenggam tangannya erat, seolah takut kalau pria itu akan hancur dalam diam.Video rekaman itu masih terputar dalam pikirannya. Wajah perempuan tua yang pucat, yang selama ini ia kira sudah mati saat melahirkannya, muncul dengan suara yang gemetar:“Anak ini… bukan anak Gabriel. Dia anak lelaki lain. Tapi aku harus bohong, demi hidupku.”Sialan.Satu kata itu terngiang di kepalanya. Bukan karena benci… tapi karena semua yang dia percaya hancur dalam satu detik. Dan yang paling menyakitkan, bukan kematian, tapi kebohongan yang diwariskan.“Aku akan cari dia,” gumam Damian dingin. “Kalau dia masih hidup, aku mau dengar langsung dari mulutnya.”Aurora menatap pria itu dengan pandangan sendu. “Kita ke rumah Valente dulu. Ayahku sahabat ayahmu. Dia pasti tahu.”Damian mengangguk. Mobil berbelok ke arah luar
Damian udah gak waras.Tubuhnya gemetar, keringat dingin meleleh di leher.Tangannya masih diborgol ke headboard ranjang tapi itu bukan karena dia ditangkap.Dia minta sendiri.Aurora naik di atasnya, duduk manis, tapi gerakannya licik.“Ngaku,” bisik Aurora sambil goyang pinggul pelan.“Siapa yang paling kamu takutin di rumah ini?”Damian mengerang, kepala nempel ke bantal.“Kamu… sialan ahh… kamu tuh… penyiksa sayanggg…”Aurora senyum, lalu mencubit putingnya.“Aku nanya siapa.”“KAMU! Ya ampun Aurora please… lepasin aku… aku mau peluk kamu…”“NO,” Aurora turun ke lehernya, gigit kecil, lalu bisik,“Peluk bisa nanti… Sekarang aku cuma butuh kau nikmati dan mohon ampun sambil nangis.”DAMNDamian disuruh mengangkat kedua kaki duduk di kursi bar.Aurora jongkok, tangan narik ikat pinggang suaminya, pelan-pelan.“Jangan gerak.”Damian cuma bisa geleng-geleng, satu
Mentari baru muncul setengah ketika Damian dan Aurora turun ke dapur cuma pakai kemeja putih tipis dan celana pendek. Tapi bukan sarapan yang mereka cari. Aurora duduk di meja kayu, kakinya bersilang… bibir masih merah bekas gigitan semalam. Damian mendekat dari belakang, tangannya langsung menyusup ke dalam baju. “Kau menggoda aku, sayang?” bisiknya di leher Aurora. Aurora hanya tersenyum nakal. “Aku haus… tapi bukan air putih.” DAMN. Damian langsung angkat tubuhnya, taruh ke atas meja makan ngebuka kancing baju Aurora satu per satu dengan gigi. “Astaga Damian!” Tapi Aurora gak menolak. Malah mengangkat kedua paha di ujung meja, tangannya menarik rambut pria itu makin dekat ke dadanya. Damian mulai dari leher. Ciuman panas. Lalu turun ke tulang selangka. Gigit sedikit. Napasnya makin berat. Tangannya menjelajah tiap inci tubuh Aurora. Tapi
Kamar itu remang. Hujan belum berhenti di luar.Aurora duduk di pinggir ranjang Damian. Damian menatap keluar jendela, tak bicara sepatah kata pun sejak video itu.Tangannya mengepal. Napasnya berat.Aurora berdiri, mendekat pelan, lalu duduk di belakangnya.Ia menyentuh bahu pria itu. “Damian….”“Kalau dia bukan ayahku,” gumam Damian lirih, “siapa aku?”Aurora memeluknya dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak telanjang Damian. “Kau adalah laki-laki yang kupilih. Bukan karena nama. Tapi karena hatimu.”Damian menoleh. Wajahnya pucat, tapi mata itu terbakar campuran luka dan gairah.“Jangan bilang kau memilihku kalau akhirnya akan pergi.”Aurora menggenggam wajahnya, dan mencium bibir pria itu dalam, pelan, lalu makin kuat. Ciuman itu mengandung luka. Ciuman itu minta dimengerti.Damian membalas. Tangannya meremas pinggang Aurora. Tubuh wanita itu ditarik ke atas pangkuannya.“Peluk a
Langit pagi mendung. Sisa-sisa pertempuran semalam masih terasa di udara bau darah, mesiu, dan pengkhianatan masih mengambang, seolah tak mau pergi.Damian berdiri di balkon lantai atas mansion Blackwood yang kini kembali dikuasainya. Setelah malam panjang yang penuh darah dan kehilangan, dia akhirnya memegang kendali penuh. Tapi perang belum selesai. Belum, selama Alex anak tiri dari pernikahan kedua sang ayah masih bernafas.Lima tahun lalu, Alex sudah menunjukkan ambisinya. Saat Damian masih mempercayainya sebagai saudara, pria itu justru menjebaknya dalam kobaran api berusaha membakar Damian hidup-hidup, demi menghilangkan satu-satunya penerus sah keluarga Blackwood. Damian selamat... tapi luka itu tetap ada, membekas di tubuh dan jiwanya.Valente, ayah Aurora, tahu sejak saat itu bahwa Alex bukan sekadar ancaman biasa. Ancaman itu begitu nyata, sampai ia rela mengorbankan Damian demi menyelamatkan putrinya. Saat semua orang mengira Dami