Hujan gerimis menyapu kaca mobil saat Damian duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong tapi penuh badai. Aurora menggenggam tangannya erat, seolah takut kalau pria itu akan hancur dalam diam.
Video rekaman itu masih terputar dalam pikirannya. Wajah perempuan tua yang pucat, yang selama ini ia kira sudah mati saat melahirkannya, muncul dengan suara yang gemetar:“Anak ini… bukan anak Gabriel. Dia anak lelaki lain. Tapi aku harus bohong, demi hidupku.”Sialan.Satu kata itu terngiang di kepalanya. Bukan karena benci… tapi karena semua yang dia percaya hancur dalam satu detik. Dan yang paling menyakitkan, bukan kematian, tapi kebohongan yang diwariskan.“Aku akan cari dia,” gumam Damian dingin. “Kalau dia masih hidup, aku mau dengar langsung dari mulutnya.”Aurora menatap pria itu dengan pandangan sendu. “Kita ke rumah Valente dulu. Ayahku sahabat ayahmu. Dia pasti tahu.”Damian mengangguk. Mobil berbelok ke arah luarUdara pagi di Krosia menggigit ringan, tapi tak cukup dingin untuk membekukan kehangatan dalam markas bawah tanah yang baru saja kembali tenang setelah pelarian dramatis. Langkah-langkah kaki terdengar mengisi koridor batu, namun semuanya terasa damai. Untuk pertama kalinya sejak kekacauan berminggu-minggu itu, Damian bisa memejamkan mata sebentar meski tetap dalam posisi duduk, tangan masih menggenggam peta keamanan dan senjata di pinggangnya tak pernah lepas.Di ruang perawatan utama, Aurora duduk di sofa empuk berlapis bulu domba. Perutnya yang mulai membuncit dilindungi tangan Damian saat pria itu duduk di sampingnya tangannya terluka, dibalut cepat, tapi ia tetap enggan beranjak terlalu jauh dari sang istri.Velia berdiri tak jauh, sorot matanya cemas, tapi tetap tenang. Wibawanya masih terpancar kuat meskipun matanya tampak lelah.Robert menghampiri Velia dengan kepala sedikit menunduk, menunjukkan rasa hormat.“Maaf, Nyonya. Adrian masih dalam o
Markas Blackwood di Krosia berdiri kokoh di antara pegunungan bersalju, jauh dari hiruk pikuk peradaban. Bagi mereka yang berhasil keluar hidup-hidup dari pertempuran berdarah beberapa jam lalu, tempat ini terasa seperti surga kecil yang dingin dan tenang.Damian berjalan pelan melewati lorong utama. Jas hitamnya sobek di lengan kanan, menampakkan perban yang mulai basah oleh darah. Luka bakar di tangannya belum diobati dengan benar ia lebih memilih memastikan semua orang selamat dulu.Bau antiseptik dan luka terbakar menyambut mereka ketika pintu markas Krosia terbuka lebar. Damian berjalan tertatih dengan tangan yang dibalut perban sementara darah kering menodai sisi jaket kulit hitamnya. Tapi matanya tetap tajam. Tegas. Penuh strategi. Di belakangnya, Robert menopang tubuh Adrian yang wajahnya pucat pasi, dada naik-turun tidak beraturan.Velia menghampiri cepat, tak sempat lagi menyembunyikan kekhawatirannya. Tapi ia tetap menjaga sikapnya sebagai kepal
Dari balik reruntuhan, Robert muncul dengan pakaian tempur penuh lumpur dan membantu Adrian bangkit, menoleh cepat ke arah suara itu. Wajahnya tegang keras dan mata itu penuh amarah.“Damn....! Area timur sudah dikuasai tentara Alex. Mereka nyebar, dan kita benar-benar terkunci di sini,” Teriak Robert. Tapi Damian tetap fokus.Damian menatap ke sekeliling. Api berkobar, kabut menguap dari peluru yang memanas, tubuh musuh bergelimpangan tanpa makna. Tapi pasukannya? Masih teratur. Siap. Tahu peran.Dari radio, suara pasukannya mulai masuk satu per satu.“Sektor barat siap mundur.”“Sektor timur, tinggal lima menit.”Raka mendekat, pelipisnya lecet, tapi matanya tetap fokus.“Kita bisa keluar sekarang. Mobil sudah standby di titik lima... tinggal nunggu aba-aba, Damian.”Damian tak langsung menjawab.Ia menatap ke arah Loxen yang kini setengah sadar, terikat. Lalu mengangkat bahu sedikit. Perlahan ia bica
Langit malam di perbatasan Swiss mendung. Angin dingin menerpa, membawa bau logam dan mesiu yang menyelinap lewat udara. Di kejauhan, koordinat yang mereka tandai sebagai “Sinyal Naga 44” tampak seperti bentangan lembah sepi. Tapi mereka semua tahu: ini jebakan. Atau setidaknya… arena pertempuran. Loxen melangkah masuk lebih dulu, didampingi beberapa orang kepercayaannya. Tatapannya tajam, telinga dipasang waspada. Ia yakin itu Gabriel. Mungkin masih hidup. Mungkin tidak. Tapi apa pun itu, sinyal ini harus ia kuasai duluan. Sayangnya, saat mereka mulai menyebar untuk mengecek area, suara desingan peluru tiba-tiba pecah dari balik tebing. Satu per satu anak buah Loxen jatuh. Tapi saat Loxen mengira ia tinggal sendirian, pasukan tentara bayaran berdatangan dari belakangnya. Pakaian tempur hitam, lambang tak dikenal di dada kiri. Alex yang kirim mereka. Di markas besar keluarga Blackwood, alarm perang b
Bab 51 - Kemanan BlackwoodSetelah pengumuman mengejutkan soal kehamilan Aurora, suasana markas besar Blackwood berubah. Ada ketegangan, ada harapan, ada perlindungan. Tapi malam itu, di balik segala hiruk pikuk strategi dan ancaman yang masih mengintai dari luar, kamar Damian dan Aurora berubah jadi tempat teraman di dunia.Aurora duduk bersandar di kepala ranjang, memeluk bantal. Rambutnya tergerai, matanya menatap Damian yang baru keluar dari kamar mandi, masih mengeringkan rambut pakai handuk. Di tangannya ada secangkir susu hangat.“Buat kamu,” ucap Damian pelan, menyodorkan cangkir.Aurora mengambilnya, mencium aromanya. “Kamu bikinin sendiri?”“Enggak. Aku intimidasi pelayan dapur biar bikinin yang terbaik,” jawab Damian dengan senyum menyebalkan, duduk di sampingnya. “Aku enggak mau anak kita ngambek di dalam sana karena susunya gak enak.”Aurora tertawa kecil, matanya berkaca. “Damian…”Damian menoleh, tatapan m
Damian berdiri di luar ruangan, mondar-mandir dengan ekspresi tegang.Gak lama, pintu kebuka. Dokter dan Velia menunduk sedikit dengan wajah... campuran antara gugup dan bahagia.“Selamat... Aurora sedang hamil muda. Usia kandungan kira-kira empat minggu.”Suasana mendadak hening.Velia tersenyum dan Damian… tertegun.Aurora, yang masih berbaring, menatap mereka semua dengan mata melebar. “H-hamil?”Damian melangkah pelan ke sisinya. Tangannya menyentuh perut Aurora yang masih rata. Suaranya bergetar pelan. “Kamu... serius?”Dokter mengangguk. “Kondisinya stabil, tapi harus istirahat penuh. Tidak boleh stres... apalagi terlibat dalam pertempuran.”Velia mendekati dan menatap Damian lurus. “Kamu tahu artinya ini.”Damian mengangguk, rahangnya mengeras. “Aku akan lindungi mereka. Keduanya.”Velia menatap menantunya dengan sorot mata yang lembut, untuk pertama kalinya sejak lama. “Anak itu... dara