Langit di atas markas utama keluarga Blackwood bergulung kelabu, seperti menahan badai yang belum sempat turun. Angin menggigit lewat celah jendela besar, membawa aroma logam dan basah seolah bumi sedang menahan napas.
Di dalam ruang kerja yang kini menjadi pusat kendali, Damian berdiri membelakangi semua orang. Tubuhnya kaku, satu tangannya menggenggam selembar foto tua yang nyaris usang. Foto itu memperlihatkan Gabriel Blackwood dan Velia, berdiri di depan markas lama bangunan megah yang kini hanya tinggal puing. Tatapan Gabriel di foto itu masih sama… tajam, hidup, penuh rahasia.Seolah pria itu belum sepenuhnya hilang.Velia berdiri di tengah ruangan. Tak ada kelembutan dalam sikapnya. Tubuhnya tegak, dan suaranya nyaring memotong keheningan.“Kita dapat sinyal,” katanya pelan tapi jelas. “Kode ‘NAGA-44’.”Seketika semua mata tertuju padanya. Damian menoleh cepat.“Itu...” Napasnya tercekat. “Itu kode rahasia Papa waktu masihBab 57 – Api Dalam Dendam Subuh belum menyapa langit Krosia. Tapi di markas Blackwood, jantung dunia bawah sudah berdetak kencang.Hanggar militer bawah tanah dipenuhi suara mesin. Jet hitam dengan emblem naga 44 disiapkan. Pasukan elit dengan armor senyap bergerak cepat, senjata diperiksa, amunisi dikunci. Tak ada waktu untuk gentar.Damian berdiri di tengah lintasan hanggar. Matanya merah. Bukan karena kurang tidur, tapi karena amarah tak bisa dipadamkan.Velia datang, masih dengan baju tempurnya. “Tim Echo sudah temukan pola pelarian mereka. Ada jalur bawah tanah lama, lorong peninggalan perang dingin, yang tembus ke daerah industri tua.”Damian mengangguk. “Itu rute mereka. Kita kejar lewat udara, mereka kejar dari bawah.”Robert mendekat sambil menempelkan tablet digital ke tangan Damian. “Ini data terakhir satelit. Kita belum temukan lokasi pasti, tapi… satu titik panas muncul tadi malam. Sinyal thermal menyala dua kali, l
Suara ledakan kecil memekakkan telinga Zane yang berdiri tak jauh dari lokasi Aurora terakhir terlihat. Ia menoleh cepat. Asap tipis mengepul di udara. Aroma gas menyengat menusuk hidung. “Kael! DIA DIAMBIL!” serunya panik. Kael langsung lari menuruni lereng, menyusuri semak-semak yang mulai dipenuhi kabut. Tapi Aurora tak ada. Yang tertinggal hanya sandal kanan miliknya dan tas kecil yang terjatuh dengan semprotan pertahanan tergeletak di tanah. “SATU LAGI ADA DI POHON SEBELAH KIRI!” Zane mengangkat pistol, menembak dua kali ke arah bayangan hitam yang meloncat ke atas tebing. Tapi terlalu lambat. Mereka sudah menghilang. Kael mengepalkan tangan, “Damian bakal bunuh kita…” * Di Markas Krosia BRAK! Damian menggebrak meja kayu besar. Cangkir teh terlempar, berhamburan ke lantai. Semua pasukan yang hadir menunduk. “AURORA HAMIL DAN KALIAN BISA-BISANYA KEHI
Udara pagi di Krosia menggigit ringan, tapi tak cukup dingin untuk membekukan kehangatan dalam markas bawah tanah yang baru saja kembali tenang setelah pelarian dramatis. Langkah-langkah kaki terdengar mengisi koridor batu, namun semuanya terasa damai. Untuk pertama kalinya sejak kekacauan berminggu-minggu itu, Damian bisa memejamkan mata sebentar meski tetap dalam posisi duduk, tangan masih menggenggam peta keamanan dan senjata di pinggangnya tak pernah lepas.Di ruang perawatan utama, Aurora duduk di sofa empuk berlapis bulu domba. Perutnya yang mulai membuncit dilindungi tangan Damian saat pria itu duduk di sampingnya tangannya terluka, dibalut cepat, tapi ia tetap enggan beranjak terlalu jauh dari sang istri.Velia berdiri tak jauh, sorot matanya cemas, tapi tetap tenang. Wibawanya masih terpancar kuat meskipun matanya tampak lelah.Robert menghampiri Velia dengan kepala sedikit menunduk, menunjukkan rasa hormat.“Maaf, Nyonya. Adrian masih dalam o
Markas Blackwood di Krosia berdiri kokoh di antara pegunungan bersalju, jauh dari hiruk pikuk peradaban. Bagi mereka yang berhasil keluar hidup-hidup dari pertempuran berdarah beberapa jam lalu, tempat ini terasa seperti surga kecil yang dingin dan tenang.Damian berjalan pelan melewati lorong utama. Jas hitamnya sobek di lengan kanan, menampakkan perban yang mulai basah oleh darah. Luka bakar di tangannya belum diobati dengan benar ia lebih memilih memastikan semua orang selamat dulu.Bau antiseptik dan luka terbakar menyambut mereka ketika pintu markas Krosia terbuka lebar. Damian berjalan tertatih dengan tangan yang dibalut perban sementara darah kering menodai sisi jaket kulit hitamnya. Tapi matanya tetap tajam. Tegas. Penuh strategi. Di belakangnya, Robert menopang tubuh Adrian yang wajahnya pucat pasi, dada naik-turun tidak beraturan.Velia menghampiri cepat, tak sempat lagi menyembunyikan kekhawatirannya. Tapi ia tetap menjaga sikapnya sebagai kepal
Dari balik reruntuhan, Robert muncul dengan pakaian tempur penuh lumpur dan membantu Adrian bangkit, menoleh cepat ke arah suara itu. Wajahnya tegang keras dan mata itu penuh amarah.“Damn....! Area timur sudah dikuasai tentara Alex. Mereka nyebar, dan kita benar-benar terkunci di sini,” Teriak Robert. Tapi Damian tetap fokus.Damian menatap ke sekeliling. Api berkobar, kabut menguap dari peluru yang memanas, tubuh musuh bergelimpangan tanpa makna. Tapi pasukannya? Masih teratur. Siap. Tahu peran.Dari radio, suara pasukannya mulai masuk satu per satu.“Sektor barat siap mundur.”“Sektor timur, tinggal lima menit.”Raka mendekat, pelipisnya lecet, tapi matanya tetap fokus.“Kita bisa keluar sekarang. Mobil sudah standby di titik lima... tinggal nunggu aba-aba, Damian.”Damian tak langsung menjawab.Ia menatap ke arah Loxen yang kini setengah sadar, terikat. Lalu mengangkat bahu sedikit. Perlahan ia bica
Langit malam di perbatasan Swiss mendung. Angin dingin menerpa, membawa bau logam dan mesiu yang menyelinap lewat udara. Di kejauhan, koordinat yang mereka tandai sebagai “Sinyal Naga 44” tampak seperti bentangan lembah sepi. Tapi mereka semua tahu: ini jebakan. Atau setidaknya… arena pertempuran. Loxen melangkah masuk lebih dulu, didampingi beberapa orang kepercayaannya. Tatapannya tajam, telinga dipasang waspada. Ia yakin itu Gabriel. Mungkin masih hidup. Mungkin tidak. Tapi apa pun itu, sinyal ini harus ia kuasai duluan. Sayangnya, saat mereka mulai menyebar untuk mengecek area, suara desingan peluru tiba-tiba pecah dari balik tebing. Satu per satu anak buah Loxen jatuh. Tapi saat Loxen mengira ia tinggal sendirian, pasukan tentara bayaran berdatangan dari belakangnya. Pakaian tempur hitam, lambang tak dikenal di dada kiri. Alex yang kirim mereka. Di markas besar keluarga Blackwood, alarm perang b