Angin musim semi berhembus lembut, membawa aroma kopi dan croissant dari kedai kecil di sudut jalan. Di bawah payung putih yang bergoyang pelan tertiup angin, Hazel dan Xavier duduk berhadapan, menikmati sarapan sederhana dengan pemandangan kota Milan yang mulai sibuk.Meski wajah mereka tampak tenang, percakapan yang mereka bangun mengalir dalam nada waspada."Bagaimana hubunganmu dengan Christina setelah semua yang terjadi?" tanya Hazel sambil mengaduk pelan teh hangatnya. Suaranya ringan, tapi matanya menatap tajam, mencari celah kebenaran dalam respons Xavier.Xavier meletakkan cangkir kopinya dan mengangkat bahu."Lebih baik dari yang kau bayangkan."Hazel mengangkat alis. "Kau yakin? Maksudku… wanita yang pernah menodongkan pistol ke kepalamu, dan sekarang kalian hanya… berdamai?"Xavier tersenyum tipis, matanya menerawang jauh ke arah langit yang mendung ringan."Christina bukan tidak akan membunuhku. Dia hanya... seseorang yang terluka dan dipenuhi kebencian yang salah arah. S
Akhirnya, Xavier membawa Hazel ke sebuah tempat yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya, kediamannya di Milan. Sebuah apartemen mewah, tersembunyi di balik sistem keamanan yang ketat dan pemandangan kota yang menawan.Xavier turun lebih dulu dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Hazel. Tanpa banyak kata, ia mengisyaratkan agar Hazel mengikutinya. Begitu pintu apartemen terbuka, Hazel langsung disambut aroma ruangan bersih yang bercampur dengan wangi khas maskulin Xavier. Pemandangan interior apartemen itu luas dan elegan, dengan jendela setinggi langit-langit yang menyajikan panorama malam kota Milan yang berkilau.Hazel menoleh ke sekeliling, matanya menyapu dinding marmer, sofa kulit hitam, dan meja kerja yang tertata rapi."Jadi… kau tinggal di sini sekarang?" tanyanya pelan, seolah tak percaya. Pantas saja ia tidak bisa menemukan Xavier di lokasi sebelumnya karena ternyata Xavier sudah pindah ke daerah Milan.Xavier berdiri di balik punggungnya, menatap ke luar jendela sambil
Kulit mereka saling bersentuhan, setiap gesekan menciptakan melodi yang hanya bisa mereka rasakan. Hubungan ini seakan seperti jebakan yang memerangkap kehidupan mereka, dalam waktu singkat semuanya tidak lagi sama.Hazel memejamkan mata, menyerahkan diri pada badai sensasi yang melanda. Setiap tarikan nafas, setiap desahan rendah Xavier yang menggema di telinganya, setiap gerakan yang mengguncang kesadarannya, semuanya ia simpan dalam memori, seperti harta karun yang tak akan pernah lapuk.Dan ketika matanya terbuka, dunia seakan berhenti berputar. Xavier tampak mempesona bagai dewa yang turun dari khayalan, rambutnya basah oleh keringat yang mengkilat di bawah cahaya redup, bibirnya menggoda dalam setengah rintih, wajahnya memancarkan hasrat yang tak terbendung."Akh, Xavier..." desis Hazel, suaranya parau oleh nafsu yang menggunung. Jari-jarinya mencengkram lengan Xavier dengan kekuatan yang mengisyaratkan keputusasaan, sementara tangan satunya meremas sprei hingga berkerut, seakan
Cukup lama Hazel berada dalam dekapan Xavier, setiap kata dan kalimat yang pria ini ucapkan bagaikan pisau yang menusuknya lebih dalam. Secara harfiah, Xavier tidak ingin ia terluka. Xavier hanya ingin ia menjauh dari bahaya, tapi entah kenapa itu malah membuatnya sulit melepaskan.Dengan berat hati, Hazel mengurai pelukan itu. Ia mendongak sedikit, menatap wajah Xavier dari jarak dekat, berusaha menangkap sisa-sisa kejujuran yang tersembunyi di balik tatapan dingin dan keras yang begitu familiar."Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Xavier menatapnya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Aku sudah terbiasa. Dunia yang kutinggali memang tidak mengenal damai, Hazel. Kekacauan adalah sarapanku setiap pagi."Hazel menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Tapi ia tak bisa menahan satu pertanyaan yang sejak lama terpendam."Setelah George tahu bahwa… bahwa kau yang membunuh Tyler, apa kau mendapat sanksi darinya?"Senyuman tipis terukir d
Jangankan pergi, Xavier bahkan tidak bergeming. Tubuhnya seperti tertancap di tempat, dan matanya tak lepas sedikit pun dari wajah Hazel. Di balik tatapannya, ada kalimat yang tak terucapkan. Ia tahu Hazel marah. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar untuk dibiarkan menggantung tanpa kabar, dan kini, pertemuan mereka bukan seperti kisah reuni yang manis, melainkan luka yang dijahit ulang."Pergi dari sini, Xavier," bisik Hazel lirih, nyaris tanpa tenaga, namun sarat emosi yang menahan diri dari ledakan.Xavier menarik nafas dalam-dalam. "Aku tahu kau marah… tapi aku harus menjelaskan satu hal. Aku dan Ella, kami tidak memiliki hubungan apapun."Hazel mendongak, tatapannya tajam. "Menarik. Kau juga pernah mengatakan hal yang sama padaku." Nada suaranya dingin, getir. "Dan lihat di mana kita sekarang, Xavier. Kau berdiri dihadapanku, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan sudah tidak pantas dijelaskan lagi.""Aku tidak punya pilihan," suara Xavier lebih dalam sekarang, ada dentuman em
Hazel tak merasakan luka di telapak tangannya, bahkan ketika darah mengalir dan menodai gelas yang pecah. Ia baru tersadar saat tepukan cemas mendarat di bahunya."Hazel, tanganmu berdarah!" seru Marco dengan panik.Hazel menoleh pelan, matanya kosong. "Hanya luka kecil, aku akan membersihkannya." ujarnya datar, lalu melangkah pergi menuju toilet.Di dalam ruangan berlampu pucat, Hazel menyalakan keran air. Suara gemericik menenggelamkan pikirannya yang riuh. Air dingin menyentuh luka di tangannya, membawa nyeri yang akhirnya membuatnya sadar bahwa ia benar-benar terluka, meski luka di hatinya terasa jauh lebih dalam.Ia hanya menghela nafas dalam, ia telah melakukan kebodohan sampai harus menyusul Xavier sejauh ini.Harusnya ia sudah paham, delapan bulan tanpa komunikasi adalah cara Xavier melupakannya, tapi ia yang bodoh ini tetap nekat bertemu dengan pria itu hanya untuk melihat pemandangan menyebalkan.Bahkan air matanya pun enggan menetes, walaupun hatinya terasa seperti diremas