Bersambung... Sekarang tau kan Black Viper itu apa hehe
Makan malam keluarga malam itu terasa berbeda. Suasana meja makan yang biasanya dipenuhi percakapan dingin dan penuh formalitas, kini justru terasa hangat dan cair. Lilin-lilin di atas meja panjang itu memantulkan cahaya lembut, menambah kesan intim di antara dua keluarga yang baru saja dipersatukan oleh sebuah pernikahan suci.Hadir malam itu hanya George dengan wibawa khasnya yang tak pernah pudar, dan cucu bungsunya, Charlie. Selebihnya, kursi-kursi kosong menjadi tanda bahwa sebagian besar keluarga Xavier memilih untuk tidak hadir, sesuatu yang membuat Hazel sempat bertanya-tanya di dalam hati. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.Bagi Hazel, malam ini cukup istimewa. Ini adalah kali pertama ia resmi duduk di meja makan keluarga sebagai seorang istri Xavier.“Xavier,” suara berat George memecah kesunyian yang sempat tercipta. “Jadi, kapan rencana resepsi pernikahanmu dengan Hazel? Mengapa kalian tidak melakukannya di hari yang sama?”Xavier dengan tenang, meletakka
Suasana katedral mulai mereda setelah pemberkatan usai. Xavier dan Hazel turun dan berdiri di ujung tangga altar. Berpegangan tangan sambil menatap para tamu yang hadir, musik yang tadinya mengalun sempat berhenti. Hazel berdiri di dekat Xavier yang mengenakan tuksedo hitam mahal, membalut tubuh kekarnya dengan sempurna. Dan di sebelahnya, Hazel mengenakan gaun indahnya yang terlihat sangat cocok mahkota yang begitu indah di kepalanya, seluruh dari mahkota itu terbuat dari berlian yang langka, tidak heran mengapa harganya begitu fantastis. "Mereka mengagumi dirimu." bisik Xavier. Sebelum Hazel sempat merespon, seorang fotografer mendekat, tentu saja untuk mengabadikan momen yang masih ada, dan salah satunya mengabadikan momen dimana Hazel menjadi ratu istimewa Xavier hari ini. Setelah sesi foto di tempat sakral itu selesai. Para tamu secara perlahan meninggalkan ruangan dengan wajah penuh senyum dan doa yang terucap dalam bisikan. Lilin-lilin masih menyala, namun musik organ sepen
Xavier beberapa kali menarik nafas dalam, dadanya terasa sesak oleh debaran yang tak kunjung reda. Ia sudah berdiri di altar sejak lima belas menit lalu, namun setiap detik terasa seperti satu jam yang menyiksa. Jemarinya sempat mengepal dan membuka lagi, mencoba menenangkan diri. Hatinya tahu, sebentar lagi, pintu besar itu akan terbuka dan sosok yang paling ia nanti akan muncul, Hazel, calon istrinya. Karpet merah membentang megah dari pintu utama hingga ke altar, seolah menjadi jalan suci yang hanya dipersiapkan untuk kedatangan seorang ratu. Pandangan Xavier sempat teralih ke arah Christina yang masuk lewat pintu samping. Perempuan itu melangkah penuh percaya diri, menatap Xavier dengan senyum tipis yang sarat makna. Senyum yang mengatakan, “Semuanya sudah beres. Tugasmu hanya menunggu dia.” Xavier mengembuskan nafas panjang, namun degup jantungnya justru makin keras saat derit pintu besar katedral terdengar. Suara itu menggaung, membuat suasana menjadi semakin hening dan khidmat
Sehari sebelum hari pernikahan yang dinantikan, udara Boston terasa berbeda, seolah ikut merayakan kebahagiaan Hazel. Dua hari terakhir, ia tidak tinggal di rumah Xavier. Sebagai tradisi, ia beristirahat di apartemen mewah yang juga milik Xavier, namun untuk sementara waktu, pria itu “dilarang” menemuinya. Salah satu ruangan apartemen itu dipenuhi balon, pita, dan tawa hangat. Malam ini adalah malam terakhir Hazel sebagai seorang lajang. Gaun pengantin Hazel tergantung anggun di ruangan khusus, dipajang di balik kaca. Cahaya lampu kristal membuat butiran berlian yang menghiasi gaun itu berkilauan seperti bintang yang jatuh ke bumi. Hazel berjalan pelan mendekat, jantungnya berdetak cepat. “Besok... aku akan mengenakanmu,” bisiknya lirih, ujung jarinya menyusuri permukaan gaun putih itu dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahannya. Sepupunya yang riang sempat bertanya, “Bagaimana rasanya, Hazel, tahu besok statusmu berubah?” Hazel tersenyum, matanya berkilat. “Mendebarkan...
Waktu yang dinantikan semakin hari kian dekat. Tiga bulan sudah berlalu sejak Hazel pertama kali melihat desain undangan yang Xavier sodorkan kepadanya, undangan yang begitu mewah hingga terasa seperti simbol pengikat takdir mereka. Dan kini, hanya hitungan hari lagi menuju momen terpenting dalam hidupnya. Hari ini, ia tengah memilih heels yang akan menemaninya berdiri di hadapan altar. Dua pasang sepatu sudah ia putuskan, ringan, nyaman, dan menambah keanggunan langkahnya. Namun ada satu hal lain yang masih mengusik benaknya. “Bunga apa yang akan kupakai saat pemberkatan nanti?” tanya Hazel lembut. Xavier yang sedang berbincang dengan seseorang melalui telepon menoleh sejenak. Suaranya terdengar mantap ketika menjawab, “Peony. Kau menyukai bunga itu, bukan?” Hazel sempat mengerutkan dahi, seolah jawaban itu menyimpan arti lain yang belum sempat ia pecahkan. Namun sebelum ia bisa menanyakan lebih jauh, Xavier kembali melanjutkan percakapan yang tadi tertunda. Hazel berjalan menuju
Hazel berdiri terpaku di depan cermin besar butik itu. Gaun pernikahan yang kini melekat di tubuhnya tampak seperti karya seni yang hidup, perpaduan klasik dan modern yang sempurna. Jubah panjangnya menjuntai anggun, menebar kesan megah bak seorang ratu yang tengah bersiap menapaki takdirnya. Kerah yang tertutup sopan, lengan panjang transparan dengan bordiran mewah yang berkilau setiap kali tertimpa cahaya lampu kristal, membuat penampilannya tidak hanya indah, tetapi juga memancarkan kewibawaan yang elegan. Hazel sempat terdiam, lalu tersenyum pada bayangan dirinya di cermin. Untuk sesaat, ia seperti jatuh cinta pada sosok yang dilihatnya sendiri. Apakah itu benar-benar dirinya? Anggun, berwibawa, memukau dan sebentar lagi menjadi milik Xavier sepenuhnya. “Ini… cantik sekali. Dan sangat mewah,” bisiknya dengan kagum, seakan tak percaya. Ia tak bisa membayangkan berapa banyak uang yang Xavier keluarkan untuk gaun itu. Yang jelas, pria itu tahu dengan tepat bagaimana membuatnya meras