Mohon maaf ya kalau terlalu Vulgar hehe
Hazel berdiri dengan tangan terlipat di depan perut, ujung sepatunya mengetuk lantai marmer butik mewah itu dengan ritme tak sabar. Pandangannya terus berpindah ke kanan dan kiri, sementara matanya sesekali melirik ke arah jam tangan seolah setiap detik yang berlalu mencuri kesabarannya sedikit demi sedikit."Sial… lama sekali." gerutunya pelan, cukup untuk didengar oleh siapa pun yang berdiri terlalu dekat.Sudah lima belas menit ia menunggu. Dan ketika batas kesabarannya resmi jebol, Hazel melangkah masuk ke dalam gedung butik berlantai tiga tanpa memperdulikan aturan yang mungkin berlaku di tempat itu.Lantai satu butik tampak elegan, penuh dengan koleksi busana mewah yang dipajang seperti karya seni. Namun Hazel tak tertarik sedikit pun. Ia melirik sekilas, lalu mengayunkan langkah cepat menuju tangga."Maaf, Nyonya. Lantai dua tidak untuk umum kecuali Anda memiliki janji dengan—"Hazel menggeser tubuh penjaga toko itu ke samping dengan gerakan cepat tanpa sepatah kata pun. Seolah
Langit masih gelap, jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Sementara sebuah kamar mandi yang berukuran cukup luas di apartemen Xavier, kini berubah menjadi tempat yang dipenuhi oleh lilin.Di dalam sebuah bathtub, dua orang duduk saling berhadapan. Cahaya lilin menjadikan momen diantara mereka terasa damai dan hening, terlebih air hangat yang membuat tubuh mereka lebih rileks."Apa yang Kevin katakan saat kalian bertemu siang tadi?" tanya Hazel membuka pembicaraan."Tidak lebih dari kekuasaan, Kevin mengincar Cosa Nera dan juga Black Viper, dan lagi-lagi selalu Black Viper yang orang lain inginkan dariku." ucap Xavier.Hazel memperhatikan wajah Xavier, ia tadi sempat mendengar pembicaraan singkat Xavier dan Christina kalau akan ada duel antara Kevin dan Xavier. Disisi lain, Hazel ingat saat sebelum ia terluka oleh serangan Kevin, ia sempat melihat pertarungan Xavier dan Kevin sama kuatnya."Bagaimana kalau kau nanti kalah dari Kevin?" tanya Hazel cemas, meskipun tau kalau Xavier lebih ku
Xavier bersandar santai di ambang pintu, satu tangan memegang map coklat yang tampaknya sama tak pentingnya dengan ekspresi wajahnya yang tak berubah."Ah... jadi kau sudah tahu sekarang." ucapnya ringan, seolah hal yang baru saja Hazel temukan hanyalah rahasia kecil tak berarti.Hazel langsung berdiri dari kursi, matanya menyala penuh kemarahan.“Kau... kau benar-benar…!” Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Kata-kata tercekat di tenggorokannya oleh kombinasi amarah, jijik, dan rasa geram.Xavier terlalu tenang. Terlalu dingin untuk seseorang yang baru saja ketahuan mengintip seluruh gerakan Hazel dari balik kamera tersembunyi, kamera mungil yang ia tanam jauh sebelum hubungan mereka berubah sedekat sekarang. Bahkan Hazel tak pernah menyadari kamera itu ada… karena ukurannya terlalu kecil dan tertanam sempurna di langit-langit tempat tidur.Dan kini, satu fakta menyakitkan menyergapnya.Xavier telah melihat semuanya. Segalanya.Termasuk saat ia merasa paling rapuh, paling pribadi…
Makan malam telah tersaji, aroma rempah dan daging panggang memenuhi ruangan, menghangatkan suasana malam yang semula dingin oleh ketegangan tak kasatmata. Empat orang duduk mengelilingi meja makan bundar, menikmati hidangan dengan tenang, sebuah pemandangan langka bagi mereka yang hidup di dunia penuh rahasia, konflik, dan pertempuran tersembunyi.Tak ada perdebatan. Tak ada pisau yang melayang atau amarah yang menyulut perang.Hanya denting sendok yang lembut beradu dengan pinggiran piring porselen, dan rasa masakan yang dimasak langsung oleh tangan Christina, pemimpin Sangue Reale, yang untuk sementara berperan sebagai nyonya rumah yang ramah.Christina membuka percakapan pertama dengan nada santai, matanya melirik ke arah Xavier."Kau sudah menyelesaikan urusanmu dengan keluarga Tuscany?"Xavier menggeleng pelan, menyendokkan potongan kentang panggang ke mulutnya."Belum sepenuhnya. Masih ada beberapa detail yang harus aku bereskan. Mungkin kurang dari sebulan semua akan rampung."
Hazel bersandar di ambang pintu dapur, diam-diam memperhatikan gerak-gerik Christina yang sedang sibuk menyiapkan hidangan. Wanita itu tampak berbeda, terlalu tenang, terlalu “rumahan” untuk seseorang yang dulu dikenal Hazel sebagai sosok kejam, dingin, dan tak segan menyiksa tanpa ampun.Di balik apron yang ia kenakan dan tangan yang lincah memotong daging, Christina terlihat lebih seperti seorang ibu... daripada pemimpin dari organisasi kriminal kelas berat.Apa wanita gila itu sudah benar-benar berubah? batin Hazel ragu.Suara Christina memecah lamunannya tanpa perlu menoleh."Aku tahu kau sedang mengamatiku, Hazel." Nadanya datar, tapi jelas.Hazel terbatuk kecil, berdehem untuk menutupi rasa kikuknya."Apa... kau sudah tidak bekerja lagi untuk Sangue Reale?" tanyanya hati-hati."Masih." jawab Christina cepat, sambil mulai membumbui potongan daging dengan presisi. Ia menaburkan garam, lada hitam, lalu beberapa tetes minyak zaitun, dan akhirnya daun rosemary di atasnya."Kau pikir
Di lokasi yang berbeda.Saat mobil berhenti di depan sebuah bangunan bergaya klasik yang sepi dan jauh dari keramaian, Hazel membuka pintu dan turun dengan langkah tergesa. Tak menunggu lama, ia langsung menatap Christina tajam."Aku tidak mendapatkan penjelasan apapun sejak kau tiba-tiba menjemputku. Ada apa sebenarnya?" tanyanya curiga.Christina tak langsung menjawab. Ia hanya membuka kaca hitam di matanya, menatap Hazel dengan senyum tipis yang sulit ditebak."Tak ada alasan khusus," jawabnya datar. "Aku hanya sedang ingin mengenalmu lebih dalam."Hazel memicingkan mata, tak menyembunyikan ketidaksukaannya. Wajah wanita di hadapannya adalah wajah yang pernah menyiksanya tanpa ampun, tanpa rasa kemanusiaan. Luka itu belum benar-benar sembuh, dan jika bukan karena tekadnya untuk tak memperkeruh keadaan, Hazel mungkin sudah melayangkan cakar ke wajah wanita itu.Namun kali ini, Hazel menahan diri. Ia punya tujuan yang lebih besar dari sekadar melampiaskan dendam kecil."Apa yang kau k