Sekali lagi mohon maap ya, cerita ini cukup vulgar dari karyaku yang sebelumnya. Aku udah ingetin loh dari awal wkwk
Meski tubuhnya masih sakit dan belum sepenuhnya pulih, Xavier tetaplah Xavier, pria dengan tubuh yang jauh lebih besar dari Hazel. Ketika tanpa sengaja ia menindih tubuh Hazel saat jatuh, bobot tubuhnya langsung membuat Hazel kehilangan keseimbangan dan terbaring di lantai."Xavier! Kau... kau berat!" keluh Hazel setengah tertawa, tangannya mencoba mendorong tubuh Xavier, tapi sia-sia.Jarak wajah mereka kini hanya beberapa sentimeter saja. Tapi alih-alih tegang atau kikuk, Hazel malah terkikik, lalu tertawa lepas. Wajah Xavier yang masih dihiasi makeup isengnya terlihat begitu… aneh, lipstik yang mulai melebar ke pipi, alis yang terlalu tinggi, dan blush on mencolok di pipi yang maskulin.Gelak tawanya meledak, membanjiri ruangan dengan suara yang merdu dan bebas. Air mata tawa mengalir di sudut matanya."Astaga Xavier, perutku terasa kram melihat wajahmu saat ini." ujar Hazel, air mata pun jatuh dari ujung matanya karena menertawai Xavier sejak tadi.Namun Xavier justru menikmati mo
Hari demi hari berlalu dan Hazel masih senantiasa menemani Xavier sampai tubuh Xavier perlahan mulai menunjukkan perkembangan yang diinginkan. Dan hampir setiap malam saat Hazel tidur, Xavier juga memaksa tubuhnya untuk terus bergerak, mencoba untuk segera sembuh dari penyakitnya yang tidak bisa berjalan dan tidak bisa berbicara.Sore itu, Hazel datang dari luar sambil membawa sebuah kotak berukuran lumayan besar. Di balik senyumnya yang terlalu lebar untuk disebut polos, Xavier langsung merasa waspada. Ia menatap curiga, terutama mengenai isi di dalam kotak yang Hazel bawa."Xavier, apa kau pernah ingat sumpahku saat kita pertama kali mengenal?" tanya Hazel dengan pandangan mencurigakan.Xavier menoleh dan menggeleng pelan, Hazel meletakkan sebuah boks yang ia bawa ke meja lalu menghampiri Xavier sambil tersenyum mencurigakan. Tapi meski demikian, Xavier tetap tidak bisa kemana-mana karena belum sepenuhnya bisa berdiri dan berjalan normal.Hazel setengah berjongkok di depan Xavier ya
Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya.Saat Hazel membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah Xavier yang terbaring di sampingnya, masih terdiam, tapi keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat jantung Hazel berdetak lebih pelan dan tenang.Senyum tipis mengembang di bibir Hazel. Perlahan, tangannya mengusap lembut pipi Xavier yang masih tertidur, lalu ia mengecup sisi wajah pria itu penuh kelembutan.“Selamat pagi…” bisiknya pelan, meski tak mengharapkan balasan apa-apa.Dengan perlahan, Hazel bangkit dan melangkah keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Suara peralatan dapur menyambut pagi, harum roti panggang dan telur yang digoreng sempurna memenuhi udara. Dari balik selimut, Xavier membuka mata. Ia melihat punggung Hazel menjauh dan untuk sesaat, perasaan kehilangan menyelusup diam-diam.Malam tadi… untuk pertama kalinya, Xavier mencoba menggerakkan kakinya. Ia berusaha keras, berjuang sekuat tenaga, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Berdiri saja ia belum mampu. Dan i
Hari demi hari berlalu, yang Hazel kerjakan adalah menjaga Xavier setiap hari. Dunia terasa lebih tenang, tidak ada pertikaian lagi dan itu sangat damai. Matahari hari ini juga terlihat cerah, jika Xavier sudah sehat kembali pasti akan sangat menyenangkan bisa jalan-jalan bersama. Hazel tersenyum tipis, ia menatap wajah Xavier dimana luka di wajahnya mulai jauh lebih baik. "Lihatlah, hari ini cerah sekali, kau tidak mau lihat?" tanya Hazel. Tapi tanpa ia duga, setelah mengatakan kalimat barusan, kelopak mata Xavier yang sudah terpejam selama berhari hari tiba-tiba saja terbuka. Hazel sempat kaget, mengira ia hanya berhalusinasi. "Xavier?!" serunya. Buru-buru Hazel memanggil dokter, tidak butuh waktu lama dokter pun datang untuk memeriksa kondisi Xavier. Tapi pria itu hanya membuka mata, tidak menggerakkan tubuhnya. Setelah dokter mengatakan kondisi Xavier membaik, Hazel benar-benar merasa lega. Ia mendekat, melihat Xavier dengan seksama. Tapi pria itu hanya mengedipkan mata, me
“Kau membiarkannya begitu saja padahal tubuhnya bahkan belum pulih?” suara Meric terdengar dari ambang pintu, tajam dan penuh nada khawatir saat melihat Hazel duduk lemah di sisi ranjang Xavier, dengan infus masih tergantung di lengannya.Christina berdiri di dekatnya, tangannya terlipat di depan dada. Ia menghela nafas, tak bisa menyembunyikan kelelahan di raut wajahnya.“Percuma aku mencegahnya,” katanya pelan. “Hazel akan tetap melakukan apapun yang dia mau, walau tubuhnya sendiri menjerit kesakitan. Kepalanya terlalu keras.”Matanya mengarah ke balik kaca jendela ruang rawat Xavier, di mana pria itu masih tak sadarkan diri, terbaring dengan tubuh penuh perban. “Yang paling penting sekarang… adalah Xavier. Luka-lukanya dalam, dan benturan di kepalanya akibat reruntuhan membuat dokter belum bisa memberi kepastian.”Meric mengusap lembut bahu Christina, mencoba mengalirkan sedikit ketenangan, karena kondisi Xavier kali ini adalah yang paling buruk dari yang pernah Christina lihat sel
Satu jam...Dua jam...Masih belum ada tanda-tanda Xavier ditemukan, semua orang yang ada berusaha mengangkat besi-besi runtuhan bangunan dengan alat berat untuk mencari keberadaan Xavier, tapi pria itu masih belum juga ketemu.Terlebih, lokasi juga cukup luas sehingga waktu dua atau tiga jam saja tidak akan bisa menyingkirkan semua besi-besi yang aja dalam reruntuhan tersebut."Kami sedang mencoba mencari, dan butuh waktu tidak sebentar untuk mencari Xavier dibawa runtuhan bangunan." ucap Christina.Hazel menggeleng cepat. "Tidak, aku yakin Xavier masih hidup. Kita harus segera menemukan dan membawanya ke rumah sakit," balas Hazel keras kepala.Tidak ada yang bisa menghentikan Hazel, bahkan Christina. Kini, Hazel ikut mencari di sekitar area bangunan, mungkin Xavier berhasil keluar dan terjatuh di suatu tempat tidak sadarkan diri, ia harus segera menemukan pria itu, secepatnya.Dari langit masih gelap hingga matahari mulai menampakkan diri, tidak ada yang bisa menemukan Xavier disana.