Share

Bab 5

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-04-20 11:28:05

Hazel mendorong tubuh Xavier dengan keras hingga pria itu terhuyung mundur, menahan rasa sakit di selangkangannya. Nafas Xavier tersengal, wajahnya menegang menahan nyeri, namun sorot matanya tetap membara penuh murka. Meski begitu, tampaknya ia tak berniat membalas serangan Hazel, setidaknya, bukan sekarang.

“Beraninya kau menganggapku mainan,” geram Hazel, rahangnya mengeras.

Namun bukannya gentar, Xavier malah menyeringai seperti iblis kesenangan. Tatapan itu… penuh ejekan. Hazel tahu benar, pria itu tak akan berhenti hanya karena satu tendangan. Ia bukan tipe yang menyerah, dia tipe yang menyimpan dendam, lalu membalas dengan cara yang paling tidak terduga.

"Kau pikir dirimu akan berhasil menggodaku? Tidak akan semudah itu!" ucap Hazel dingin, sebelum melayangkan jari tengah tanpa basa-basi. Ia tahu itu kekanak-kanakan, tapi rasanya sangat memuaskan.

Lalu, Hazel melangkah cepat keluar dari ruangan itu. Tidak menoleh ke belakang. Tidak ingin melihat wajah menjijikkan itu lagi. Tapi bayangannya masih tertinggal di kepala. Tatapan mata Xavier, caranya tertawa, caranya memandang membuatnya sadar. Pria itu berbahaya.

Di sepanjang koridor kapal pesiar, langkah Hazel makin cepat. Ia ingin menjauh sejauh mungkin. Menenangkan detak jantungnya yang masih liar. Sekarang belum waktunya panik. Belum waktunya terpancing. Yang paling penting sekarang adalah menjaga Luna. Selama Luna bersama Jacob, Hazel bisa bernafas sedikit lega.

Namun, jauh di dalam hatinya, Hazel tahu sesuatu, Xavier belum selesai. Dia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Terlebih setelah Hazel menantangnya secara terang-terangan.

“Bajingan itu akan cari celah… dan aku tidak bisa lengah.” pikir Hazel tajam.

Hari ini terlalu panjang. Tapi dia belum boleh lelah. Belum sekarang. Karena jika Xavier benar-benar kembali… itu akan berbahaya untuknya.

Sialnya, keesokan harinya ia malah bertemu dengan Xavier kembali secara tidak sengaja, atau pria itu memang sengaja mencarinya. Langkah Hazel yang tadinya berniat untuk menikmati liburannya di kapal pesiar menjadi berbeda kali ini, karena orang yang ia hadapi adalah seorang mafia, ah tidak, lebih tepatnya psikopat.

Tapi entah ini kebetulan atau takdir menjahilinya, pria itu kembali muncul. Dan kali ini, dengan senyum penuh dendam manis.

"Setelah membuatku kesakitan, kau pergi begitu saja tanpa tanggung jawab," ucap Xavier tenang, tapi nada suaranya menyeret dingin di telinga Hazel. "Harusnya aku meminta kompensasi darimu."

Langkahnya mengikis jarak secara perlahan, seperti seekor singa yang bersiap menerkam mangsanya. Hazel mundur, langkah demi langkah, sampai punggungnya menyentuh dinding kapal yang dingin dan keras. Tidak ada tempat lagi untuk lari.

Tangan Xavier terangkat dan menempel pada dinding di sisi kepalanya, memenjarakan Hazel dalam lingkaran kecil yang penuh ketegangan. Nafas pria itu terasa panas di kulitnya, dan meski tubuh Hazel bersikeras menolak, jantungnya mulai berdetak tak karuan.

Namun Hazel tak mau kalah. Ia menatap langsung ke mata pria itu, mata gelap, penuh rahasia dan bahaya. Tapi ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang mengusik logika. Daya tarik yang brutal. Intens.

Sial. Apa ia baru saja menganggap Xavier... menarik?

Hazel segera mengenyahkan pikiran itu. Tidak. Tidak sekarang. Tidak untuk pria seberbahaya ini.

"Sebaiknya kau lepaskan tanganmu itu, Xavier," ucap Hazel dingin, penuh tekanan.

Xavier menyeringai. Hembusan nafasnya menggelitik sisi wajah Hazel, membuat bulu kuduknya meremang. “Bagaimana kalau aku tidak mau?” bisiknya. “Kau harus membayar atas apa yang sudah kau lakukan padaku.”

Pria itu menarik diri sedikit hanya untuk menatap wajah Hazel lebih jelas, lalu menyeringai lebih lebar. “Kalau kau tidak mau, maka kau harus menanggung akibatnya.”

Hazel menggertakkan rahangnya. Tapi sebelum sempat berkata, Xavier dengan cepat menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya dengan paksa tapi tak kasar.

"Kau ingin mengancamku rupanya," desis Hazel.

"Bukan ancaman, sayang. Ini hanya... peringatan," gumam Xavier, suaranya turun menjadi bisikan rendah yang mengguncang syaraf Hazel. "Aku tidak bermain-main dengan kucing liar. Aku menangkapnya... dan memeliharanya di dalam kandangku."

Tatapan pria itu meluncur turun ke bibir Hazel, panas, lapar, dan penuh maksud. Hazel bisa membaca gerakannya. Ia tahu apa yang akan Xavier lakukan. Ia melihat jakun pria itu naik-turun, menelan harapannya yang tak diucapkan.

Dengan licin Hazel mencondongkan tubuh sedikit, lalu memalingkan wajah di detik terakhir, membuat bibir Xavier hanya mendarat di pipinya.

"Aku tahu kau tergoda, Sir," ejek Hazel dengan senyum licik. "Tapi sayangnya aku tidak mudah dijinakkan."

Xavier tertawa kecil. Tawa yang dalam dan berbahaya.

"Anggap saja begitu," balasnya pelan. Lalu dengan suara yang nyaris seperti geraman menggoda, ia berbisik di telinganya, "Mari kita lihat... seberapa lama kau bisa menahan dirimu dariku, Hazel."

Setelah itu, ia menarik diri. Melangkah mundur perlahan, masih dengan senyum puas menggantung di bibirnya. Tak ada amarah. Hanya rencana. Hanya permainan yang baru saja dimulai.

Hazel berdiri mematung. Dadanya naik turun, berusaha menstabilkan detak jantungnya. Tapi jujur saja, sisa aroma Xavier dan bisikan terakhirnya masih menari di kulitnya, dan itu membuatnya kesal.

Dia berbahaya. Tapi justru itulah yang membuat segalanya jauh lebih rumit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Mafia Mesum    TAMAT

    Hari-hari terus bergulir, dan tanpa sadar, Hazel mulai memahami betapa ajaibnya peran sebagai seorang ibu. Setiap kali ia mendekap Mason di dadanya untuk menyusui, hatinya selalu dipenuhi rasa syukur yang tak terlukiskan. Namun, dibalik kelembutan itu, ada sosok lain yang tak kalah besar pengorbanannya, Xavier. Xavier begitu setia berada di sisi mereka. Malam-malam panjang yang penuh tangisan bayi tak membuatnya mengeluh sedikit pun. Bahkan ketika Hazel sudah terlelap karena kelelahan, Xavier rela begadang, memangku Mason di lengannya hingga fajar menyingsing, memastikan bayi kecil itu merasa aman dan hangat. Tidak sekalipun Hazel mendengar Xavier menggerutu, justru setiap pagi, senyum lembut selalu tersungging di wajah Xavier, seolah menjaga Mason adalah kehormatan terbesar dalam hidupnya. Kehadiran Mason membuat rumah mereka jauh berbeda dari sebelumnya. Tidak lagi sunyi dan kaku, melainkan ramai oleh tangisan, rengekan, lalu perlahan berubah menjadi celoteh manja, tawa riang, dan

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 195

    Pagi itu menjadi hari bersejarah baru untuk hidup Xavier. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, setiap detik yang berjalan terasa seperti satu jam penuh penyiksaan. Tatapannya terpaku pada pintu ruang bersalin yang masih tertutup rapat, sementara jemari tangannya terus mengepal, seakan hanya itu satu-satunya cara menahan rasa cemas yang bergolak dalam dadanya. Begitu pintu berderit terbuka, Xavier langsung berdiri tegak, tubuhnya kaku menahan harap sekaligus takut. Ia hampir tak berani bernafas saat dokter keluar dengan wajah tenang. "Bagaimana, Dokter?" tanyanya terburu-buru, suaranya serak penuh kegelisahan. "Semua baik-baik saja, Tuan. Anda bisa masuk." Jawaban itu bagai beban raksasa yang lepas dari dadanya. Xavier melangkah cepat, dan matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak oleh emosi, bayi mungil mereka sedang dibersihkan perawat, tubuh kecil itu masih tampak merah, tangannya mengepal, hidup, nyata. Namun alih-alih menyambut bayinya te

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 194

    Waktu terasa berjalan semakin cepat bagi Hazel. Kandungannya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan segala hal di sekelilingnya seolah hanya berputar pada satu titik, persiapan menyambut sang buah hati. Xavier tidak pernah berhenti sibuk, setiap hari selalu ada saja yang ia lakukan demi memastikan semua sempurna. Kamar bayi yang tadinya kosong kini berubah menjadi ruangan penuh kehangatan. Dindingnya dicat lembut dengan warna biru muda berpadu putih, rak kecil penuh buku dongeng berjajar rapi di sudut, dan sebuah ranjang bayi berlapis kain halus tampak sudah siap menunggu kehadiran seorang penghuni mungil. Semua detail dipilih langsung oleh Xavier, bahkan ia sendiri yang memasang hiasan dinding berbentuk bintang dan bulan, seakan ia ingin bayi mereka selalu tidur dalam mimpi yang indah. Selama sebulan terakhir, meski tubuhnya sempat dihajar morning sickness yang parah, Xavier tetap memaksakan diri untuk aktif. Ia melatih dirinya merawat bayi, belajar mengganti popok, memandikan,

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 193

    Hazel duduk di ruang tamu, tangannya memijat pelan perutnya yang masih datar. Sekilas ia melirik ke arah dapur, mendengar suara piring dan pisau beradu satu sama lain. Senyum kecil tak bisa ia tahan. Xavier seorang pria yang selama ini dikenal keras, dingin, bahkan brutal di dunia luar, kini sibuk seperti ayah rumah tangga, mempersiapkan potongan buah, susu rendah lemak, hingga camilan sehat seolah Hazel benar-benar tak boleh menyentuh apapun yang kurang bermanfaat.Namun, di balik rasa hangat itu, Hazel juga merasa dirinya seolah “terikat.” Baru keluar rumah sakit, Xavier memperlakukannya seperti porselen yang rapuh. Duduk di kursi roda, diantar ke sana kemari, bahkan berjalan lima langkah saja sudah dilarang.“Aku bisa berjalan sendiri,” gumam Hazel, kali ini dengan nada agak kesal. Ia melirik kursi roda yang Xavier lipat dan letakkan di sudut ruangan. “Aku bukan pasien lagi, Xavier…”Tak lama kemudian, pria itu muncul membawa nampan. Di atasnya tersusun rapi potongan apel, pir, dan

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 192

    Jam satu dini hari, keheningan yang seharusnya menjadi malam pertama mereka sebagai pengantin baru justru pecah oleh detak cemas. Hazel terbaring dengan tubuh menggigil, wajahnya pucat, dan suhu tubuhnya melonjak tinggi. Xavier yang panik tak sempat berpikir panjang, ia segera mengangkat tubuh Hazel, menyelimutinya, lalu melajukan mobil menuju rumah sakit dengan kecepatan yang tak biasa. Bagi Xavier, itu bukan sekadar rasa cemas biasa. Ia terbiasa menghadapi bahaya, darah, dan bahkan kematian dalam hidupnya, namun melihat Hazel terkulai lemah di pelukannya, tubuhnya gemetar karena demam, membuat hatinya nyaris hancur. Setibanya di rumah sakit, tenaga medis segera membawa Hazel masuk ke ruang perawatan darurat. Xavier hanya bisa menunggu di luar, berjalan mondar-mandir dengan nafas berat. Setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Tepat pukul dua dini hari, pintu ruang perawatan terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi tenang, berbeda jauh dari kegelisahan Xavier. “Bagai

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 191

    Dua minggu berlalu terasa begitu cepat, dan kini waktu yang dinanti hampir tiba. Resepsi pernikahan Hazel dan Xavier hanya tinggal menghitung jam. Ballroom hotel megah itu telah berubah menjadi istana cahaya, dihiasi ribuan bunga putih yang membentuk lengkungan indah di sepanjang jalan masuk, kristal-kristal lampu gantung berkilau bagaikan bintang, sementara meja-meja bundar ditata dengan elegan, lengkap dengan wine termahal yang siap disajikan untuk para tamu undangan kelas atas yang akan meramaikan pesta. Sekarang masih pukul tiga sore, sedangkan pesta baru akan dimulai pukul tujuh. Hazel duduk di kursi panjang yang menghadap cermin rias. Harusnya, ia merasa bahagia. Seorang pengantin yang baru saja resmi menjadi istri tentu menantikan malam gemilang ini. Namun, entah kenapa, perasaan yang Hazel rasakan berbeda. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuat ia sulit menata emosi. Xavier mendekat dengan langkah tenang. Bayangan tubuh tegapnya terpantul jelas di cermin. “Ada apa? Kau mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status