Hazel mendorong tubuh Xavier dengan keras hingga pria itu terhuyung mundur, menahan rasa sakit di selangkangannya. Nafas Xavier tersengal, wajahnya menegang menahan nyeri, namun sorot matanya tetap membara penuh murka. Meski begitu, tampaknya ia tak berniat membalas serangan Hazel, setidaknya, bukan sekarang.
“Beraninya kau menganggapku mainan,” geram Hazel, rahangnya mengeras.
Namun bukannya gentar, Xavier malah menyeringai seperti iblis kesenangan. Tatapan itu… penuh ejekan. Hazel tahu benar, pria itu tak akan berhenti hanya karena satu tendangan. Ia bukan tipe yang menyerah, dia tipe yang menyimpan dendam, lalu membalas dengan cara yang paling tidak terduga.
"Kau pikir dirimu akan berhasil menggodaku? Tidak akan semudah itu!" ucap Hazel dingin, sebelum melayangkan jari tengah tanpa basa-basi. Ia tahu itu kekanak-kanakan, tapi rasanya sangat memuaskan.
Lalu, Hazel melangkah cepat keluar dari ruangan itu. Tidak menoleh ke belakang. Tidak ingin melihat wajah menjijikkan itu lagi. Tapi bayangannya masih tertinggal di kepala. Tatapan mata Xavier, caranya tertawa, caranya memandang membuatnya sadar. Pria itu berbahaya.
Di sepanjang koridor kapal pesiar, langkah Hazel makin cepat. Ia ingin menjauh sejauh mungkin. Menenangkan detak jantungnya yang masih liar. Sekarang belum waktunya panik. Belum waktunya terpancing. Yang paling penting sekarang adalah menjaga Luna. Selama Luna bersama Jacob, Hazel bisa bernafas sedikit lega.
Namun, jauh di dalam hatinya, Hazel tahu sesuatu, Xavier belum selesai. Dia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Terlebih setelah Hazel menantangnya secara terang-terangan.
“Bajingan itu akan cari celah… dan aku tidak bisa lengah.” pikir Hazel tajam.
Hari ini terlalu panjang. Tapi dia belum boleh lelah. Belum sekarang. Karena jika Xavier benar-benar kembali… itu akan berbahaya untuknya.
Sialnya, keesokan harinya ia malah bertemu dengan Xavier kembali secara tidak sengaja, atau pria itu memang sengaja mencarinya. Langkah Hazel yang tadinya berniat untuk menikmati liburannya di kapal pesiar menjadi berbeda kali ini, karena orang yang ia hadapi adalah seorang mafia, ah tidak, lebih tepatnya psikopat.
Tapi entah ini kebetulan atau takdir menjahilinya, pria itu kembali muncul. Dan kali ini, dengan senyum penuh dendam manis.
"Setelah membuatku kesakitan, kau pergi begitu saja tanpa tanggung jawab," ucap Xavier tenang, tapi nada suaranya menyeret dingin di telinga Hazel. "Harusnya aku meminta kompensasi darimu."
Langkahnya mengikis jarak secara perlahan, seperti seekor singa yang bersiap menerkam mangsanya. Hazel mundur, langkah demi langkah, sampai punggungnya menyentuh dinding kapal yang dingin dan keras. Tidak ada tempat lagi untuk lari.
Tangan Xavier terangkat dan menempel pada dinding di sisi kepalanya, memenjarakan Hazel dalam lingkaran kecil yang penuh ketegangan. Nafas pria itu terasa panas di kulitnya, dan meski tubuh Hazel bersikeras menolak, jantungnya mulai berdetak tak karuan.
Namun Hazel tak mau kalah. Ia menatap langsung ke mata pria itu, mata gelap, penuh rahasia dan bahaya. Tapi ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang mengusik logika. Daya tarik yang brutal. Intens.
Sial. Apa ia baru saja menganggap Xavier... menarik?
Hazel segera mengenyahkan pikiran itu. Tidak. Tidak sekarang. Tidak untuk pria seberbahaya ini.
"Sebaiknya kau lepaskan tanganmu itu, Xavier," ucap Hazel dingin, penuh tekanan.
Xavier menyeringai. Hembusan nafasnya menggelitik sisi wajah Hazel, membuat bulu kuduknya meremang. “Bagaimana kalau aku tidak mau?” bisiknya. “Kau harus membayar atas apa yang sudah kau lakukan padaku.”
Pria itu menarik diri sedikit hanya untuk menatap wajah Hazel lebih jelas, lalu menyeringai lebih lebar. “Kalau kau tidak mau, maka kau harus menanggung akibatnya.”
Hazel menggertakkan rahangnya. Tapi sebelum sempat berkata, Xavier dengan cepat menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya dengan paksa tapi tak kasar.
"Kau ingin mengancamku rupanya," desis Hazel.
"Bukan ancaman, sayang. Ini hanya... peringatan," gumam Xavier, suaranya turun menjadi bisikan rendah yang mengguncang syaraf Hazel. "Aku tidak bermain-main dengan kucing liar. Aku menangkapnya... dan memeliharanya di dalam kandangku."
Tatapan pria itu meluncur turun ke bibir Hazel, panas, lapar, dan penuh maksud. Hazel bisa membaca gerakannya. Ia tahu apa yang akan Xavier lakukan. Ia melihat jakun pria itu naik-turun, menelan harapannya yang tak diucapkan.
Dengan licin Hazel mencondongkan tubuh sedikit, lalu memalingkan wajah di detik terakhir, membuat bibir Xavier hanya mendarat di pipinya.
"Aku tahu kau tergoda, Sir," ejek Hazel dengan senyum licik. "Tapi sayangnya aku tidak mudah dijinakkan."
Xavier tertawa kecil. Tawa yang dalam dan berbahaya.
"Anggap saja begitu," balasnya pelan. Lalu dengan suara yang nyaris seperti geraman menggoda, ia berbisik di telinganya, "Mari kita lihat... seberapa lama kau bisa menahan dirimu dariku, Hazel."
Setelah itu, ia menarik diri. Melangkah mundur perlahan, masih dengan senyum puas menggantung di bibirnya. Tak ada amarah. Hanya rencana. Hanya permainan yang baru saja dimulai.
Hazel berdiri mematung. Dadanya naik turun, berusaha menstabilkan detak jantungnya. Tapi jujur saja, sisa aroma Xavier dan bisikan terakhirnya masih menari di kulitnya, dan itu membuatnya kesal.
Dia berbahaya. Tapi justru itulah yang membuat segalanya jauh lebih rumit.
Ternyata ruang bawah tanah yang Xavier tunjukkan pada Hazel bukan hanya sekedar bunker gelap tak terurus, melainkan labirin tersembunyi yang mengarah jauh lebih dalam. Sebuah lorong panjang bercabang membawanya menuju ujung yang tak terduga, berakhir di sebuah celah rahasia yang langsung menghadap ke laut terbuka.Di mulut lorong itu, tanaman liar menjalar liar dan lebat, membentuk tirai alami yang menyamarkan keberadaannya. Hazel memandangi pemandangan itu dengan takjub, di balik semak liar dan reruntuhan batu, terdapat keindahan alam yang tak tersentuh dan menenangkan.“Jadi... saat semua kekacauan itu terjadi, kau dan ibumu sempat bersembunyi di sini?” tanya Hazel saat mereka kembali ke ruang utama bawah tanah.Xavier yang tengah membongkar isi peti kayu tua menoleh sekilas. Cahaya remang memantul di wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahangnya yang kaku.“Kami bersembunyi di sini saat semuanya mulai hancur. Aku masih remaja waktu itu. Setelah ibuku meninggal, aku kabur... ke
Pagi itu, udara Italia menyambut dengan kehangatan yang menenangkan. Laut berkilau, mentari memeluk pelan kulit bumi yang masih lembab sisa embun malam. Hazel membuka jendela kamarnya yang semalam tidak ia tutup dengan gorden, dengan penuh perasaan ia menghirup dalam-dalam udara laut yang segar.Hari ini, ia telah merencanakan liburan kecil untuk dirinya sendiri. Sebuah yacht pribadi, laut tenang, dan waktu untuk menikmati segalanya... sendirian. Ya, hanya dirinya dan lautan. Tak ada gangguan. Tak ada keributan. Tak ada...dia.Dengan semangat, Hazel melangkah menuju dermaga, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, senyum menggantung tipis di wajah. Ia sudah menyewa sebuah yacht untuk menikmati udara tenang dan hangat ini tanpa gangguan, ya begitulah rencana awalnya, sampai kekecewaan yang akhirnya Hazel dapatkan.Senyum itu langsung pudar begitu ia melihat sosok menyebalkan itu berdiri santai di atas dek yacht, tangan bersandar pada pagar kapal, dan tentu saja senyum angkuh menghi
Hazel akhirnya tiba kembali di penginapan, tanpa gangguan dari Xavier, tanpa suara langkah yang mengintai, hanya kesunyian malam yang menggantung di udara. Ia menutup pintu kamarnya perlahan, seolah takut suara berderit bisa memicu masalah lain.Dengan langkah lesu, ia menjatuhkan diri ke atas ranjang. Punggungnya menyentuh kasur dingin, dan sebuah helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka menatap langit-langit yang tak menawarkan jawaban apa pun."Ini benar-benar di luar nalar," batinnya. "Aku pergi jauh-jauh ke Italia demi menjauh dari Xavier, untuk menikmati hidup santai meski sejenak. Tapi ternyata aku justru datang ke tempat asalnya, seolah semesta sedang mempermainkanku."Hazel menggigit bibir bawahnya, perasaan frustasi dan lelah bergumul di dadanya. "Setiap kali aku berada di tempat yang sama dengannya... selalu ada yang tidak beres. Selalu ada yang berbahaya. Dan aku lelah."Ia hendak kembali memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapu
Angin malam Italia berhembus lembut, membawa aroma sungai Arno yang mengalir tenang di bawah cahaya bulan. Hazel berdiri di balkon kecil hotel tempatnya menginap, membiarkan semilir udara segar menyapu rambut dan wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang.Matanya mengamati panorama kota Firenze yang menyala hangat oleh lampu jalan dan sinar dari jendela toko-toko tua. Di kejauhan, kubah-kubah bangunan klasik berdiri megah, seolah menyambutnya ke dalam kisah lain yang akan segera dimulai.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Hazel merasa sedikit bebas. Tidak ada bayangan yang membuntuti, tidak ada suara langkah tergesa di belakangnya, dan tidak ada darah. Hanya ketenangan... setidaknya begitu yang ia harapkan.Ia mengenakan mantel tipis, lalu melangkah keluar dari hotel. Tujuannya sederhana, mencari makan malam dan menikmati malam di negeri asing ini. Langkahnya menyusuri jalanan berbatu khas kota tua, hingga matanya menangkap sebuah restoran k
Hazel tidak pulang ke apartemennya malam itu. Setelah kejadian gila yang datang tak diundang, ia memilih mengikuti Nico ke apartemen pria itu. Begitu pintu tertutup rapat di belakang mereka, Hazel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, lelah, dingin, dan penuh kekacauan. Nafasnya masih belum stabil, dan rambutnya berantakan menempel di wajah yang pucat.Nico berdiri sejenak di dekat pintu, memeriksa ulang kuncinya sebelum matanya menatap Hazel yang tampak jauh dari biasanya. Penuh luka kecil, tanpa sepatu, dan terbalut gaun pesta yang kini tampak seperti sisa dari medan perang.“Bagaimana kau bisa ada di tempat itu?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan. “Beberapa menit sebelumnya, bukankah kau masih di pesta?”Hazel hanya menoleh sambil menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tatapannya kosong. “Setelah kau meneleponku tadi… aku keluar, dan semuanya berantakan dalam hitungan menit.”Nico melangkah lebih dekat, kali ini nada
Gaun biru laut membalut tubuh Hazel dengan anggun, mengalir lembut mengikuti langkah kakinya yang mantap memasuki ballroom megah yang dipenuhi cahaya keemasan. Di wajahnya, topeng hitam elegan menyembunyikan identitasnya, menyatu sempurna dengan atmosfer pesta topeng yang memancarkan kesan eksklusif dan rahasia. Namun Hazel tidak datang sendiri, secara kebetulan, ia bertemu Nico di perjalanan, dan tanpa banyak bicara, menyeret lelaki itu bersamanya.Nico yang berjalan di sampingnya tampak tak nyaman, bibirnya menekan kesal. “Apa kau sudah gila?” gumamnya pelan namun tajam.Hazel menyeringai santai. “Kau juga tidak sibuk, kan? Apa salahnya kalau kau menemaniku datang ke pesta?”“Kita tidak sedekat itu. Hanya karena Luna menikah dengan kakakmu, sekarang kau malah memanfaatkan diriku,” sahut Nico ketus.Hazel hanya terkekeh ringan, tak menanggapi lebih jauh. Ia tahu Nico tidak akan pernah bisa benar-benar menolaknya jika ia sudah memaksa. Tapi demi menjaga mood pesta tetap nyaman, ia memb