Share

Bab 4

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-04-20 11:27:41

Hari-hari di atas kapal pesiar berlalu dengan rutinitas yang seolah tenang di permukaan, namun menyimpan arus deras di bawahnya.

Hazel masih berada di kapal itu, menjalani waktu dengan kesabaran, meski pikirannya tak pernah benar-benar diam. Sesekali, pandangannya menangkap sosok Xavier yang selalu tampak sibuk, bertemu dengan orang-orang asing dalam bayang-bayang, seolah ada urusan gelap yang tak boleh diketahui siapa pun.

Hazel tak peduli. Atau setidaknya, ia mencoba untuk tidak peduli.

Namun malam ini berbeda. Saat pesta berlangsung dengan segala kemewahan dan gemerlap lampu, Hazel memainkan rencananya dengan cermat dan berhasil menyuruh Jacob membawa Luna keluar dari pesta secara diam-diam sebelum Xavier menyadarinya.

Setelah memastikan mereka pergi, Hazel menyelinap keluar mengikuti langkah Xavier yang juga meninggalkan pesta. Ia pikir pria itu akan mengejar Jacob dan Luna. Tapi ternyata... tidak.

Di koridor sunyi yang hanya diterangi lampu temaram, Hazel mengikuti jejaknya hingga berhenti di depan sebuah ruangan tersembunyi, pintunya sedikit terbuka. Dari celah itu, matanya membelalak. Di dalam, Xavier sedang berdiri dengan ekspresi bengis, menyaksikan anak buahnya menghajar seorang pria yang wajahnya sudah nyaris tak bisa dikenali karena berlumuran darah.

Hazel terpaku. Suara dentuman pukulan bergema samar dalam ruangan kecil itu, bercampur dengan erangan lemah korban yang sudah nyaris tak sadarkan diri. Namun sebelum Hazel bisa mundur, sebuah tangan mencengkeram lengannya dari arah belakang.

Anak buah Xavier menyeretnya dengan kasar ke dalam ruangan, lalu melemparkannya ke lantai seperti sekantong sampah tak berguna.

Hazel terjatuh dengan tubuh membungkuk, rambutnya terurai menutupi sebagian wajah saat ia mendongak dan mendapati Xavier duduk di kursi layaknya raja di singgasana gelapnya. Pria itu menyilangkan kaki, satu tangan memegang rokok yang baru saja dihembuskannya dengan tenang, sementara mata tajamnya menatap Hazel penuh kemenangan.

“Kau kira dirimu transparan, Hazel? Sampai aku tak menyadari kehadiranmu di balik pintu itu?” ucap Xavier, suaranya tenang… terlalu tenang.

Hazel menahan nafas saat tangannya ditarik paksa. Xavier mencengkeram dagunya dengan keras, memaksanya menatap lurus ke arahnya.

“Sungguh keras kepala. Tapi justru itu yang membuatmu… semakin menarik.” Ia menyeringai sinis, matanya dingin seperti belati yang siap menebas.

Dengan gerakan malas, Xavier memberi isyarat kepada bawahannya untuk menarik keluar pria yang sudah babak belur itu. Tak butuh waktu lama hingga ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua.

Ketegangan mengisi udara. Hazel menggertakkan gigi, menatap Xavier penuh kemarahan. “Pembunuh!” umpatnya lantang.

Xavier hanya tersenyum santai, meniupkan asap rokoknya ke udara. “Dia masih hidup. Tapi sekalipun aku membunuhnya, apa kau mengenalnya? Tidak, bukan?”

“Aku akan melaporkanmu. Kau akan masuk penjara, Xavier!” teriak Hazel.

Sesaat ruangan sunyi. Tapi detik selanjutnya, Xavier tertawa terbahak, suara tawa itu menggema, menggetarkan dinding ruangan. Bukan tawa bahagia, tapi tawa penuh ejekan.

“Lakukan saja. Tapi... karena kau sudah repot-repot datang ke sini, artinya kau harus menggantikan pria itu sebagai hiburanku malam ini.”

Hazel menegang. Matanya membelalak. “Apa maksudmu?!”

Xavier berdiri perlahan dari kursinya, mendekat langkah demi langkah, tubuhnya menjulang di hadapan Hazel. “Sederhana,” bisiknya dengan suara yang nyaris menggeram, “Kau datang, kau mengganggu... Maka sekarang, kau harus menuntaskan gangguan itu sampai... klimaksnya.”

Tak sempat merespon, tubuh Hazel tersentak kuat memaksanya bangkit, belum benar-benar ia bisa berdiri, Xavier mendorongnya ke sofa dan menghimpit tubuh Hazel dengan kedua lengan kokohnya.

Aroma pekat cedarwood memenuhi ruangan, menyusup cepat ke indera penciuman Hazel, aroma khas Xavier yang kini terasa seperti perangkap tak kasatmata. Tapi Hazel tak gentar. Tatapannya menusuk, membalas sorot mata Xavier dengan sinis meskipun tubuhnya terkepung.

Begitu tangannya terangkat, mencoba memberi perlawanan, Xavier sudah lebih dulu mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke atas kepala, membatasi geraknya sepenuhnya. Hazel mengerang tertahan, rahangnya mengeras saat melihat senyuman puas terbentuk di wajah pria itu.

“Kau masuk ke kandang singa lapar, Babe,” ucap Xavier, suaranya dalam, mengalun lembut namun menakutkan. “Kelihatannya kau tak sabar untuk bertemu denganku. Apa sekarang kau mulai memikirkan aku? Atau jangan-jangan... aku adalah bagian dari imajinasi liarmu?”

Hazel mendesis tajam, “Menjauh dariku, bajingan!”

Xavier hanya menggeleng pelan, seolah sedang menghibur seorang anak kecil yang marah tanpa sebab. “Aku belum menyentuhmu, dan kau sudah memintaku berhenti? Sayang sekali,” bisiknya.

Ia menunduk, tanpa ragu menelusuri leher Hazel dengan ciuman yang membuat tubuh gadis itu menegang seketika. Hazel memejamkan mata, bukan karena menikmati, tapi karena takut. Malu dan marah bercampur jadi satu, perasaannya berkecamuk, sementara tubuhnya bergetar di bawah genggaman lelaki itu.

Tangannya terus berusaha lepas, tapi Xavier terlalu kuat. Dan lebih parahnya, pria itu menikmati setiap detik ketidakberdayaannya.

“Xavier… berhenti di sana!” serunya, mencoba mempertahankan kendali atas dirinya sendiri.

Tapi pria itu justru tertawa pelan, suaranya rendah namun jelas penuh ejekan. “Berhenti? Kenapa? Takut kehilangan kendali? Atau kau takut aku bisa membaca sesuatu dari sorot matamu?”

Hazel ingin menampar wajah itu. Wajah tampan yang kini menjelma menjadi iblis menyebalkan. Wajah yang ia benci... dan entah mengapa, sulit ia hindari dari pikirannya akhir-akhir ini.

Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena murka. Terlebih ketika Xavier mulai menurunkan satu tangannya, menyusuri sisi pahanya yang dibalut celana kain panjang. Hazel mengerang frustasi, jantungnya berdetak semakin tak karuan.

Setidaknya, hari ini ia memakai celana panjang. Itu satu-satunya batas yang masih menyelamatkan harga dirinya dari sentuhan kotor pria ini.

Namun kelegaan itu tak bertahan lama.

Xavier dengan sengaja menekan lututnya ke bagian paling sensitif Hazel, tentu niatnya jelas untuk membuat perempuan itu terangsang oleh tindakannya. Hazel tersentak, matanya membelalak, nafasnya tertahan seperti tertusuk duri tajam.

“Brengsek!” umpatnya, kali ini dengan suara penuh ledakan emosi.

Tapi Xavier hanya tersenyum, senyum setipis silet. “Kau baru saja memujiku?” katanya ringan, seolah tak ada yang salah dengan semua ini.

Dengan tenang Xavier mendekatkan bibirnya ke telinga Hazel dan berbisik. "Aku punya sesuatu yang besar, kuat, aku pastikan kau akan mengerang menikmatinya saat itu masuk ke dalam tubuhmu."

Mata Hazel membelalak, dengan wajah merah padam ia mengangkat lututnya, hingga pada akhirnya.

"Ugh! Sialan!" umpat Xavier.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fifi Tasya
wkwkwkwk seorang Xavier jd tidak ada harga dirinya di hadapan hazel... wkwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 120

    Jangankan pergi, Xavier bahkan tidak bergeming. Tubuhnya seperti tertancap di tempat, dan matanya tak lepas sedikit pun dari wajah Hazel. Di balik tatapannya, ada kalimat yang tak terucapkan. Ia tahu Hazel marah. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar untuk dibiarkan menggantung tanpa kabar, dan kini, pertemuan mereka bukan seperti kisah reuni yang manis, melainkan luka yang dijahit ulang."Pergi dari sini, Xavier," bisik Hazel lirih, nyaris tanpa tenaga, namun sarat emosi yang menahan diri dari ledakan.Xavier menarik nafas dalam-dalam. "Aku tahu kau marah… tapi aku harus menjelaskan satu hal. Aku dan Ella, kami tidak memiliki hubungan apapun."Hazel mendongak, tatapannya tajam. "Menarik. Kau juga pernah mengatakan hal yang sama padaku." Nada suaranya dingin, getir. "Dan lihat di mana kita sekarang, Xavier. Kau berdiri dihadapanku, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan sudah tidak pantas dijelaskan lagi.""Aku tidak punya pilihan," suara Xavier lebih dalam sekarang, ada dentuman em

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 119

    Hazel tak merasakan luka di telapak tangannya, bahkan ketika darah mengalir dan menodai gelas yang pecah. Ia baru tersadar saat tepukan cemas mendarat di bahunya."Hazel, tanganmu berdarah!" seru Marco dengan panik.Hazel menoleh pelan, matanya kosong. "Hanya luka kecil, aku akan membersihkannya." ujarnya datar, lalu melangkah pergi menuju toilet.Di dalam ruangan berlampu pucat, Hazel menyalakan keran air. Suara gemericik menenggelamkan pikirannya yang riuh. Air dingin menyentuh luka di tangannya, membawa nyeri yang akhirnya membuatnya sadar bahwa ia benar-benar terluka, meski luka di hatinya terasa jauh lebih dalam.Ia hanya menghela nafas dalam, ia telah melakukan kebodohan sampai harus menyusul Xavier sejauh ini.Harusnya ia sudah paham, delapan bulan tanpa komunikasi adalah cara Xavier melupakannya, tapi ia yang bodoh ini tetap nekat bertemu dengan pria itu hanya untuk melihat pemandangan menyebalkan.Bahkan air matanya pun enggan menetes, walaupun hatinya terasa seperti diremas

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 118

    “Kau yakin akan pergi mengejar pria yang bahkan tidak memberi kabar selama delapan bulan? Hazel... satu bulan lagi, kalau kau hamil, kau mungkin sudah melahirkan.”Tristan menjatuhkan tubuhnya ke sofa sambil menyilangkan kaki, ekspresinya antara cemas dan tidak habis pikir, sementara Hazel terus sibuk melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.Hazel menghentikan gerakannya sejenak, lalu menarik nafas dalam. “Tristan, tolong… berhenti ceramah. Aku sudah cukup lama menunggu. Delapan bulan aku memberi waktu, dan tidak ada satupun jejak darinya. Jadi, aku pergi bukan karena gegabah, aku pergi karena ini satu-satunya jalan.”Tristan menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangan di dada. “Sayang sekali... padahal aku baru mau bilang kalau bulan depan aku juga akan pergi liburan. Tapi kau malah meninggalkanku duluan. Apa tidak bisa menunda saja sampai aku pergi?”Hazel mengangkat alis. “Menurutmu aku harus menunggu lebih lama hanya untuk patah hati di tempat yang sama? Aku sudah te

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 117

    Hazel membawa Tristan ke apartemennya, apartemen yang sudah sekitar empat bulan lebih tidak ia tinggali semenjak ia pulang dari Italia. Hazel yakin, kamera tersembunyi yang Xavier pasang di sana masih berfungsi, dan Hazel perlu memastikan sesuatu apakah kamera itu bisa membantunya bertemu dengan Xavier atau tidak?Ia tau, cara ini cukup bermasalah untuk Tristan kalau sampai Xavier marah, tapi tidak ada cara lain. Hazel sudah mencoba cukup banyak cara untuk bisa menghubungi Xavier, bahkan ia telah meminta George Davis untuk menghubungi Xavier melalui ponselnya, tapi begitu Xavier mendengar suara Hazel, pria itu langsung memutuskan sepihak.Tristan mengerutkan dahi saat mereka melangkah masuk. “Hazel, ini apartemen siapa? Kenapa aku merasa seperti masuk ke sarang orang lain?”Hazel menutup pintu dan menyalakan lampu ruangan. “Ini apartemenku. Tempat yang aku tinggali sebelumnya, itu apartemen milik Jacob. Aku hanya ingin mengecek sesuatu di sini.”Tristan berjalan ke rak buku, jari-jarin

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 116

    Setelah penantian yang terasa begitu panjang, akhirnya Hazel menginjakkan kaki di pesta ulang tahun perusahaan Xavier, sebuah acara yang dikemas begitu megah di dalam ballroom berlapis kristal dan cahaya mewah yang membias di dinding-dinding marmer putih.Begitu Hazel dan Tristan masuk, mereka langsung disambut oleh sesuatu yang tidak biasa, bukan pelayan manusia, tapi humanoid elegan berbalut jas hitam yang membungkuk sopan saat mereka melewati pintu utama.“Wow…” Tristan berbisik kagum. “Bisakah kau bayangkan berapa harga robot yang hanya ditugaskan jadi pelayan pesta seperti ini?”Hazel menyikutnya pelan, meski mulutnya nyaris tersenyum. “Jangan bikin ulah,” tegurnya setengah geli.Ballroom itu ramai, namun tetap anggun. Gaun-gaun mewah dan jas hitam berkilau mendominasi, sementara orkestra memainkan alunan klasik yang mengisi ruangan. Hazel mengedarkan pandangannya, matanya sibuk mencari satu sosok Xavier.Namun sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda kehadiran pria itu. Hanya

  • Tawanan Mafia Mesum    Bab 115

    Salju perlahan mulai mencair, menyisakan genangan tipis di sela-sela trotoar dan suara gemeretak lembut di bawah setiap langkah kaki. Angin musim dingin masih menyelinap di antara gedung-gedung tinggi, namun sinar mentari musim semi sudah mulai terasa hangat di kulit.Di antara keramaian kota yang mulai kembali sibuk, langkah Xavier terdengar mantap menapaki trotoar yang licin. Jas hitamnya berkibar ringan ditiup angin, dan satu tangan menggenggam ponsel di telinganya.“Bagaimana laporan terakhir dari mata-mata kita di perbatasan?” tanyanya tenang namun penuh tekanan.Suara pria di seberang terdengar ragu, namun tetap profesional. “Masih dalam pemantauan, Sir. Untuk saat ini, belum ada pergerakan signifikan dari dalam markas. Tempat itu sangat tertutup... dan dua anak buah kita telah tertangkap saat mencoba menyusup ke dalam.”Langkah Xavier melambat. Ia berdiri di pinggir jalan, matanya menyapu pandangan ke seberang sebelum melanjutkan, “Teruskan pengawasan. Jangan gegabah, tapi janga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status