Waktu liburan di kapal pesiar pada akhirnya usai, semua turun dan menjalani rutinitas seperti biasanya. Hazel melihat Luna kembali di tangan Xavier, tapi ia yakin, butuh waktu sebentar lagi sampai pertunangan Luna dan Xavier selesai, ia tak akan membiarkan Luna menderita dengan pria brengsek itu.
"Kejutan akan datang tidak lama lagi, aku tidak sabar melihat pertunangan Luna dan pria itu usai." ucap Hazel.
Jacob di sebelahnya menoleh, "Sebaiknya kita pulang, untuk memastikan semuanya lancar." katanya.
Hazel mengangguk mantap, ia benar-benar tak sabar menjauhkan Luna dari pria sialan itu.
Dan benar saja, hanya berselang empat hari, terjadi kekacauan besar yang menimpa keluarga Calderon, kabar itu tersebar cepat membuat keluarga Xavier memutus hubungan sepihak dengan keluarga Luna. Pada akhirnya pertunangan Luna dan Xavier resmi dibatalkan, untuk pertama kalinya, Hazel merasa puas. Tujuannya tercapai.
Tapi, hal itu tampaknya juga menjadi masalah baru untuknya.
Hazel yang larut dalam rasa puas, memutuskan untuk menghadiahi dirinya sendiri. Sudah terlalu lama ia tak bertemu tunangannya, Neil. Ia ingin menghabiskan waktu bersama pria yang dicintainya, melepas penat, dan mungkin… merayakan keberhasilannya.
Dengan semangat yang menggebu, ia melangkah ke apartemen Neil. Kode pintu dimasukkan dengan hafal, dan suara bip terdengar bersahabat saat pintu terbuka. Tapi… suasana di dalam apartemen terasa aneh. Terlalu sunyi. Hazel mengira Neil masih di kantor, sempurna untuk sebuah kejutan kecil.
Namun saat ia melangkah lebih dalam, suara samar mulai terdengar… suara yang tak asing. Suara desahan. Suara ranjang yang berderit pelan.
Langkah Hazel terhenti. Detak jantungnya menggila. Ia menelan ludah, dan perlahan mendorong pintu kamar yang terbuka sedikit. Dan di situlah, dunianya seakan runtuh.
Di atas ranjang ia melihat pria yang ia percayai dan akan menjadi suaminya, kini tengah bercinta dengan wanita lain.
"Bajingan," ucap Hazel dengan suara parau, bergetar karena amarah dan luka yang menyesak.
Neil terkejut, wajahnya memucat. Dengan panik ia menyibakkan selimut dan buru-buru mengenakan celananya. Wanita di ranjang hanya bisa mematung.
"Hazel! Aku bisa jelaskan!" serunya.
Hazel menepis tangan Neil yang mencoba menyentuhnya. Dengan kekuatan yang lahir dari rasa dikhianati, tinjunya melayang ke wajah Neil, darah langsung mengalir dari sudut bibir pria itu.
“Kau pikir aku tidak akan tahu, hah? Aku kira kau pria yang bisa kuandalkan, yang akan menjadi suami yang baik. Tapi saat aku sibuk membantu orang lain, kau malah tidur dengan wanita lain!” teriak Hazel, emosi menguasainya saat ia baru tau fakta pengkhianatan calon suaminya.
Neil tampak tergagap, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun yang masuk akal.
“Tidak usah berusaha menjelaskan! Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Dan mulai hari ini, kita selesai.” Hazel melepas cincin pertunangannya, melemparkannya ke lantai seperti membuang sampah.
Dengan suara gemetar penuh luka, ia berkata, "Aku tidak tau kalau ternyata kau juga sebrengsek ini, Neil." dan setelah itu ia berbalik pergi tanpa memperdulikan seruan dari Neil.
Demi apapun, hatinya sakit mengetahui pria yang akan menjadi suaminya berkhianat seperti ini, Hazel tidak tau, seberapa sering Neil membawa wanita asing ke dalam apartemennya. Air matanya jatuh, hatinya benar-benar sakit dan ia butuh obat untuk melarikan diri sejenak dari kekacauan hari ini.
Dan klub malam adalah pilihan yang Hazel pilih, dentuman musik mengguncang dinding, alkohol mengalir deras. Hazel meneguk gelas demi gelas tanpa berpikir. Ia tak peduli dengan pandangan orang-orang. Dunianya sedang runtuh, dan ia hanya ingin melupakannya, setidaknya malam ini.
"Brengsek!" desisnya lirih sambil meletakkan gelas kosong ke meja, "Tuangkan kembali," perintahnya pada bartender, ia sudah tak peduli saat kepalanya sudah mulai pusing, kesadarannya pun mulai hilang kendali.
"Seseorang harus membawanya pergi, perempuan ini sudah terlalu banyak meneguk alkohol." ucap bartender dengan samar-samar terdengar di telinga Hazel.
Dengan tubuh limbung dan pandangan yang mulai gelap, Hazel bangkit dari duduknya setelah meneguk isi gelas terakhir. Ia meraih meja untuk menjaga keseimbangan, namun segalanya terasa berputar. Musik dari klub masih menghentak keras di belakang, tapi pikirannya kini hanya terfokus pada satu hal, ia harus ke toilet. Rasa mual yang membakar dari perutnya memaksa ia bergerak, meskipun langkah-langkahnya goyah seperti boneka yang kehilangan keseimbangan.
Toilet... di mana? Kenapa terasa seperti jaraknya bermil-mil dari tempat ia berdiri?
Setiap langkah yang diambil membuat dunia di sekelilingnya bergoyang. Kepalanya berdenyut hebat, tapi anehnya, untuk sesaat, sakit di hatinya seperti teredam oleh alkohol. Luka karena pengkhianatan Neil tetap ada, namun tak lagi menjerit, hanya mendesah pelan di balik gelombang mabuk yang membungkus kesadarannya.
Tapi entah bagaimana, Hazel justru melangkah ke arah yang salah. Bukannya menuju toilet, ia malah berjalan ke area eksklusif, tempat yang seharusnya tak bisa diakses sembarangan. Namun Hazel tak sadar. Matanya buram, pikirannya tak fokus, dan tubuhnya hanya mengikuti insting.
Sampai akhirnya ia menabrak sesuatu, atau... seseorang.
Hazel mendongak perlahan, dan meski semuanya samar, ada satu hal yang dikenalnya, aroma cedarwood yang begitu khas. Hangat. Maskulin. Menggoda.
Refleks, kepalanya bersandar ke dada pria itu. Aroma itu memeluk indra penciumannya dan membuatnya merasa… aman? Atau mungkin hanya tersesat?
“Kau sangat mabuk, Hazel,” suara bariton itu terdengar lembut namun jelas, dalam, dan sangat familiar. Tapi Hazel tak mampu menghubungkan suara itu dengan wajah siapa pun. Ia terlalu lelah untuk peduli.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh dada pria itu yang hangat dan berotot, dibalut kemeja linen dengan tiga kancing teratas terbuka. Jemarinya menelusuri kain itu dengan gerakan lambat, hampir tak sadar. Ia tak tahu siapa pria ini. Tapi untuk saat ini, yang ia tahu, ia butuh seseorang. Butuh pelarian. Butuh kehangatan. Butuh rasa yang bisa menutupi luka yang terus menumpuk di dalam hatinya.
Pandangannya buram, tapi Hazel masih mencoba menyipitkan mata, mencoba melihat jelas sosok di hadapannya. Namun yang terlihat hanya bayangan samar.
Masa bodoh.
Ia mencengkeram kerah pria itu, berdiri di ujung jinjit, berusaha mencapai bibirnya. Entah karena nafsu, mabuk, atau sekadar ingin dilupakan oleh dunia malam ini.
Pria itu menatapnya, menahan gerakan Hazel, namun tak menjauh.
“Kau menginginkan diriku?” tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah, bergetar dengan ketegangan yang belum dilepaskan.
Hazel tak menjawab dengan kata-kata. Tangannya bergerak naik, menyentuh rahang pria itu, membelai dengan gerakan sensual, seakan berusaha mengukir bentuk wajahnya ke dalam memorinya, atau mungkin hanya mencari pegangan di tengah kekacauan pikirannya.
"Aku ingin tidur denganmu," bisiknya, nafasnya berat, bibirnya gemetar karena alkohol, emosi, dan ketidaksadaran yang perlahan mulai mengambil alih.
Dan saat itu, dunia Hazel berputar lebih cepat, menelan logika dan moral di dalam dirinya hingga ia tak tau, pria itu menyunggingkan seringai sinis.
"Kau yang memintanya, jangan menyesalinya saat kau bangun nanti, kucing liarku."
Ternyata ruang bawah tanah yang Xavier tunjukkan pada Hazel bukan hanya sekedar bunker gelap tak terurus, melainkan labirin tersembunyi yang mengarah jauh lebih dalam. Sebuah lorong panjang bercabang membawanya menuju ujung yang tak terduga, berakhir di sebuah celah rahasia yang langsung menghadap ke laut terbuka.Di mulut lorong itu, tanaman liar menjalar liar dan lebat, membentuk tirai alami yang menyamarkan keberadaannya. Hazel memandangi pemandangan itu dengan takjub, di balik semak liar dan reruntuhan batu, terdapat keindahan alam yang tak tersentuh dan menenangkan.“Jadi... saat semua kekacauan itu terjadi, kau dan ibumu sempat bersembunyi di sini?” tanya Hazel saat mereka kembali ke ruang utama bawah tanah.Xavier yang tengah membongkar isi peti kayu tua menoleh sekilas. Cahaya remang memantul di wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahangnya yang kaku.“Kami bersembunyi di sini saat semuanya mulai hancur. Aku masih remaja waktu itu. Setelah ibuku meninggal, aku kabur... ke
Pagi itu, udara Italia menyambut dengan kehangatan yang menenangkan. Laut berkilau, mentari memeluk pelan kulit bumi yang masih lembab sisa embun malam. Hazel membuka jendela kamarnya yang semalam tidak ia tutup dengan gorden, dengan penuh perasaan ia menghirup dalam-dalam udara laut yang segar.Hari ini, ia telah merencanakan liburan kecil untuk dirinya sendiri. Sebuah yacht pribadi, laut tenang, dan waktu untuk menikmati segalanya... sendirian. Ya, hanya dirinya dan lautan. Tak ada gangguan. Tak ada keributan. Tak ada...dia.Dengan semangat, Hazel melangkah menuju dermaga, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, senyum menggantung tipis di wajah. Ia sudah menyewa sebuah yacht untuk menikmati udara tenang dan hangat ini tanpa gangguan, ya begitulah rencana awalnya, sampai kekecewaan yang akhirnya Hazel dapatkan.Senyum itu langsung pudar begitu ia melihat sosok menyebalkan itu berdiri santai di atas dek yacht, tangan bersandar pada pagar kapal, dan tentu saja senyum angkuh menghi
Hazel akhirnya tiba kembali di penginapan, tanpa gangguan dari Xavier, tanpa suara langkah yang mengintai, hanya kesunyian malam yang menggantung di udara. Ia menutup pintu kamarnya perlahan, seolah takut suara berderit bisa memicu masalah lain.Dengan langkah lesu, ia menjatuhkan diri ke atas ranjang. Punggungnya menyentuh kasur dingin, dan sebuah helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Matanya terpejam sejenak, lalu terbuka menatap langit-langit yang tak menawarkan jawaban apa pun."Ini benar-benar di luar nalar," batinnya. "Aku pergi jauh-jauh ke Italia demi menjauh dari Xavier, untuk menikmati hidup santai meski sejenak. Tapi ternyata aku justru datang ke tempat asalnya, seolah semesta sedang mempermainkanku."Hazel menggigit bibir bawahnya, perasaan frustasi dan lelah bergumul di dadanya. "Setiap kali aku berada di tempat yang sama dengannya... selalu ada yang tidak beres. Selalu ada yang berbahaya. Dan aku lelah."Ia hendak kembali memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapu
Angin malam Italia berhembus lembut, membawa aroma sungai Arno yang mengalir tenang di bawah cahaya bulan. Hazel berdiri di balkon kecil hotel tempatnya menginap, membiarkan semilir udara segar menyapu rambut dan wajahnya yang masih menyimpan sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang.Matanya mengamati panorama kota Firenze yang menyala hangat oleh lampu jalan dan sinar dari jendela toko-toko tua. Di kejauhan, kubah-kubah bangunan klasik berdiri megah, seolah menyambutnya ke dalam kisah lain yang akan segera dimulai.Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Hazel merasa sedikit bebas. Tidak ada bayangan yang membuntuti, tidak ada suara langkah tergesa di belakangnya, dan tidak ada darah. Hanya ketenangan... setidaknya begitu yang ia harapkan.Ia mengenakan mantel tipis, lalu melangkah keluar dari hotel. Tujuannya sederhana, mencari makan malam dan menikmati malam di negeri asing ini. Langkahnya menyusuri jalanan berbatu khas kota tua, hingga matanya menangkap sebuah restoran k
Hazel tidak pulang ke apartemennya malam itu. Setelah kejadian gila yang datang tak diundang, ia memilih mengikuti Nico ke apartemen pria itu. Begitu pintu tertutup rapat di belakang mereka, Hazel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, lelah, dingin, dan penuh kekacauan. Nafasnya masih belum stabil, dan rambutnya berantakan menempel di wajah yang pucat.Nico berdiri sejenak di dekat pintu, memeriksa ulang kuncinya sebelum matanya menatap Hazel yang tampak jauh dari biasanya. Penuh luka kecil, tanpa sepatu, dan terbalut gaun pesta yang kini tampak seperti sisa dari medan perang.“Bagaimana kau bisa ada di tempat itu?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan. “Beberapa menit sebelumnya, bukankah kau masih di pesta?”Hazel hanya menoleh sambil menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tatapannya kosong. “Setelah kau meneleponku tadi… aku keluar, dan semuanya berantakan dalam hitungan menit.”Nico melangkah lebih dekat, kali ini nada
Gaun biru laut membalut tubuh Hazel dengan anggun, mengalir lembut mengikuti langkah kakinya yang mantap memasuki ballroom megah yang dipenuhi cahaya keemasan. Di wajahnya, topeng hitam elegan menyembunyikan identitasnya, menyatu sempurna dengan atmosfer pesta topeng yang memancarkan kesan eksklusif dan rahasia. Namun Hazel tidak datang sendiri, secara kebetulan, ia bertemu Nico di perjalanan, dan tanpa banyak bicara, menyeret lelaki itu bersamanya.Nico yang berjalan di sampingnya tampak tak nyaman, bibirnya menekan kesal. “Apa kau sudah gila?” gumamnya pelan namun tajam.Hazel menyeringai santai. “Kau juga tidak sibuk, kan? Apa salahnya kalau kau menemaniku datang ke pesta?”“Kita tidak sedekat itu. Hanya karena Luna menikah dengan kakakmu, sekarang kau malah memanfaatkan diriku,” sahut Nico ketus.Hazel hanya terkekeh ringan, tak menanggapi lebih jauh. Ia tahu Nico tidak akan pernah bisa benar-benar menolaknya jika ia sudah memaksa. Tapi demi menjaga mood pesta tetap nyaman, ia memb