Share

BAB 2. Tuan Leonardo

Meta Marfora Anastasya, serangkaian nama yang begitu indah. Namun, nama bukan jaminan untuk sifat  seseorang menjadi baik. Meta, gadis yang cukup sempurna dari segi fisik. Mungkin terlalu sempurna sampai dia merasa dunia hanyalah miliknya.

“Meta, seorang model majalah remaja, Tuan,” jelas salah seorang pengawal berpakaian hitam. Edward membaca data gadis yang tengah dia jadikan tawanan tersebut. Meta memiliki prestasi yang bagus. Gadis itu benar-benar memanfaatkan kecantikannya dengan baik.

Harus Edward akui kecantikan gadis itu memang begitu mengagumkan, ditambah tubuh yang amat proporsional. Fisik yang selalu jadi idaman kaum hawa. Sayangnya, kecantikan bukanlah jaminan.

“Jangankan melakukan pemotretan, untuk berjalan saja dia mungkin tidak lagi mampu,” gumamnya disertai senyum miring. Kaki mulus yang jadi idaman itu kini memiliki bekas  jahitan.

“Dia tidak akan bisa jadi model lagi, sekarang,” sambung Edward meneguk minuman berkadar alkohol tinggi tersebut. Pada akhirnya tanpa diminta, Meta sendiri yang masuk ke area kekuasaannya, dan yah sampai kapan pun gadis itu tidak akan bisa bebas. Pilihannya hanya ada dua, tetap tinggal atau keluar dengan tubuh tidak utuh.

“Tuan, nona Meta..”

Edward mengetahuinya. Pasti gadis itu membuat ulah lagi. Edward melangkah begitu tenang, berbeda dengan para pelayannya. Vas bunga menyambutnya, dengan mudah Edward menghindar, menatap tajam gadis yang tengah merusak  furniture di kamar tersebut.

Lagi, satu benda melayang ke arah Edward. Pria itu melangkah begitu tenang, tidak terganggu dengan benda tajam yang kini Meta acungkan ke hadapannya.

Dia menyentuh tangan tangan Meta, mengangkatnya sedikit lebih tinggi.

“Kalau mau nyerang tepat di bagian sini, biar gak sia-sia. Ada urat nadi, jadi sekali tebas, lawan kamu akan mati,”  jelas Edward. Seketika tangan Meta gemetaran. Tatapan Edward sungguh mengerikan. Pria itu memang tengah mengajarinya, tetapi mata hitam pekat itu tidak bisa berbohong.

Dalam sekali hentakan, pisau di tangan Meta terjatuh ke lantai.

“Keluar!” suruhnya begitu dingin.

Kini tersisa Meta dan Edward. Pria itu masih menggenggam pergelangan tangan gadis di hadapannya.

“Kenapa? Kenapa kamu menahanku seperti ini? Kenapa  tidak membunuhku saja? Apa yang kamu inginkan dariku hah!” teriak Meta mulai tidak mampu mengontrol emosinya. Edward tersenyum miring, mengeratkan genggamannya sampai Meta meringis kesakitan.

“Bukankah aku sudah memperingatkanmu, kelinci manis? Jadilah penurut jika tidak ingin merasakan neraka,” ucapnya penuh penekanan. Meta menangis sejadi-jadinya.

Edward melepaskan genggamannya, menyisakan pergelangan tangan yang membiru. Melihat korbannya menangis dan memohon ampun sungguh menyenangkan baginya.

“Bersyukurlah karena masih hidup meski peluru kesayanganku sudah menembus kakimu. Belum juga kalau menembus jantung atau bahkan kepalamu,” lontarnya lagi.

Meta terduduk lemas. Edward Leonardo, akhirnya dia mengetahui nama lengkapnya. Seorang psiko yang telah menelan musuh yang mencari masalah dengannya. Dia tidak akan membiarkan mereka keluar dengan selamat, tentu setelah melakukan kesalahan besar. Edward Leonardo, bukan pria yang memiliki hati nurani.

Kesalahan terbesar Adam adalah bekerja sama dengan pria tidak memiliki hati seperti Edward, buruknya malah menjadikan Meta jaminan. Entah proyek apa yang mereka kerjakan sampai Meta sendiri jadi jaminannya.

Meta mencoba melangkah, meski tertatih, mengambil pecahan kaca akibat ulahnya. Jika tidak bisa terbebas dan tidak memiliki harapan untuk hidup normal lagi, maka dia akan mengakhiri hidupnya saat itu juga.

Gadis itu mulai mengarahkan pecahan kaca ke pergelangan tangannya.

“Jika akhirnya mati dengan mudah lebih menyenangkan, untuk apa kamu berjuang menahan rasa sakit? Bukankah kamu bermimpi ingin menjadi model internasional?”  tanya Edward mengingatkan Meta pada mimpi besarnya sejak kecil.

Tangan Meta kembali gemetar, tanpa sadar dia menggenggam pecahan kaca begitu erat, sampai membuat cairan kental mulai menetes.

Edward menghembuskan napasnya, mulai geram. Hanya dia yang boleh menggoreskan luka di tubuh gadis itu. Sungguh, melihatnya melukai diri sendiri, cukup membuat Edward merasa kesal, dan dia butuh pelampiasan.

“Kamu ingin menyerah pada mimpi itu?”

“Semua udah berakhir. Mana ada model yang memiliki bekas luka. Jangankan jadi model internasional, buat ikut pemotretan aja aku udah gak bisa,” sahut Meta, memejamkan matanya erat. Dia bahkan tidak lagi bisa merasakan sakit, atau memang sengaja mengabaikannya.

“Baguslah!” Edward duduk santai di kursi, menatap gadis yang baru saja kehilangan mimpi besarnya.

“Gimana rasanya kehilangan harapan?” tanyanya, Meta membuka mata, bertemu pandang dengan mata hitam pekat itu.

“Aku salah apa? Kenapa menyiksaku begini?” teriak Meta lagi.

Edward mengerutkan dahinya. Yang Meta terima belum seberapa dibanding siksaan yang diterima para korbannya. Jika saja dia tidak ingat bahwa Meta adalah jaminan yang dia jadikan tawanan, mungkin gadis itu sudah berakhir sejak awal masuk area kekuasaannya.

“Sepertinya kamu perlu tempat sepi untuk merenungi kesalahanmu,” ungkap Edward. Mengabaikan luka di tangan Meta, Edward memopong tubuh Meta seperti karung beras, lalu memasukannya ke dalam lemari dan menguncinya. Sesak, pengap dan gelap, semuanya membuat kewarasan Meta mulai menghilang.

Dia menenggelamkan kepalanya di lipatan lutut.

Sementara Edward tersenyum puas, setelah membuat Meta menderita.

“Seharusnya kamu tidak merengut mimpi orang lain, agar mimpi besarmu juga tidak direbut, kelinci manis,” ucapnya, begitu yakin di dalam sana Meta bisa mendengar perkataannya dengan jelas.

Merebut mimpi orang lain? Sebenarnya siapa yang Edward maksud. Meta mengangkat kepalanya, otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Meta menarik rambutnya frustrasi. Sedikit lagi, harusnya dia sudah mendapatkan mimpi besarnya. Namun, kini dia semakin jauh bahkan tidak memiliki harapan untuk itu.

“Edward, tolong,” lirihnya mulai tidak bisa bernaapas dengan benar.

Dengan lemah dia mengetuk dinding lemari, berharap akan ada yang menolongnya. Sayangnya, dia hanya sendirian di dalam sana, tidak akan ada yang mendengar dan menolongnya.

Edward mengisap nikotinnya lalu menghembuskannya ke udara lagi. Merasa tidak cukup puas, pria itu mulai memainkan alat-alat kesayangannya.

“Sudah siap, Tuan,”

Edward mengangguk mengerti. Pria itu mematikan rokok yang belum habis begitu saja. Dia mengenakan jaket hitam, sarung tangan. Dia mengambil sebuah kotak yang diukir begitu indah. Edward tersenyum miring.

“Waktunya bersenang-senang,” gumamnya membuka kotak tersebut.

Pisau kesayangannya tampak mengkilat. Dia butuh pelampiasan setelah dibuat kesal oleh kelinci manisnya. Untungnya, korbannya datang dengan sendirinya.

“Tuan, bukankah ini tidak adil?”

“Tentu saja adil. Dia tidak mampu membayarnya, bukan? Maka ambil saja semua yang dia miliki untuk membayarnya,” sahut Edward, mengangkat pisau tersebut sampai terkena pantulan cahaya, tampak semakin menakjubkan.

“Ah, akan lebih seru jika aku bermain-main sedikit dengan kelinci manisku,” gumamnya mendapatkan ide yang teramat cemerlang.

Edward memerintahkan penjaga untuk mengeluarkan kelinci manisnya dari dalam lemari, memberi waktu sejenak untuk petugas medis mengobati lukanya. Belum juga mendapatkan kesadarannya kembali, Meta sudah dipaksa memasuki ruangan yang terasa begitu dingin.

“Selamat datang, kelinci manisku. Ada sedikit hadiah untukmu yang sudah meneriakiku,” sambut Edward terkekeh, benar-benar wajah seorang psikopat.

Hukuman apalagi yang akan Edward berikan padanya. Apakah luka di kaki, dan dikurung berjam-jam di dalam lemari tidak cukup untuknya?

“Sebelum itu, aku ingin mendengarmu memanggilku Tuan Leonardo!” suruhnya tegas.

“Tuan Leonardo? Begitukah aku harus memanggilmu? Aku bukan budakmu, jadi untuk apa aku melakukannya?” cecar Meta dengan berani.

Edward tertawa, ah kelinci manisnya membuat rasa kesalnya semakin meningkat. Lihat saja setelah ini kelinci manis itu tidak akan berani membuka mata lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status