Melihat kejadian itu, Hans merasa geram dan menatap wajah keponakannya itu. Ia pun hendak menampar pipi Lucas dan dengan cepat Lucas mencekalnya.
"Kau jangan mencampuri urusan orang lain. Dasar pengkhianat!" gertak Lucas tersulut emosi.
"Jangan banyak bicara, Lucas! Aku melakukan ini atas perintah Nyonya Grace. Seharusnya kau juga tidak perlu menceraikannya. Jika bukan karena Grace, adikmu tidak akan selamat!" tegas Hans tak kalah lantang.
"Dasar! Ini urusan rumah tanggaku. Jangan membawa-bawa dengan kecelakaan adikku. Sebaiknya kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu,"
"Kau jangan asal bicara, aku tidak pernah berbuat apapun atas kematian bibinya Grace, kau sendirilah yang membunuhnya."
Hans begitu marah dan masih terus menatap tajam wajah Lucas. Sementara, Lucas tak mau kalah ia merasa dirinya begitu hina atas tuduhan pamannya. Ia pun meninju wajah Hans membuat pria itu merasa kesakitan.
"Sial! Kau berani membuatku celaka. Kau juga harus merasakan ini."
Hans mulai tersulut emosi dan hendak menampar pipi Lucas. Namun, seketika seorang wanita tampak menahannya. Lucas merasa bingung dan menatap wajah wanita itu. Ia pun terkejut.
"Lunar ...." lirih Lucas saat menyadari kehadiran Lunar. Gadis itu menatap wajah Hans dengan tajam.
"Sebaiknya anda harus menjaga sopan santun. Dia ini Direktur di hotel ini, kau harus menghormatinya," ucap Lunar meleraikan.
Seketika semua pengunjung dan karyawan hotel tampak menatap mereka bertiga. Ada yang saling berbisik ada pula yang acuh tak acuh.
"Jadi ini alasanmu tidak menginginkan Grace kembali? Dasar tidak tau diuntung! Tunggu saja pembalasanku." Hans tampak kecewa dan bergegas pergi dari tempat tersebut.
Usai kepergian Hans, Lunar membawa Lucas menuju kamarnya. Di sana ia menatap wajah Lucas dengan seksama. Dari raut wajahnya terlihat begitu banyak beban masalah yang dideritanya.
"Ada masalah apa denganmu, Tuan Lucas?" tanya Lunar saat mereka tiba di kamar hotel.
"Tidak. Hanya masalah kecil saja," jawab Lucas tak mau membeberkannya.
"Jangan berbohong, Tuan. Aku dapat melihat dengan jelas bahwa kau sedang memikul beban berat,"
"Tidak. Ini hanya masalah kecil saja, kau tak perlu mencampuri urusanku, mengerti tidak?!"
"Maafkan saya Tuan, saya tidak ingin Tuan terluka."
Lunar bergegas pergi menuju meja, di sana ia mengambil beberapa makanan dan segelas air minum. Lalu ia memberikannya pada Lucas.
"Sebaiknya Tuan makan dulu," pinta Lunar dengan tatapan memohon.
"Aku tidak lapar." sahut Lucas memalingkan wajahnya.
"Tuan, jangan menyiksa diri seperti ini. Meskipun Tuan sedang dalam masalah, Tuan jangan sampai melupakan makan. Kesehatan itu penting, Tuan, makanlah, aku mohon,"
Lucas seketika menoleh ke arah Lunar. Ia melihat tatapan memohon yang amat dalam di wajah gadis itu.
"Baiklah, aku akan makan. Terima kasih sudah peduli padaku,"
"Sama-sama Tuan. Jika ingin menambah saya ingin meminta pada bibi Zhang,"
"Tidak perlu. Kau temani aku saja di sini, apa kau sudah makan?"
"Belum. Aku menunggu Tuan supaya makan terlebih dahulu,"
"Lunar, aku akan menjadikanmu istriku. Jadi kau harus makan bersamaku, anggap aku ini suamimu,"
"Tapi, Tuan,"
"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus menurut padaku, jika tidak ...."
"I-iya, Tuan. Aku akan menurut,"
"Baiklah, makanlah. Setelah ini aku akan membawamu ke mall,"
"Untuk apa Tuan membawaku ke mall?"
"Lihatlah pakaianmu itu. Apa kau tidak malu?"
"Astaga! Aku baru menyadarinya, Tuan,"
"Yasudah, makanlah. Kita tidak punya banyak waktu,"
"Baik, Tuan."
***
"Kurang ajar! Berani-beraninya dia bermain denganku! Apa dia tidak tau siapa aku sebenarnya?" gertak Grace di ruang tengah yang begitu mewah.
"Saya juga tidak tau, Nyonya Grace. Lucas begitu keras kepala. Nyonya tau sendiri kan, Lucas itu pria yang keras?" ucap Hans dengan penuh sesal.
"Aku tidak mau tau. Pokoknya kau harus membuat surat pernyataan yang baru. Kau buat dengan jelas bahwa dia tidak akan menceraikanku seumur hidup,"
"Tapi, Nyonya. Bagaimana jika Lucas menolaknya kembali?"
"Jangan pikirkan itu, aku tau cara untuk mengatasinya,"
"Baik, Nyonya."
Grace pun tertawa memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan putih. Wanita berusia 28 tahun itu merasa tidak terima dengan keputusan suaminya. Meski ia suaminya tak pernah menyentuhnya, setidaknya Grace merasa bersyukur bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta.
***
"Kau pilih saja mana yang kau suka, biar aku yang membayarnya," pinta Lucas sambil berjalan mengikuti Lunar.
"Tapi, ini sangat mahal, Tuan," balas Lunar saat menyentuh benda berbentuk bulat menyerupai buah dada.
"Tidak apa-apa, kau harus membelinya. Aku rasa itu cocok untukmu,"
"Benarkah?"
"Ya, lalu kau mau ini?" Lucas tampak menyodorkan sebuah lingerie berwarna hitam kepada Lunar.
"Astaga! Itu sangat menjijikan. Untuk apa aku memakainya?"
"Tapi, ini sangat menggiurkan. Kau harus memakainya nanti malam,"
"Apa?! Aku tidak mau,"
"Ssstt," Lucas tampak menutup bibir Lunar dengan telunjuknya. "Kau tau ini tempat umum. Sebaiknya kau bicara sewajarnya, jangan terlalu keras,"
"M-maaf, Tuan,"
"Yasudah, kau harus membeli ini ... ini ... ini ... dan itu. Mbak, saya mau lingerie satu lusin, celana dalam dua lusin dan juga bra dua lusin,"
"Baik, Tuan."
Setelah selesai berbelanja, Lucas dan Lunar kembali dan keluar dari pusat perbelanjaan itu. Lunar tak habis pikir jika Lucas melakukannya dengan baik. Selama ini yang ia tau, Lucas adalah pria arrogan dan juga angkuh. Tapi kenapa dia begitu peduli pada Lunar?
"Tuan, apa Tuan belum pernah menikah?" pertanyaan itu membuat Lucas menghentikan mobilnya. Ia menatap Lunar dan kemudian melanjutkan menyetirnya.
"Maaf, Tuan, jika saya lancang," ucap Lunar merasa bersalah.
"Tidak apa-apa."
Seketika suasana tampak hening tak ada percakapan di antara mereka. Lunar mengambil headseat dan mencoba untuk mendengarkan musik. Namun, Lucas merampasnya dan menyimpannya.
"Kenapa, Tuan? Aku hanya ingin mendengarkan musik,"
"Aku tau. Tapi, kau tak menghargaiku yang ada di sampingmu. Apa kau tau, kau itu sudah kubeli dengan harga yang cukup mahal. Jadi kau harus menuruti setiap keinginanku." sergah Lucas terbawa emosi.
Lunar hanya terdiam dan menundukkan wajahnya. Entah mengapa ia merasa pria di hadapannya ini bersikap semaunya dan banyak menentangnya. Yang membuat Lunar merasa aneh, terkadang pria itu bersikap peduli dan baik padanya. Tapi, kadang pula pria itu bersikap kasar dan arrogan.
"Maafkan aku," ucap Lucas meminta maaf.
"Kenapa Tuan meminta maaf?" tanya Lunar tak mengerti.
"Maafkan aku jika menyakiti perasaanmu,"
"Ah, itu. Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," Lunar tampak memperlihatkan bahwa dirinya benar baik-baik saja.
"Syukurlah."
Lunar mendehem pelan. Sesaat ingatannya kembali kepada Doris, suaminya. Sebetulnya ia ingin menanyakan pada Lucas tentang keberadaan Doris. Walau sejujurnya ia telah kecewa kepada suaminya, setidaknya ia bisa tau alasan apa suaminya tega menjualnya?
"Lunar. Bagaimana perasaanmu saat kita first kissing?" tanya Lucas membuat Lunar terbelalak.
"Aku tidak tau. Aku tidak ingin membahasnya lagi," tukas Lunar.
"Bagaimana kalau aku ingin membahasnya?"
***
"Mari kita bicara, ada apa sebenarnya tadi?" Setelah memasuki ruang kerja, Lana menatap langsung ke arah Erza. "Ini, Lana, sekarang aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu." Erza kebingungan. "Kamu tidak tahu bagaimana menjelaskannya? Apa yang kamu lakukan dengan Wina tadi di dalam kamar?" Emosi Lana membuncah. Pada saat ini, Lana merasa akan pingsan. "Erza, apakah itu tidak berlebihan?" Lana tidak tahan. Perasaan ini membuat hati Lana sangat tidak nyaman. "Lana, aku sebenarnya seorang dokter, tapi penyakit Wina agak aneh. Ditambah lagi, aku hanya mendengar sedikit tentang penyakit itu, jadi aku tidak bisa menjelaskannya padamu." Erza melihat langsung ke mata Lana. Lana membuka mulutnya lebar-lebar dan memandang Erza di depannya. Dia tidak percaya apa yang dikatakan Erza. "Bahkan jika kamu tidak ingin memberitahuku, jangan berbohong padaku!" bentak Lana. "Lana, aku benar-benar seorang dokter. Jika kamu tidak mempercayaiku, aku akan menunjukkannya padam
Tetapi begitu Erza pergi, banyak orang mulai berbicara dengan nada tidak senang. Tentu saja itu wajar. Mereka harus bekerja delapan jam setiap hari, bahkan kadang-kadang bekerja lembur. Tapi, Erza justru sering pergi begitu saja, datang begitu saja seenaknya sendiri. Erza tidak peduli, dia langsung meluncur untuk menuju ke restoran berkecepatan tinggi yang dimaksud Farina. Dia memutuskan untuk tidak mengajak Wina karena akan memakan waktu Selama makan, mereka berdua bisa berbicara, tapi Farina terus minum. "Jangan minum terlalu banyak." Melihat Farina ingin minum lagi, Erza segera mencegahnya. "Aku masih kuat minum!" teriak Farina dengan lantang. Teriakan ini menarik perhatian banyak orang, namun saat melihat Farina mengenakan seragam polisi, banyak dari mereka yang berpura-pura tidak menyadarinya. Bisa dikatakan mereka semua tahu bahwa itu adalah Farina. "Jangan minum!" bentak Erza. Gadis itu tidak menghiraukannya. Selanjutnya, Erza tidak tahu berapa banyak yang d
"Orangtuamu berasal dari Jakarta dan setelah kamu lahir, mereka tetap tinggal di sana. Artinya, tempat lahirmu adalah Jakarta, bukan Semarang," jelas Farina. "Apa?" Erza terdiam sejenak. Tempat kelahirannya adalah Jakarta? "Ya, menurut informasi, orang tuamu sepertinya terburu-buru saat itu, jadi semua informasi tentang kepindahan mereka ke Semarang tidak ditemukan. Sepertinya ada yang sengaja menyembunyikannya, dan aku tidak bisa muncul sekeras apa pun aku memeriksanya." Di akhir pembicaraan, Farina juga sedikit tidak berdaya. Entah itu kakek Erza, atau orang tua Erza, ada banyak hal aneh tentang keluarganya. “Mungkinkah kakekku yang melakukannya?” tanya Erza setelah beberapa saat. "Ya, namun juga, orang tuamu hanyalah profesor di sebuah universitas. Mereka seharusnya tidak memiliki kemampuan seperti itu. Sepertinya kakekmu sekarang ada di Jakarta, dan dia memiliki kekuasaan di sana." Farina merasa ini adalah penjelasan yang paling masuk akal. Ketika mendenga
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska