Sesil merasa tak bisa bernapas dengan benar. Gaun pengantin berwarna putih dan detail biru pucat di bagian bawah rok pendek itu memiliki lubang besar di bagian punggung. Bagaimana mungkin ia mengenakan pakaian sejenis itu? Ia pasti terlalu sibuk untuk menutupi dada atau paha daripada gugup memikirkan setiap detail kata sumpah pernikahan.
Sesil memegang dadanya. Menutup belahan jubah mandi. Punggungnya sudah merinding membayangkan dirinya mengenakan gaun itu. Lalu, dengan jijik ia melemparkan gaun itu kembali ke pinggiran ranjang. Bertepatan pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas putih. Rapi, tampan, dan sangat memesona. Sedetik Sesil terpukau dengan penampilan pria itu, tapi ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Saga. Sang calon pengantin pria.
“Apa kau sudah siap?” Saga hanya sekadar basa-basi meskipun tahu jawabannya. Matanya tiba-tiba penuh binar saat sebuah ide muncul di kepala dengan penampilan Sesil yang sama sekali belum mengenakan gaun pengantinnya. “Apa kau butuh bantuan?”
“Ya, aku butuh bantuan.”
“Dengan senang hati.” Saga menyandarkan kedua tangannya di pinggang Sesil dan membungkuk sedikit mendaratkan kecupan singkat di kening.
Dengan sikap was-was, Sesil berusaha untuk tidak menolak kecupan singkat Saga. Hanya kecupan singkat, bukan ciuman dengan lumatan panas dan penuh hasrat seperti kemarin. Ia bisa menoleransi.
“Apa kau butuh bantuan untuk mengenakan gaunmu?” Salah satu tangan Saga merambat naik melewati lengan menuju kerah jubah mandi Sesil.
Sesil menghentikan gerakan tersebut sebelum Saga sempat menyingkap jubahnya. Menahan napas dan berkata, “Aku butuh gaun pengantin yang lain.”
Saga terdiam. Kepalanya bergerak sedikit dan melirik gaun yang menjuntai di pinggiran ranjang sebelum kembali menatap wajah Sesil yang merona. Entah karena gaun itu, sentuhannya, atau karena tatapan penuh hasrat yang sama sekali tak ingin ia tutupi untuk Sesil. “Apa gaunnya kurang cantik?”
Sesil menggeleng. “Gaunnya sangat cantik. Aku menyukainya. Hanya saja ...”
“Hanya saja ...” Saga menelengkan kepala meminta jawaban lebih.
“Gaunnya terlalu terbuka dan ... dan itu sama sekali bukan gayaku.”
Ya, Saga tahu. Amat sangat tahu. Semua baju dalam lemari adalah selera yang berusaha ia paksakan pada wanita itu. Untuk menunjukkan bahwa Sesil adalah miliknya. Merubah wanita itu menjadi seperti yang ia inginkan. “Kita tak punya cukup waktu untuk itu.” Saga menunjukkan arloji berwarna perak di pergelangan tangannya.
Sesil mengambil satu langkah menjauh. Tiba-tiba merasa putus asa dan menyesal. “Apakah aku tidak bisa memilih gaunku sendiri di hari pernikahanku?”
“Well, itu gaun pilihanmu,” dusta Saga. Apa pun akan ia katakan agar semua rencananya tak meleset sedikit punn berjalan tepat pada waktunya. “Kau bilang, kau bisa bergerak bebas, tak akan kepanasan, sangat mudah untuk melepaskannya sebelum kau menggodaku dengan cara yang kau rencanakan dalam kepalamu yang mungil itu.”
“Kau bohong!” Suara Sesil naik satu oktaf. Baiklah, ia memang hilang ingatan., tapi ia tak melupakan dirinya sepertinya apa. Tak mungkin ia semurahan itu, tak mungkin ia sejalang itu. Bahkan demi nyawanya sendiri ia tahu tak akan melakukan hal semacam ini. “Mungkin kau benar, tapi kurasa, aku tak akan keberatan memakai gaun yang membuatku susah bergerak, membuatku kepanasan, dan sangat sulit untuk melepaskan dengan puluhan kancing di hari pernikahanku. Di hari paling berkesan dalam hidupku. Tapi gaun ini,” Sesil menunjuk gaun itu dengan kaku sebelum jemarinya terkepal, “bagiku sebuah kemustahilan.”
Saga mulai kesal. Sekilas ia bisa melihat dengan jelas wanita itu berusaha membangkang di setiap kata-katanya. “Ya, semua ini memang bukan gayamu, Sayang. Tapi, pada akhirnya kau menyerah dan mengikuti apa yang kuinginkan demi diriku. Demi cintamu untukku.”
Jika demi nyawanya saja Sesil tak mungkin melakukan hal seperti itu, bagaimana mungkin ia melakukan semua kebrengsekan ini demi cinta?
“Karena kau mencintaiku melebihi dirimu sendiri.” Saga menjawab pertanyaan yang tak terlontar dari bibir Sesil tapi begitu jelas di sorot mata coklat itu. “Melebihi nyawamu sendiri.”
Sesil ingin berteriak ‘Tak mungkin!!!’ sekeras mungkin di wajah Saga. Namun, keberaniannya menyusut oleh tatapan penuh ancaman yang dilayangkan Saga. Tak terlalu kentara, tapi ia bisa menangkap dalam gestur kaku pria itu di balik ungkapan cinta butanya yang terdengar seperti mimpi buruk.
Secinta buta itukah dia?
“Ya, kau bahkan pernah mengorbankan nyawamu demi menyelamatkanku.” Bahkan Saga merasa jijik dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya meskipun itu hanya sebuah kebohongan.
Kali ini kata-kata Saga membuat Sesil terkejut. Matanya melebar tak percaya saat kepalanya mengulang kalimat Saga baru saja dalam benaknya.
Saga maju satu langkah mendekat. Membawa kedua tangan Sesil dalam genggamannya. Sesaat Sesil meragu, tapi memilih diam saja dan membiarkan Saga melakukan apa pun karena terlalu kalut dengan pikiran wanita itu sendiri.
Saga menangkup wajah Sesil, mendongakkan kepala Sesil agar perhatian wanita itu sepenuhnya beralih pada dirinya seorang. “Kau memang kehilangan ingatanmu, Sesil. Tapi, kurasa semua hal yang kau lakukan padaku, pasti kau memiliki alasan yang kuat untuk itu. Dan kita memiliki banyak waktu untuk mencari tahu kembali.”
Sesil tersentuh. Saga sangat tahu bagaimana cara mengatasi dirinya. Seharusnya itu berarti sesuatu, bukan? Kini Sesil merasa meragukan dirinya sendiri.
“Pakai gaunmu, aku akan menunggumu di bawah. Jika dalam lima menit kau belum muncul, aku akan kembali dan membantumu memakai gaun ini. Dan aku tak bisa menjamin diriku untuk tidak tergoda dan kehilangan kontrol, Sesil.”
Rasa panas menyebar ke seluruh wajah Sesil. Firasatnya mengatakan, bahwa kedua kata itu bukan hal yang bagus untuk Saga. Kepalanya pun mengangguk kecil dengan kaku.
Setelah Saga keluar, Sesil memungut gaun itu. Meyakinkan diri bahwa ini benar-benar yang ia inginkan meskipun hatinya mengingkar. Ternyata, tak cukup sampai di situ. Bahkan lokasi pernikahan mereka pun, masih saja membuat Sesil terkejut dan tak percaya.
“Di mana kita akan menikah?”
“Di pantai.” Saga menyambut Sesil dengan tatapan takjub yang disengaja untuk memuji betapa cantiknya wanita itu. Dan memang benar, kecantikan dan kesempurnaan wanita itu terlihat seperti yang ia harapkan. Begitu anggun, indah, dan sangat pas di setiap sisinya. Lekukan dan tonjolan bagian tubuh yang tepat. Sesaat ia begitu terpana, tapi ia tahu hanya sebatas apa ia harus memuji wanita itu. Bukan Sesil yang akan membawa kendali dalam hubungan yang akan mereka jalani, melainkan dirinya.
Mata Sesil melotot, hampir menjatuhkan bola matanya ke lantai. “Apa kau sudah gila?”
“Semua sesuai dengan rencana yang kau atur, Sesil.” Keterpanaan Saga berhenti seketika. Senyum lenyap dari wajahnya dengan penuturan Sesil yang mulai bernada penolakan.
Bibir Sesil terkatup rapat dan matanya terpejam. Menarik napas, mengembuskannya, dan mengulang hingga tiga kali demi amarah dan rasa sesal yang menggantung berat di dada dan tak bisa ia kendalikan. “Itu rencana yang kau katakan milikku sebelum aku kecelakaan, Saga.”
“Ya.” Saga mengangguk. Menahan desisan di bibirnya yang menipis.
“Seharusnya kau memberitahuku.”
Mata Saga berubah dingin dalam sedetik. Tampak dingin dan hatinya tergelitik untuk memberitahu wanita itu atas kesabaran yang selalu berusaha ia toleransi atas keluhan Sesil. “Jadilah istri yang penurut, Sesil.” Saga menangkup wajah Sesil. Sedikit keras sebagai penekanan bahwa ia tak butuh bantahan, gerutuan, ocehan, atau gangguan-gangguan kecil yang merusak kesenangannya hari ini. “Yakinlah bahwa ini adalah pernikahan yang sempurna untuk kita dan kau tak akan menyesalinya sekalipun ingatanmu kembali nanti. Percaya padaku.”
Sesil sungguh ingin berteriak mengungkapkan kefrustrasiannya. Namun, Saga menarik pinggang dan membawanya menuju mobil yang sudah bersiap di halaman.
Sungguh, bahkan keterdiaman Sesil ternyata masih saja mengusik dan mengombang-ambingkan emosi Saga. Ketika Sesil terlarut dalam keterdiaman dan kekalutan wanita itu hingga tak mendengarkan pertanyaan pendeta saat janji pernikahan mereka diucapkan. Membuat Saga meremas tangan Sesil, menyadarkan wanita itu dari lamunan.
Sesil mengerjap, pendeta dan Saga menatapnya menunggu jawaban keluar dari mulutnya. Setelah menarik napas dalam-dalam tanpa suara, Sesil mengangguk dan berucap, “Aku bersedia.”
Pendeta menyatakan mereka resmi menjadi suami istri.
Saga tersenyum dengan seringai jahat tersamar di bibir. Kini, wanita itu berada dalam genggamannya. Rencana kedua selesai dengan sangat memuaskan. Selanjutnya, tentu saja akan lebih mudah.
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?