Share

Part 2

Sesil merasa tak bisa bernapas dengan benar. Gaun pengantin berwarna putih dan detail biru pucat di bagian bawah rok pendek itu memiliki lubang besar di bagian punggung. Bagaimana mungkin ia mengenakan pakaian sejenis itu? Ia pasti terlalu sibuk untuk menutupi dada atau paha daripada gugup memikirkan setiap detail kata sumpah pernikahan.

Sesil memegang dadanya. Menutup belahan jubah mandi. Punggungnya sudah merinding membayangkan dirinya mengenakan gaun itu. Lalu, dengan jijik ia melemparkan gaun itu kembali ke pinggiran ranjang. Bertepatan pintu terbuka dan menampakkan seorang pria dengan setelan jas putih. Rapi, tampan, dan sangat memesona. Sedetik Sesil terpukau dengan penampilan pria itu, tapi ia segera tersadar bahwa pria itu adalah Saga. Sang calon pengantin pria.

“Apa kau sudah siap?” Saga hanya sekadar basa-basi meskipun tahu jawabannya. Matanya tiba-tiba penuh binar saat sebuah ide muncul di kepala dengan penampilan Sesil yang sama sekali belum mengenakan gaun pengantinnya. “Apa kau butuh bantuan?”

“Ya, aku butuh bantuan.”

“Dengan senang hati.” Saga menyandarkan kedua tangannya di pinggang Sesil dan membungkuk sedikit mendaratkan kecupan singkat di kening.

Dengan sikap was-was, Sesil berusaha untuk tidak menolak kecupan singkat Saga. Hanya kecupan singkat, bukan ciuman dengan lumatan panas dan penuh hasrat seperti kemarin. Ia bisa menoleransi.

“Apa kau butuh bantuan untuk mengenakan gaunmu?” Salah satu tangan Saga merambat naik melewati lengan menuju kerah jubah mandi Sesil.

Sesil menghentikan gerakan tersebut sebelum Saga sempat menyingkap jubahnya. Menahan napas dan berkata, “Aku butuh gaun pengantin yang lain.”

Saga terdiam. Kepalanya bergerak sedikit dan melirik gaun yang menjuntai di pinggiran ranjang sebelum kembali menatap wajah Sesil yang merona. Entah karena gaun itu, sentuhannya, atau karena tatapan penuh hasrat yang sama sekali tak ingin ia tutupi untuk Sesil. “Apa gaunnya kurang cantik?”

Sesil menggeleng. “Gaunnya sangat cantik. Aku menyukainya. Hanya saja ...”

“Hanya saja ...” Saga menelengkan kepala meminta jawaban lebih.

“Gaunnya terlalu terbuka dan ... dan itu sama sekali bukan gayaku.”

Ya, Saga tahu. Amat sangat tahu. Semua baju dalam lemari adalah selera yang berusaha ia paksakan pada wanita itu. Untuk menunjukkan bahwa Sesil adalah miliknya. Merubah wanita itu menjadi seperti yang ia inginkan. “Kita tak punya cukup waktu untuk itu.” Saga menunjukkan arloji berwarna perak di pergelangan tangannya.

Sesil mengambil satu langkah menjauh. Tiba-tiba merasa putus asa dan menyesal. “Apakah aku tidak bisa memilih gaunku sendiri di hari pernikahanku?”

“Well, itu gaun pilihanmu,” dusta Saga. Apa pun akan ia katakan agar semua rencananya tak meleset sedikit punn berjalan tepat pada waktunya. “Kau bilang, kau bisa bergerak bebas, tak akan kepanasan, sangat mudah untuk melepaskannya sebelum kau menggodaku dengan cara yang kau rencanakan dalam kepalamu yang mungil itu.”

“Kau bohong!” Suara Sesil naik satu oktaf. Baiklah, ia memang hilang ingatan., tapi ia tak melupakan dirinya sepertinya apa. Tak mungkin ia semurahan itu, tak mungkin ia sejalang itu. Bahkan demi nyawanya sendiri ia tahu tak akan melakukan hal semacam ini. “Mungkin kau benar, tapi kurasa, aku tak akan keberatan memakai gaun yang membuatku susah bergerak, membuatku kepanasan, dan sangat sulit untuk melepaskan dengan puluhan kancing di hari pernikahanku. Di hari paling berkesan dalam hidupku. Tapi gaun ini,” Sesil menunjuk gaun itu dengan kaku sebelum jemarinya terkepal, “bagiku sebuah kemustahilan.”

Saga mulai kesal. Sekilas ia bisa melihat dengan jelas wanita itu berusaha membangkang di setiap kata-katanya. “Ya, semua ini memang bukan gayamu, Sayang. Tapi, pada akhirnya kau menyerah dan mengikuti apa yang kuinginkan demi diriku. Demi cintamu untukku.”

Jika demi nyawanya saja Sesil tak mungkin melakukan hal seperti itu, bagaimana mungkin ia melakukan semua kebrengsekan ini demi cinta?

“Karena kau mencintaiku melebihi dirimu sendiri.” Saga menjawab pertanyaan yang tak terlontar dari bibir Sesil tapi begitu jelas di sorot mata coklat itu. “Melebihi nyawamu sendiri.”

Sesil ingin berteriak ‘Tak mungkin!!!’ sekeras mungkin di wajah Saga. Namun, keberaniannya menyusut oleh tatapan penuh ancaman yang dilayangkan Saga. Tak terlalu kentara, tapi ia bisa menangkap dalam gestur kaku pria itu di balik ungkapan cinta butanya yang terdengar seperti mimpi buruk.

Secinta buta itukah dia?

“Ya, kau bahkan pernah mengorbankan nyawamu demi menyelamatkanku.” Bahkan Saga merasa jijik dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya meskipun itu hanya sebuah kebohongan.

Kali ini kata-kata Saga membuat Sesil terkejut. Matanya melebar tak percaya saat kepalanya mengulang kalimat Saga baru saja dalam benaknya.

Saga maju satu langkah mendekat. Membawa kedua tangan Sesil dalam genggamannya. Sesaat Sesil meragu, tapi memilih diam saja dan membiarkan Saga melakukan apa pun karena terlalu kalut dengan pikiran wanita itu sendiri.

Saga menangkup wajah Sesil, mendongakkan kepala Sesil agar perhatian wanita itu sepenuhnya beralih pada dirinya seorang. “Kau memang kehilangan ingatanmu, Sesil. Tapi, kurasa semua hal yang kau lakukan padaku, pasti kau memiliki alasan yang kuat untuk itu. Dan kita memiliki banyak waktu untuk mencari tahu kembali.”

Sesil tersentuh. Saga sangat tahu bagaimana cara mengatasi dirinya. Seharusnya itu berarti sesuatu, bukan? Kini Sesil merasa meragukan dirinya sendiri.

“Pakai gaunmu, aku akan menunggumu di bawah. Jika dalam lima menit kau belum muncul, aku akan kembali dan membantumu memakai gaun ini. Dan aku tak bisa menjamin diriku untuk tidak tergoda dan kehilangan kontrol, Sesil.”

Rasa panas menyebar ke seluruh wajah Sesil. Firasatnya mengatakan, bahwa kedua kata itu bukan hal yang bagus untuk Saga. Kepalanya pun mengangguk kecil dengan kaku.

Setelah Saga keluar, Sesil memungut gaun itu. Meyakinkan diri bahwa ini benar-benar yang ia inginkan meskipun hatinya mengingkar. Ternyata, tak cukup sampai di situ. Bahkan lokasi pernikahan mereka pun, masih saja membuat Sesil terkejut dan tak percaya.

“Di mana kita akan menikah?”

“Di pantai.” Saga menyambut Sesil dengan tatapan takjub yang disengaja untuk memuji betapa cantiknya wanita itu. Dan memang benar, kecantikan dan kesempurnaan wanita itu terlihat seperti yang ia harapkan. Begitu anggun, indah, dan sangat pas di setiap sisinya. Lekukan dan tonjolan bagian tubuh yang tepat. Sesaat ia begitu terpana, tapi ia tahu hanya sebatas apa ia harus memuji wanita itu. Bukan Sesil yang akan membawa kendali dalam hubungan yang akan mereka jalani, melainkan dirinya.

Mata Sesil melotot, hampir menjatuhkan bola matanya ke lantai. “Apa kau sudah gila?”

“Semua sesuai dengan rencana yang kau atur, Sesil.” Keterpanaan Saga berhenti seketika. Senyum lenyap dari wajahnya dengan penuturan Sesil yang mulai bernada penolakan.

Bibir Sesil terkatup rapat dan matanya terpejam. Menarik napas, mengembuskannya, dan mengulang hingga tiga kali demi amarah dan rasa sesal yang menggantung berat di dada dan tak bisa ia kendalikan. “Itu rencana yang kau katakan milikku sebelum aku kecelakaan, Saga.”

“Ya.” Saga mengangguk. Menahan desisan di bibirnya yang menipis.

“Seharusnya kau memberitahuku.”

Mata Saga berubah dingin dalam sedetik. Tampak dingin dan hatinya tergelitik untuk memberitahu wanita itu atas kesabaran yang selalu berusaha ia toleransi atas keluhan Sesil. “Jadilah istri yang penurut, Sesil.” Saga menangkup wajah Sesil. Sedikit keras sebagai penekanan bahwa ia tak butuh bantahan, gerutuan, ocehan, atau gangguan-gangguan kecil yang merusak kesenangannya hari ini. “Yakinlah bahwa ini adalah pernikahan yang sempurna untuk kita dan kau tak akan menyesalinya sekalipun ingatanmu kembali nanti. Percaya padaku.”

Sesil sungguh ingin berteriak mengungkapkan kefrustrasiannya. Namun, Saga menarik pinggang dan membawanya menuju mobil yang sudah bersiap di halaman.

Sungguh, bahkan keterdiaman Sesil ternyata masih saja mengusik dan mengombang-ambingkan emosi Saga. Ketika Sesil terlarut dalam keterdiaman dan kekalutan wanita itu hingga tak mendengarkan pertanyaan pendeta saat janji pernikahan mereka diucapkan. Membuat Saga meremas tangan Sesil, menyadarkan wanita itu dari lamunan.

Sesil mengerjap, pendeta dan Saga menatapnya menunggu jawaban keluar dari mulutnya. Setelah menarik napas dalam-dalam tanpa  suara, Sesil mengangguk dan berucap, “Aku bersedia.”

Pendeta menyatakan mereka resmi menjadi suami istri.

Saga tersenyum dengan seringai jahat tersamar di bibir. Kini, wanita itu berada dalam genggamannya. Rencana kedua selesai dengan sangat memuaskan. Selanjutnya, tentu saja akan lebih mudah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status