Eliza menyeret langkahnya memasuki lift dan turun ke lantai satu. Ia baru bangun setelah pukul 10, dan yang pertama ingin dicarinya adalah adiknya.
"Ah, kenapa sakit sekali?" batin Eliza menyentuh perutnya yang terasa perih."Oh, kau sudah bangun. Sepertinya kau cukup kesakitan, apa Erlan menyetubuhimu secara kasar?" Dante datang mendekati Eliza yang duduk di lantai karena tidak mampu untuk berdiri."Aku dengar kau juga masih perawan. Erlan benar-benar beruntung bisa merasakannya dari gadis manis sepertimu," lanjut Dante tersenyum menyeringai menatap Eliza yang kesakitan tanpa niat ingin membantu.Eliza menahan rasa sakitnya, berusaha untuk berdiri. Ia menatap Dante dengan tajam."Kau masih bertanya bajingan itu memperlakukanku baik atau buruk. Padahal sudah jelas, keluarga Rodriguez adalah penjahat bagi para gadis. Dulu Daddy-nya yang merudapaksa kakakku yang masih kecil hingga meninggal, sekarang anaknya yang melakukan padaku, memang keluarga bajingan!" ucap Eliza dengan tatapan tajamnya dan penuh kebencian.Dante menyinggung senyumnya, merasa kagum dengan Eliza yang dalam keadaan yang tidak mendukungnya, gadis itu tetap berani menentangnya."Kau pantas disebut anak Aiden Martinez, sangat pemberani," puji Dante, kemudian pergi meninggalkan Eliza."Hey, di mana adikku!" teriak Eliza, "Aduh," Eliza meringis merasakan sakit pada bagian bawahnya.Merasa kakinya tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya. Eliza perlahan mendudukkan tubuhnya di sofa, menyentuh perutnya dan melihat sekitar, mencari keberadaan adiknya. Namun, ia tidak melihat siapa pun di sana.Ada sebuah foto yang mencuri perhatiannya. Eliza menatap tajam pada bingkai foto berukuran besar, yang mana terdapat foto Erlan dan keluarganya."CK, kenapa keluarga Rodriguez semuanya buruk rupa," hina Eliza.Ia kemudian meraih satu bingkai foto yang ada di rak hias. Lalu membantingnya dengan kuat, hingga tercipta pecahan kaca pada bingkai foto itu."Apa yang kau lakukan!" Suara Erlan menggema di seluruh ruangan.Langkah Erlan terdengar mendekat, Eliza menoleh menatap dingin pada Erlan yang menatapnya tajam."Di mana adikku?" tanya Eliza dengan tatapan dinginnya."Berani sekali kau membanting foto keluargaku! Akan ku bunuh adikmu!" sentak Erlan."Bajingan, kau sudah meniduriku, masih ingin menyakiti adikku! Memang keluarga Rodriguez semuanya bajingan!" sergah Eliza melayangkan pukulannya pada dada Erlan dengan sekuat tenaga.Erlan yang tidak mengira, pukulan Eliza akan kuat, dan malah tidak menghindar membuatnya tersentak merasakan pukulan kuat itu."Lepaskan adikku, kau sudah membunuh keluargaku, masih ingin menggangguku dan adikku! Dasar bajingan!" hardik Eliza kembali melayangkan pukulannya.Erlan yang tidak ingin kembali merasakan sakitnya pukulan itu, menarik tangan Eliza dan menghempaskannya ke dinding, menahan tubuh Eliza hingga gadis itu tidak bisa memberontak.Eliza menatap tajam, tapi tatapan Erlan tidak kalah tajamnya, "Sudah ku bilang, jangan melawanku, atau kau akan melihat adikmu mati di depanmu."Eliza memejamkan matanya. Ancaman itu benar-benar harus membuatnya patuh pada musuhnya."Aku mohon, biarkan aku bertemu Sean. Apakah kamu sudah memberinya makan? Adikku punya asam lambung," ucap Eliza melunak, berusaha untuk bertanya baik-baik berharap mendapat jawaban baik pula.Erlan tersenyum puas, melihat Eliza langsung patuh dengannya. Ia kemudian melepaskan jeratannya, melangkah mundur satu kali, membuat Eliza akhirnya bisa bernafas lega memijat pergelangan tangannya yang memerah.Erlan bersedekap dada, "Bawa dia ke sini!" perintahnya.Saat Erlan berbalik, saat itu juga Eliza meninju-ninju udara ke arah Erlan.Erlan yang sadar hal itu menoleh, tapi saat itu juga Eliza sudah berhenti melakukan kekonyolannya."Lepaskan aku!" seruan Sean menggema di ruangan. Membuat Eliza menoleh mencari sumber suara."Sean!" seru Eliza segera berjalan cukup pelan pada adiknya yang dilempar ke lantai."Kakak," Sean bangkit, segera mendekati Eliza.Mata Sean memerah, cairan bening menggenang di pelupuk matanya melihat leher Eliza terdapat bekas gigitan yang memerah.Sean tentu tau, apa itu. Terlebih cara jalan Eliza pincang membuat Sean marah.Anak remaja itu mengepalkan tangannya, menatap tajam pada Erlan, yang membalasnya dengan seringaian."Erlan Rodriguez, aku pasti akan membunuhmu," batin Sean penuh dendam.Eliza menangkup lembut wajah Sean, agar menatapnya, "Sudah. Kali ini menurut dengan Kakak. Jangan berulah, kakak tidak bisa sepenuhnya melindungimu."Sean mengangguk senyum sama sekali, ia kembali memeluk Eliza. Memikirkan cara, bagaimana ia bisa membawa kakaknya, agar terbebas dari jeratan Erlan."Kamu sudah makan?"Sean menggeleng lemas."Itu bukan salah kami nona, adikmu yang tidak mau makan," ucap Clara cepat.Eliza yang hendak mengeluarkan omelannya pada Erlan, kembali mengatup mulutnya."Kenapa? Kau ingin makan. Kau harus bekerja lebih dulu untuk makan," ucap Erlan tersenyum mengejek.Eliza mendelik, "Kau ternyata miskin. Memberi makan kami saja tidak mampu. Berikan ponselku, biar ku transfer seratus dollar, dan beri kami makan, miskin!" balas Eliza menghina dan melemparkan kembali ledekan Erlan.Rahang Erlan mengeras, bisa-bisanya ia dikatain miskin, padahal ia bergelimang harta.Erlan menghela nafas, "Aku tidak butuh uangmu yang sedikit itu. Bersihkan lapangan yang ada di belakang, baru kau boleh makan."Erlan melangkah hendak pergi. Berlama-lama di dekat Eliza hanya akan membuatnya stress dengan ocehan gadis itu yang selalu menaik-turunkan emosinya."Erlan, aku belum minum pil. Aku tidak sudi hamil anak sialan, dari pria berketurunan buruk rupa seperti keluarga Rodriguez," ucap Eliza mampu membuat Erlan menghentikan langkahnya."Dia benar-benar cari mati. Bisa-bisanya mengatakan keluarga Rodriguez buruk rupa," bisik Evan menggelengkan kepalanya. Juga merasa kagum dengan keberanian Eliza."Ya kau benar, selain dia, rasanya aku tidak pernah melihat Erlan dihina seperti itu, tapi Erlan diam saja," timpal Dante terkekeh.Kedua pria itu bersedekap dada menikmati pemandangan di mana Erlan menoleh."Berikan dia pil. Aku pun tidak sudi dia mengandung anakku," perintah Erlan dinginnya. Ia seolah tidak peduli dengan hinaan Eliza."Baik, Tuan," ucap Clara menunduk hormat, dan segera pergi. Tidak butuh waktu lama Clara telah kembali dengan botol kapsul di tangannya."Aku tidak akan minum pilnya, sebelum makan," tolak Eliza menepis tangan Clara hingga obat-obatan itu jatuh.Erlan menggeram, ia mendekat memungut pil-pil di lantai."Kau ingin minum sendiri, atau kubantu meminum sepuluh pil sekaligus."Ancam Erlan dengan tangannya yang penuh pil disodorkan pada Eliza."Minum saja kak, aku tidak ingin kamu dipaksa pria jelek ini," ucap Sean tanpa ragu bicara begitu santai menghina Erlan.Rahang Erlan mengeras. Ia menatap tajam pada Sean dan hendak menendangnya, tapi Eliza kembali menarik Sean ke belakangnya."Minum!" sentak Erlan mulai kesal dengan sikap Eliza yang selalu menentangnya."Tidak. Berikan aku makan lebih dulu, pecundang!"Erlan menghempaskan pil-pil di tangannya. Andai saja dia tidak ingat, orang di depannya adalah musuhnya dan ia sudah memiliki cara ingin menyiksa Eliza yang juga akan memuaskan hasratnya, sudah pasti ia tidak akan ragu merusak bahkan membunuh gadis itu.Sayangnya, jika ia merusak tubuh bahkan wajah gadis itu, ia yang akan rugi, tidak bisa menikmati tubuh gadis itu lagi.Konyol memang. Tapi, itulah pikirannya yang membuatnya enggan melukai Eliza."CK, kenapa juga aku malah semakin berhasrat, hanya melihat wanita sialan ini. Tunggu saja, jika sudah tidak berguna akan ku buang kau!" Erlan memejamkan matanya lalu melirik Clara."Clara, berikan wanita sialan ini makan, setelah itu pastikan dia meminum pilnya," perintah Erlan.Clara diam, bagaimana bisa tuannya begitu sabar menghadapi Eliza yang sejak tadi menghinanya.Clara memejamkan matanya, "Baik Tuan. Ayo Nona, saya antar ke meja makan."Eliza tersenyum puas, "Ayo Sean kita makan. Kakak juga belum makan," ucap Eliza menarik Sean pergi.Erlan menatap dingin pada punggung adik kakak itu, "Aku mengalah kali ini, bukan berarti aku kalah. Kau wanita sialan, akan segera menerima hukumanku," batinnya menyeringai.Selesai makan Eliza dan Sean kembali dipisahkan. Sean yang dikurung, Eliza dibebaskan. Dibebaskan bergerak dalam artian, dia harus menjadi pelayan. "Akan kubunuh singa itu!" Ancam Eliza saat melihat dua ekor singa dewasa dalam kandang."Kau berani membunuhnya, kau akan melihat adikmu mati dengan cara lebih mengenaskan," ucap Erlan sembari menikmati secangkir kopi dan terus menatap tajam Eliza yang kini memakai pakaian pelayan.Eliza menghentakkan kakinya. Ia kembali mengayunkan tangannya, membersihkan halaman belakang yang terdapat beberapa kandang hewan buas, dan lapangan yang diperuntukkan olahraga bola."Bagaimana aku membersihkan halaman belakangmu yang luas ini? Kau ini bisa memanusiakan orang tidak sih?" sergah Eliza.Erlan terkekeh, meneguk kopi hitam miliknya dengan nikmatnya."Aku bisa memanusiakan orang. Tapi, tidak dengan anak keturunan keluarga Martinez," jawab Erlan dengan santainya.Eliza menghela nafas, ia kemudian mendekati Erlan, dengan santainya duduk di kursi berh
Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun."Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.Erlan menyeringai, lalu bertepuk tanga
Eliza mengusap lembut rambut adiknya yang kini wajahnya terbakar akibat cairan alkohol.Air mata wanita itu jatuh berlinang, merasakan sakit luar biasa melihat adiknya seperti sekarang ini."Sean, kenapa kamu terus memberontak sih. Sekarang Daddy sudah tidak ada, melindungi kita," ucap Eliza terisak-isak kecil."Tolong, jangan buat pengorbanan kakak sia-sia," lanjut Eliza mencium kening Sean yang bagian terbakar. Ia sama sekali tidak merasa jijik dengan luka adiknya itu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tanpa ada ketukan sama sekali. Membuat Eliza menoleh dengan perasaan kesal. Terlihat di sana ada Evan yang menatapnya tajam."Apa kau tidak punya sopan santun! Kenapa di tempat ini, semua orang tidak punya sopan santun dan rasa peduli sama sekali. Kalian semua bajingan!" ucap Eliza kesal.Evan bersedekap dada, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Eliza."Nona Martinez, Tuan kami memanggilmu," ucap Evan."Mau apa lagi dia?" sentak Eliza kesal, namun tetap bangkit untuk mengikuti
Di meja makan, tanpa peduli ocehan Clara yang mengusir Eliza, yang tengah makan dan menyuapi adiknya dengan sarapan yang disiapkan untuk Tuan mereka."Nona Martinez, kau di sini hanya pelayan yang jauh lebih rendah dari pelayan. Jadi, menyingkir dari kursi Tuan kami!" ucap Clara dengan tegas dan tajam."Pria jelek itu adalah Tuan kalian, bukan Tuan-ku. Aku tidak takut dengannya, terlebih dia sudah melukai adikku. Lagipula apa yang ku makan ini, tidak seberapa dari harta keluargaku yang dia curi," ucap Eliza begitu santai menikmati makannya.Clara menggeram, tidak terima Tuan-nya dihina. Ia menatap tajam Eliza dan mulai menekan setiap katanya memperingati wanita itu. "Eliza Martinez. Harusnya kau ingat, kau berada di mana!" Eliza diam, perlahan menatap tajam pada Clara. Saat melihat Clara, ia juga melihat Erlan dan Evan yang berjalan ke arah mereka."Sejak orang tuaku mati di tangannya, sejak saat itu aku tidak takut mati. Aku sudah mempersiapkan diri, menghadapi hari ini, jauh dari h
Erlan menumpu wajahnya dengan telapak tangannya.Wajah Eliza terus terbayang dalam benaknya. Dan itu semuanya semakin membuatnya takut. Takut akan jatuh dalam pesona Eliza, dan dijebak oleh gadis itu."Jangan sampai kau terjebak dalam pesonanya. Bisa saja dia memiliki niat menjatuhkanmu nanti. Dilihat-lihat dia sangat pandai bersandiwara. Pikirannya tidak mudah ditebak," ucap Dante beberapa menit lalu memperingatinya."Aku juga merasa seperti itu. Tadi aku mengatakan, dia sengaja melakukan itu agar kau menyukainya. Bukannya mengelak dia malah mengiyakan, tapi wajahnya malah kayak ngeledek, orang seperti itu, sulit kita tebak, apa yang akan dilakukannya. Orang sepertinya sangat mengerikan," timpal Evan membuat Erlan semakin pusing mengingat hal itu."Ah, shit!" Erlan mengacak rambutnya frustasi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Erlan, "Masuk!" seru Erlan dengan intonasi suaranya yang tegas.Seorang wanita dengan pakaian atas berwarna putih ketat dan tipis dengan dua kancing atasny
Kedatangan Erlan membuat suasana di tempat itu semakin mencekam. Aura kemarahan luar biasa membuat semua orang terdiam, menunduk, dan gemetar. Tapi, pancaran kemarahan Erlan tidak membuat Sean takut. Pria kecil itu tidak memindahkan ujung pistolnya sama sekali.Erlan mengeraskan rahangnya, ia memasukkan peluru pada pistolnya, dengan cepat mengarahkan pada Eliza."Apa kau ingin kakakmu mati?" ucapnya dengan dingin.Sean sama sekali tidak gentar, "Aku memang berencana membawa kakak dalam kematian. Lebih baik kami mati, mengakhiri keturunan keluarga Martinez daripada harus hidup menderita akibat penyiksaanmu Erlan Rodriguez!"Sean kemudian menyeringai, tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya. "Tapi, sebelum aku mati, tentu aku ingin membuatmu merasakan kehilangan lebih dulu.""Bajingan!" hardik Erlan mencengkram kuat leher Eliza."Akan ku bunuh kakakmu!" Eliza diam, dadanya membusung, kesulitan bernafas. Sean segera bertindak. "Kakak maafkan aku, semoga di kehidupan selanjutnya kit
"Di mana adikku Erlan!" sergah Eliza yang berada di tangga, menatap tajam Erlan yang baru pulang setelah seharian pergi, setelah kejadian Talon dan Sean meninggal.Erlan yang baru pulang dengan wajah kusut, lelah, menatap dingin Eliza. Kondisi Erlan dan Eliza tidak jauh beda. Kantung mata yang besar dan wajah yang sembab. Keduanya sama-sama merasa kehilangan. Tapi, terlihat kondisi Erlan jauh lebih parah. Pakaian yang tidak diganti, bau amis darah yang menyeruak, tapi terlihat pria itu baik-baik saja. Serta seluruh pakaiannya terlihat setengah basah."Jangan menampakkan wajahmu seolah kaulah korban! Kau yang mulai ini semua! Adikku masih kecil, kau menyiksanya tentu dia melawan. Sekarang, di mana jasad adikku, Erlan Rodriguez!" teriak Eliza menciptakan gema suara dalam ruangan."Berhenti, berteriak di tempatku, sialan!" balas Erlan dengan suara menggelegar, menciptakan pantulan suara setiap ruangan.Eliza terdiam beberapa saat, bukan takut, tapi ia benar-benar melihat perasaan Erla
Tepat dua jam tidak sadarnya Eliza. Gadis itu kini menggeliat, saat ia menarik tubuhnya ia merasakan dirinya terikat.Eliza sontak membulatkan matanya, "Apa ini." Eliza mencoba memberontak menarik-narik tangannya."Akh, Erlan! Di mana kau!" teriak Eliza menatap sekitar, melihat beberapa benda tajam, senjata dan cambuk di sebuah meja. Tapi, itu tidak membuat Eliza gentar. Eliza terus memanggil nama Erlan."Erlan, dasar bajingan. Kau licik, dengan perempuan kau berbuat curang. Kau tidak mampu melawanku, makanya menyuntikkan sesuatu, hingga membuatku tidak sadar. Dasar lemah! Lemah!" teriak Eliza. Setelah mengatakan itu, tidak lama Erlan datang dengan tatapan dinginnya."Lepaskan aku!" bentak Eliza memberontak kecil.Erlan menyeringai, "Akhirnya kau sadar juga," ucapnya kemudian melangkah mendekat."CK, setelah menggunakan cara licik, kau bangga begitu? Caramu tadi, menjelaskan kamu tidak mampu menghadapiku!" sergah Eliza menatap tajam."Oh ya? Padahal aku melakukannya, karena malas me