Home / Romansa / Tawanan Tuan Mafia / 4. Nuansa Baru

Share

4. Nuansa Baru

Author: Noona R
last update Last Updated: 2022-10-24 18:21:21

Bella tidak mengerti kemana dia akan dibawa pergi. Stevano hanya diam saat melajukan mobil, tidak bersuara barang sedikit saja untuk memecah keheningan yang melanda.  

Dan Bella tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada pria itu.

"Kita akan ke mana?" tanya Bella. Matanya melirik sekilas pada pria itu.

"Kau akan tahu nanti," balas pria itu singkat. Matanya lurus menatap jalanan kota Los Angeles yang mulai padat di malam hari.

Sekitar satu jam berlalu, mobil yang mereka tumpangi melambat, kemudian berhenti tepat pada mansion besar yang berdiri di depan mata.

Gelap.

Itu adalah kalimat pertama yang Bella ucapkan dalam hati. Meski terlihat megah dari luar, mansion itu mempunyai aura hitam tersendiri. Seperti pria di sampingnya itu.

Stevano menatap Bella yang tidak bergerak dan malah tercenung oleh bangunan besar yang merupakan mansionnya.

"Turun," ucap pria itu.

Dan Bella turun mengikuti Stevano. Ia mengekor pada pria itu seperti anak kucing pada induknya.

Pria itu membuka pelan pintu yang menjadi pembatas antara luar dan dalam. Bella yang sedari tadi berada di belakang Stevano terkesiap. Tidak sesuai dugaan Bella. Dalam mansion tersebut berisi benda-benda mahal dan cantik. Sangat kontras dengan pemandangan mansion ini dari luar. Mungkin inilah yang disebut dengan, jangan menilai buku dari sampulnya. Tapi ini benar-benar luar biasa, bahkan Bella rasa ini bukan hanya sekedar mansion biasa. Namun istana.

"Indah sekali," Bella berucap tanpa sadar. Matanya mengedar, memandang isi dalam mansion itu dengan tatapan kagum.

Sementara Stevano hanya melirik gadis itu sekilas. Membiarkan Bella mengamati isi mansionnya untuk saat ini.

"Yo, Stev!"

Tiba-tiba seorang pria berambut jabrik muncul dari arah dapur. Menyapa Stevano dengan pukulan rendah. Salah satu tangan pria itu memegang segelas wine yang tinggal setengah isinya.

Stevano tidak menjawab, dia hanya menatap malas pada pria jabrik di depannya.

"Woah, mainan barumu?" Pria berambut jabrik itu menatap Bella yang berdiri di belakang Stevano dengan tatapan penuh arti.

Sementara wanita itu hanya bisa mengigit bibir bawahnya pelan.

Apa maksud dari pria jabrik ini? Kenapa dia merasakan itu bukan suatu hal yang baik?

"Kau sudah selesai?" tanya Stevano pada pria itu. Tidak menjawab pertanyaan yang pria jabrik itu lontarkan.

"Tentu saja," balas pria itu.

Bella tidak mengerti apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Jadi, yang Bella lakukan saat ini hanyalah menjadi pendengar yang baik tanpa tahu jalan ceritanya.

"Bagus," ucap Stevano. Wajahnya terlihat puas.

Tiba-tiba saja, pria jabrik itu telah berada di samping Bella dalam hitungan detik. Membuat Bella terkesiap dengan kecepatan pria itu.

"Hai. Perkenalkan, aku Lucy. Teman dari Stev si pria datar itu. Siapa namamu, Nona Manis?" tanya pria jabrik itu yang mengenalkan dirinya sebagai Lucy.

"Aku ... Bella," balas Bella pelan.

"Bella, nama yang cantik, seperti orangnya."

Bella tidak menanggapi Lucy dengan serius. Karena semua pria di dunia ini menurutnya sama saja. Suka menggoda para gadis demi tujuan tertentu.

"Di mana kau bertemu dengan Stev?" tanya Lucy.

Dan Bella tidak menjawab pertanyaan pria berambut jabrik itu kala Stevano memberinya isyarat untuk mengikuti.

Bella membuang napas pelan. Sebelum mengikuti Stevano naik ke lantai atas yang terhubung dengan tangga memutar.

Di lantai atas terdapat dua kamar. Di mana kamar yang satunya menjadi kamar milik pria tersebut.

"Itu kamarmu," ucap Stevano memberi tahu. Menunjuk salah satu kamar yang ada dengan dagunya. Dan Bella berterima kasih pada pria itu. Ternyata Stevano tidak semengerikan yang ia bayangkan.

"Terima kasih banyak, Tuan." Bella menundukkan sedikit badannya.

Sementara pria itu menatap Bella dengan alis yang mengkerut heran. "Kau panggil aku apa?" suaranya seperti biasa, dingin dan datar.

Bella mendongak pada pria di hadapannya. "Tuan, kenapa?" tanya Bella yang terlihat bingung.

Stevano mendengus keras. Menatap Bella dengan intens. "Panggil aku Stev, kau tidak tuli saat Lucy memanggil namaku tadi."

Bella menghela napas pelan. Baru saja dia memuji pria itu. Kini dia sudah dihempas pada kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Stevano yang kejam.

"Baik, Tuan Stev." 

.

.

.

Bella memasuki kamar yang telah disediakan untuknya. Dia terkesiap melihat isi kamar yang akan menjadi tempatnya melepas lelah. Kamar ini begitu luas, dan juga cantik. Sangat jauh berbeda dengan miliknya yang bahkan luasnya saja tidak ada setengah dari kamar ini.

Kenapa pria itu sangat baik hati? Membiarkan Bella tidur di ranjang besar dengan kasur berukuran king size yang empuk. Bella yakin, tidurnya malam ini akan menjadi tidur ternyenyak di sepanjang hidupnya.

Di kamar ini terdapat kamar mandi pribadi. Dan juga sofa besar berwarna merah yang berada di samping ranjang.

Bella tersenyum dalam hati. Meskipun pria itu dingin dan terkesan kejam. Tetapi Bella tidak dapat menampik kenyataan jika pria itu begitu tampan, dan juga baik hati, mungkin?

Bella tidak lagi berpikir kemana-mana setelah dirinya hanyut dalam kehangatan di atas ranjang barunya.

Oh, bahkan selimutnya benar-benar halus.

Dan tanpa Bella sadari, matanya telah tertutup untuk mengakhiri aktivitas hari ini. Pikirannya terbang melayang di dalam mimpi yang indah. 

.

.

.

Bella terkesiap, saat dia membuka mata. Yang dia lihat pertama kali adalah sosok Stevano yang duduk di sofa dengan pandangan yang lurus menatapnya tanpa berkedip.

Wanita itu lantas berdeham sebentar. Membuang rasa malu ketika Stevano tak segera mengalihkan pandangan darinya.

"Selamat pagi Tuan ... Stev," sapa Bella tergagap. Dia tidak dapat berkutik dengan tatapan tajam yang pria itu berikan.

"Hn," balas Stevano. Matanya masih menatap lurus pada Bella yang juga tengah menatapnya.

Kedua manik mereka bertemu, untuk waktu yang sedikit lama.

Bella meneguk ludahnya tanpa sadar, sedikit terpesona oleh wajah rupawan yang terpahat dengan sempurna pada diri pria itu.

"Mengapa Tuan ada di sini?"

"Stev." Pria itu berucap cepat. Dan Bella langsung sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan.

"Mengapa kau ada di sini, Stev?" Kini Bella membuang rasa formalnya seperti yang pria itu inginkan. Dia yakin juga umur Stevano tidak jauh dari umurnya. Dua tahun di atasnya, mungkin?

Sementara Stevano masih saja menatap Bella dengan datar. Satu alisnya terangkat naik, memberi Bella balasan sarkas.

"Ini rumahku. Aku bebas berada di manapun, termasuk di atas ranjang yang saat ini kau gunakan." Pria itu menyeringai saat wajah Bella terlihat mulai memerah. Entah apa yang sedang wanita itu pikirkan.

Bella menggeleng cepat. Membuang pikiran lain yang tiba-tiba saja mampir pada kepalanya.

Dan kemudian ia bernapas lega. Saat mendapati Stevano berdiri dan berjalan menjauh darinya, mendekati pintu.

"Turun. Dan jangan biasakan bangun siang. Kau gadis kecil yang bodoh," ucap Stevano yang terdengar seperti perintah.

Membuat Stev merasa dia baru saja mendisiplinkan anak kecil yang baru bisa berjalan.

Dan Bella memandang kepergian pria itu dengan dengkusan kesal. Ia benar-benar akan menarik kata-katanya yang menyebut jika Stevano adalah pria baik.

Dia adalah pria terburuk yang pernah Bella temui.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Tuan Mafia   77. Bisikan Samar

    "Apa dia berpikir hidupnya begitu damai?" gumam Stev pelan sembari mendudukkan diri di samping wanita yang kini sedang tertidur pulas itu. Pakaian Bella sudah diganti dengan piyama berwarna biru tua. Dan Stev tidak lagi mencium bau alkohol yang menguar dari tubuh wanita tersebut. "Tidak ... Tidak."Pria tampan yang ada di dalam kamar tersebut mengernyitkan dahinya kala telinganya mendengar suara Bella yang bergumam lirih. Ia pikir wanita itu sudah membuka matanya. Namun ternyata tidak, Bella masih saja tertidur di atas ranjang besar miliknya. Dan Stev langsung bisa menebak jika wanita itu mungkin sedang bermimpi buruk."Ada apa dengannya?" Ia dapat melihat jika dahi wanita itu banyak mengeluarkan keringat. Seperti baru saja mengikuti lomba lari. Keringat Bella semakin lama semakin deras dengan mulut yang terus mengeluarkan gumaman yang tidak Stev mengerti. Tidak begitu jelas terdengar sehingga Stev hanya bisa menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bella."Stev memanggil nama wan

  • Tawanan Tuan Mafia   76. Mabuk

    "Jangan berikan," ucap Stev dengan tajam. Dan bartender itu mengangguk sembari meletakkan botol yang sebelumnya ingin ia tuangkan pada gelas Bella. "Hey! Kenapa kau tidak memberiku minum?!" Bella sedikit meninggikan nada suaranya. "Minuman kami telah habis, Nona." Bella mendecih pelan mendengar perkataan bartender itu."Bohong! Lantas botol yang berjejer-jejer itu apa?!"Stev memutar kedua bola matanya dengan bosan saat melihat kesadaran Bella sudah berada di ambang batas."Kita pulang," ucap Stev. Pria itu segera berdiri dari tempat duduknya setelah membayar semua total minuman.Pria itu lantas mendekat pada Bella dan berniat untuk membawa wanita itu pulang. Namun tangannya yang terulur seketika ditepis dengan kasar oleh tangan Bella yang mungil. Sontak saja penolakan yang wanita itu berikan membuat Stev mendengus sebal. "Aku tidak ingin pulang! Kau pulang saja sana sendiri!" ucap Bella setengah berteriak. Membuat beberapa orang yang ada di sana menoleh pada mereka berdua. "Ck

  • Tawanan Tuan Mafia   75. Segelas Captain Morgan

    Stev terdiam beberapa saat setelah Bella berucap. Perkataan wanita itu tepat sekali menusuk dalam hati pria itu. "Apa kau bilang? Kecewa?" ulang Stev sekali lagi. Dan Bella hanya bisa mengangguk sebagai balasan. Wanita itu terus menatap wajah Stev yang berada di dekatnya. "Aku tidak tahu. Tapi, bukankah hal itu bisa saja terjadi?" tanya Bella. Wanita itu terus mengeluarkan perkataan yang membuat Stev tidak dapat berkata apa-apa. Meski Stev adalah orang yang dingin dan terkesan cuek dengan keadaan sekitar. Namun pria itu tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang baru saja Bella katakan. Ucapan wanita itu ada benarnya juga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika suatu hari nanti ia bertemu dengan Liana dan dia tahu jika dirinya adalah seorang mafia. Apakah wanita itu tetap masih mau untuk menerimanya? Stev tidak dapat membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Ia tidak akan pernah bisa jika wanita yang sudah sekian lama ia nanti-nantikan pada akhirnya akan pergi meni

  • Tawanan Tuan Mafia   74. Kekasih Masalalu

    "Aku pernah memiliki seorang teman di sana juga. Seorang kekasih masa kecil lebih tepatnya," ucap Stev. Mata pria itu masih saja fokus menatap jalanan yang ada di depannya. Namun tatapannya terlihat kosong. "Benarkah? Siapa namanya?" tanya Bella. Wanita itu mematikan ponsel yang ada di tangannya dan mengarahkan pandangannya hanya pada Stev."Liana," balas Stev dengan singkat. "Liana?" ulang Bella sekali lagi. Dan Stev hanya mengangguk pelan sebagai bentuk jawaban."Ya. Kau mengenalnya?" tanya Stev. Pria itu terdengar seperti sangat berharap saat ia bertanya pada Bella. Namun yang dikatakan wanita di sebelahnya itu seketika memupus harapan besar Stev. "Tidak. Aku tidak mengenal nama itu," balas Bella. Wanita itu kembali mengarahkan pandangannya pada jalanan yang dilalui mobil Stev."Sudah kuduga kau tidak akan tahu siapa dia," ucap Stev sembari mendengus pelan. "Apa dia begitu penting bagimu?" tanya Bella, dan Stev mendecih pelan setelahnya. "Dia begitu penting bagiku. Aku sang

  • Tawanan Tuan Mafia   73. Kenangan Buruk

    "Kau bisa menggunakan pedang?" "Tidak," balas Bella dengan senyum lebarnya. Membuat Stev yang melihat wanita itu hanya mendengus pelan. "Kupikir kau bisa menggunakannya," ucap Stev lagi. Pria itu kembali memasukkan semua pistolnya pada loker dan mengunci tempat tersebut. Bella terkekeh pelan. "Aku suka sekali saat melihat film yang orang-orangnya menggunakan pedang. Jadi, kupikir aku akan terlihat keren jika bisa menggunakan pedang," balas Bella sembari membayangkan dirinya dapat melayangkan pedang pada orang-orang jahat yang mengganggunya seperti film-film yang bertemakan kerjaan. Sementara Stev hanya mendecih pelan saat mendengarnya."Simpan kata kerenmu itu. Kau tidak begitu cocok menggunakan pedang. Mengangkat pedang saja entah kuat entah tidak." Bella memutar kedua bola matanya bosan saat ia mendengar ucapan bernada ejekan dari Stev. Pria itu suka sekali meremehkannya. "Jangan mengejekku!" balas Bella dengan sebal. Wanita itu membuang mukanya dari Stev dan berjalan keluar

  • Tawanan Tuan Mafia   72. Tidak Ingin Terulang Kembali

    Pekerjaannya saat itu hanyalah seorang pelukis jalanan. Dia tidak kaya, dan Jack mengakuinya. Dirinya hidup dengan mengandalkan uang dari hasil menjadi pelukis jalanan dan kerja sampingan di sebuah toko kecil. Jennie tidak merasa risih dengan keadaannya. Wanita itu malah mengajak dirinya untuk mengobrol dan mengajukan diri untuk di lukis oleh dirinya. Sepanjang waktu wanita itu habiskan untuk terus berbicara dengan Jack. Dan tidak ada yang bisa Jack lakukan saat itu selain hanya tertawa sembari membalas ucapan Jennie dengan kalimat seadanya.Setelah Jack selesai melukis wanita itu. Jennie benar-benar kagum dengan hasil yang dibuat pria itu. Satu kata dari Jennie untuk hasil lukisan Jack.Mengagumkan. Wanita itu benar-benar kagum dengan lukisan Jack. Ia pun mengusulkan Jack agar pria itu membangun sebuah galeri untuk menampung semua hasil lukisannya. Namun yang dilakukan Jack saat itu hanyalah menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Ia tidak akan bisa membangun galeri seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status