Bella tidak mengerti kemana dia akan dibawa pergi. Stevano hanya diam saat melajukan mobil, tidak bersuara barang sedikit saja untuk memecah keheningan yang melanda.
Dan Bella tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada pria itu.
"Kita akan ke mana?" tanya Bella. Matanya melirik sekilas pada pria itu.
"Kau akan tahu nanti," balas pria itu singkat. Matanya lurus menatap jalanan kota Los Angeles yang mulai padat di malam hari.
Sekitar satu jam berlalu, mobil yang mereka tumpangi melambat, kemudian berhenti tepat pada mansion besar yang berdiri di depan mata.
Gelap.
Itu adalah kalimat pertama yang Bella ucapkan dalam hati. Meski terlihat megah dari luar, mansion itu mempunyai aura hitam tersendiri. Seperti pria di sampingnya itu.
Stevano menatap Bella yang tidak bergerak dan malah tercenung oleh bangunan besar yang merupakan mansionnya.
"Turun," ucap pria itu.
Dan Bella turun mengikuti Stevano. Ia mengekor pada pria itu seperti anak kucing pada induknya.
Pria itu membuka pelan pintu yang menjadi pembatas antara luar dan dalam. Bella yang sedari tadi berada di belakang Stevano terkesiap. Tidak sesuai dugaan Bella. Dalam mansion tersebut berisi benda-benda mahal dan cantik. Sangat kontras dengan pemandangan mansion ini dari luar. Mungkin inilah yang disebut dengan, jangan menilai buku dari sampulnya. Tapi ini benar-benar luar biasa, bahkan Bella rasa ini bukan hanya sekedar mansion biasa. Namun istana.
"Indah sekali," Bella berucap tanpa sadar. Matanya mengedar, memandang isi dalam mansion itu dengan tatapan kagum.
Sementara Stevano hanya melirik gadis itu sekilas. Membiarkan Bella mengamati isi mansionnya untuk saat ini.
"Yo, Stev!"
Tiba-tiba seorang pria berambut jabrik muncul dari arah dapur. Menyapa Stevano dengan pukulan rendah. Salah satu tangan pria itu memegang segelas wine yang tinggal setengah isinya.
Stevano tidak menjawab, dia hanya menatap malas pada pria jabrik di depannya.
"Woah, mainan barumu?" Pria berambut jabrik itu menatap Bella yang berdiri di belakang Stevano dengan tatapan penuh arti.
Sementara wanita itu hanya bisa mengigit bibir bawahnya pelan.
Apa maksud dari pria jabrik ini? Kenapa dia merasakan itu bukan suatu hal yang baik?
"Kau sudah selesai?" tanya Stevano pada pria itu. Tidak menjawab pertanyaan yang pria jabrik itu lontarkan.
"Tentu saja," balas pria itu.
Bella tidak mengerti apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Jadi, yang Bella lakukan saat ini hanyalah menjadi pendengar yang baik tanpa tahu jalan ceritanya.
"Bagus," ucap Stevano. Wajahnya terlihat puas.
Tiba-tiba saja, pria jabrik itu telah berada di samping Bella dalam hitungan detik. Membuat Bella terkesiap dengan kecepatan pria itu.
"Hai. Perkenalkan, aku Lucy. Teman dari Stev si pria datar itu. Siapa namamu, Nona Manis?" tanya pria jabrik itu yang mengenalkan dirinya sebagai Lucy.
"Aku ... Bella," balas Bella pelan.
"Bella, nama yang cantik, seperti orangnya."
Bella tidak menanggapi Lucy dengan serius. Karena semua pria di dunia ini menurutnya sama saja. Suka menggoda para gadis demi tujuan tertentu.
"Di mana kau bertemu dengan Stev?" tanya Lucy.
Dan Bella tidak menjawab pertanyaan pria berambut jabrik itu kala Stevano memberinya isyarat untuk mengikuti.
Bella membuang napas pelan. Sebelum mengikuti Stevano naik ke lantai atas yang terhubung dengan tangga memutar.
Di lantai atas terdapat dua kamar. Di mana kamar yang satunya menjadi kamar milik pria tersebut.
"Itu kamarmu," ucap Stevano memberi tahu. Menunjuk salah satu kamar yang ada dengan dagunya. Dan Bella berterima kasih pada pria itu. Ternyata Stevano tidak semengerikan yang ia bayangkan.
"Terima kasih banyak, Tuan." Bella menundukkan sedikit badannya.
Sementara pria itu menatap Bella dengan alis yang mengkerut heran. "Kau panggil aku apa?" suaranya seperti biasa, dingin dan datar.
Bella mendongak pada pria di hadapannya. "Tuan, kenapa?" tanya Bella yang terlihat bingung.
Stevano mendengus keras. Menatap Bella dengan intens. "Panggil aku Stev, kau tidak tuli saat Lucy memanggil namaku tadi."
Bella menghela napas pelan. Baru saja dia memuji pria itu. Kini dia sudah dihempas pada kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Stevano yang kejam.
"Baik, Tuan Stev."
. . .Bella memasuki kamar yang telah disediakan untuknya. Dia terkesiap melihat isi kamar yang akan menjadi tempatnya melepas lelah. Kamar ini begitu luas, dan juga cantik. Sangat jauh berbeda dengan miliknya yang bahkan luasnya saja tidak ada setengah dari kamar ini.
Kenapa pria itu sangat baik hati? Membiarkan Bella tidur di ranjang besar dengan kasur berukuran king size yang empuk. Bella yakin, tidurnya malam ini akan menjadi tidur ternyenyak di sepanjang hidupnya.
Di kamar ini terdapat kamar mandi pribadi. Dan juga sofa besar berwarna merah yang berada di samping ranjang.
Bella tersenyum dalam hati. Meskipun pria itu dingin dan terkesan kejam. Tetapi Bella tidak dapat menampik kenyataan jika pria itu begitu tampan, dan juga baik hati, mungkin?
Bella tidak lagi berpikir kemana-mana setelah dirinya hanyut dalam kehangatan di atas ranjang barunya.
Oh, bahkan selimutnya benar-benar halus.
Dan tanpa Bella sadari, matanya telah tertutup untuk mengakhiri aktivitas hari ini. Pikirannya terbang melayang di dalam mimpi yang indah.
. . .Bella terkesiap, saat dia membuka mata. Yang dia lihat pertama kali adalah sosok Stevano yang duduk di sofa dengan pandangan yang lurus menatapnya tanpa berkedip.
Wanita itu lantas berdeham sebentar. Membuang rasa malu ketika Stevano tak segera mengalihkan pandangan darinya.
"Selamat pagi Tuan ... Stev," sapa Bella tergagap. Dia tidak dapat berkutik dengan tatapan tajam yang pria itu berikan.
"Hn," balas Stevano. Matanya masih menatap lurus pada Bella yang juga tengah menatapnya.
Kedua manik mereka bertemu, untuk waktu yang sedikit lama.
Bella meneguk ludahnya tanpa sadar, sedikit terpesona oleh wajah rupawan yang terpahat dengan sempurna pada diri pria itu.
"Mengapa Tuan ada di sini?"
"Stev." Pria itu berucap cepat. Dan Bella langsung sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
"Mengapa kau ada di sini, Stev?" Kini Bella membuang rasa formalnya seperti yang pria itu inginkan. Dia yakin juga umur Stevano tidak jauh dari umurnya. Dua tahun di atasnya, mungkin?
Sementara Stevano masih saja menatap Bella dengan datar. Satu alisnya terangkat naik, memberi Bella balasan sarkas.
"Ini rumahku. Aku bebas berada di manapun, termasuk di atas ranjang yang saat ini kau gunakan." Pria itu menyeringai saat wajah Bella terlihat mulai memerah. Entah apa yang sedang wanita itu pikirkan.
Bella menggeleng cepat. Membuang pikiran lain yang tiba-tiba saja mampir pada kepalanya.
Dan kemudian ia bernapas lega. Saat mendapati Stevano berdiri dan berjalan menjauh darinya, mendekati pintu.
"Turun. Dan jangan biasakan bangun siang. Kau gadis kecil yang bodoh," ucap Stevano yang terdengar seperti perintah.
Membuat Stev merasa dia baru saja mendisiplinkan anak kecil yang baru bisa berjalan.
Dan Bella memandang kepergian pria itu dengan dengkusan kesal. Ia benar-benar akan menarik kata-katanya yang menyebut jika Stevano adalah pria baik.
Dia adalah pria terburuk yang pernah Bella temui.
Bella dengan cepat menjauhkan dirinya dari Stev. Wanita itu memandang pria itu dengan waspada. Kalau-kalau pria ini berani berbuat macam-macam padanya. "Apa-apaan kau," ucap Bella dengan sebal. Wanita itu mengambil gelas yang tadi di hidangkan oleh salah satu pelayan di sini."Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Stev. Membuat Bella yang sedang minum itu menatap Stev dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanya wanita itu. Dan Stev hanya mendesah pelan. Ia terlalu malas untuk mengulang perkataannya. Namun kali ini sepertinya ia harus kembali mengatakannya pada Bella. Pikiran wanita itu berjalan seperti siput, lambat sekali. "Kau tidak ingin bertanya mengapa aku membawamu kemari?" tanya Stev. Dan Bella yang menyadari jika Stev tadi juga berkata seperti itu hanya mendesah pelan. "Apakah aku harus bertanya seperti itu?" Wanita itu tidak membalas ucapan Stev dan malah balik bertanya.Stev tidak percaya jika Bella akan berkata seperti itu. Padahal wanita itu selalu ingin ikut campur urusan
..."Wow! Ini menakjubkan, kurasa mansion ini lebih indah dari yang saat ini kau tinggali Stev," ucap Bella. Wanita itu menatap bangunan besar yang ada di hadapannya. Di setiap sisi mansion itu terlihat beberapa pohon besar tumbuh dengan taman di depan mansion tersebut, terlihat rindang dan menyejukkan mata.Tampak lebih hidup daripada mansion yang juga digunakan sebagai tempat tinggalnya. "Kau suka?" tanya pria itu masih dengan wajah datarnya yang membuat Bella mendengus pelan. "Tentu saja aku suka. Siapa yang tidak akan suka tinggal di tempat cantik seperti ini? Ini seperti sebuah cerita dalam novel. Hanya saja ini nyata dan bukan fiksi," balas Bella. "Kalau begitu ayo masuk," ucap Stev sembari berjalan. Membiarkan Bella mengikutinya dari belakang. "Apa di sini ada orang?" tanya Bella pada pria yang berjalan di sebelahnya itu. Akhirnya Bella berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Stev. "Ada." Pria itu membalas singkat. "Apa mereka keluargamu?" tanya Bella lagi. Dan pria it
Stev mendesah pelan saat pria itu melihat Bella masih terbaring di atas ranjang dengan nyamannya. Tanpa tahu jika dirinya sudah memandang penuh ke arah wanita itu lebih dari sepuluh menit. Ia melihat jam yang ada pada pergelangan tangan besarnya. Padahal waktu yang tertera masih setengah lima pagi, dan Stev sudah siap dengan pakaiannya yang rapi. Ia melesak masuk ke dalam kamar Bella tanpa permisi, dan dengan gerakan cepat tangannya menyingkap selimut yang Bella kenakan hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. "Bangun," ucap Stev pada wanita itu. Dan bukannya bangun, Bella malah berbalik memunggungi Stev dengan tangan yang terus menggapai-gapai di mana selimutnya berada. "Bangun atau aku akan memakanmu saat ini juga," ucap Stev sekali lagi. Dan anehnya, Bella langsung membuka kedua matanya. Gadis itu seperti mendengar suara Stev di kamarnya. Bella berpikir jika itu pasti mimpi. Dia tidak mempedulikan hal ini dan kembali menutup mata, tubuhnya begitu lelah karena ia tidur te
"Lucy akan kembali besok. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Menggunakan helikopter," balas Stev. Membiarkan Bella membulatkan bibirnya tak percaya. "Apa? Jangan bilang kau belum pernah naik helikopter," ucap Stev yang ternyata tepat. Gadis itu memang belum pernah menaiki helikopter, namun ia pernah melihat benda terbang itu. "Aku memang belum pernah," ucap Bella sembari terkekeh pelan. Dan Stev hanya mendecih mendengar perkataan wanita itu. "Dasar miskin.""Ck! Kau tidak boleh bicara seperti itu meski pun kau orang kaya, Stev! Akan ada saatnya kau di bawah nanti. Lihat saja," balas Bella."Kau sedang mengancamku atau mendoakan aku?" "Terserah kau mau menganggapnya apa," balas Bella. Wanita itu kini lebih memfokuskan diri untuk memasak daripada berbicara dengan Stev yang tidak terlalu penting itu. "Kau membuat apa?" tanya Stev. Pria itu berdiri tepat di belakang Bella, membuat wanita itu menghela napas pelan. "Jauhkan wajahmu dari sana, sebelum aku menyiram wajahmu denga air
Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas saat ia melihat Bella menghentikan langkahnya. Wanita itu seperti ragu untuk untuk melangkah masuk ke kamar Ellen. Jadi, yang dilakukannya saat ini hanyalah diam di tempat berdirinya. "Kau tidak mau masuk?" tanya Stev. Pria itu mendekat ke arah Bella dengan langkah kakinya yang lebar-lebar."Apakah dia akan memperbolehkan masuk ke sana?" tanya Bella. Ia tidak yakin jika Ellen akan baik-baik saja dan menerima dirinya. Wanita itu pasti akan langsung mengusir Bella saat Bella hanya baru satu kali melangkah ke dalam kamar wanita itu. Sementara Stev hanya mengendikkan bahunya acuh. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bukankah kau sendiri yang bilang jika ingin ke kamarnya?" tanya Stev. Dan tidak ada yang Bella lakukan selain hanya menghela napas pelan sembari mengangguk."Baiklah," balas wanita itu dengan yakin. Ya, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Dan jika Ellen mengusirnya Bella hanya bisa menuruti permintaan wanita itu.
Bella mengerutkan dahi saat dirinya hanya mendapati Lucy yang sendirian."Di mana dua sahabatmu itu?" tanya Bella sembari berjalan masuk ke dalam. Sementara Lucy hanya mendengus pelan mendengar pertanyaan Bella. "Yang kau maksud itu mereka berdua atau hanya Stev saja?" tanya Lucy. Pria itu sedikit tidak yakin jika Bella benar-benar bertanya di mana Ellen berada. Dan Bella hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku tidak peduli dengan pria arogan itu," balas Bella. Tampaknya wanita itu langsung berubah mood menjadi buruk saat mendengar nama Stev yang Lucy ucapkan."Siapa yang kau sebut pria arogan?" ucap suara baritone di belakang Bella. Membuat Bella melotot seketika. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan Stev sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Pria itu menaikkan sedikit dagunya dengan angkuh. Membuat Bella yang melihat itu mendengus. "Kau tidak perlu tahu siapa pria itu," balas Bella dengan nada suara yang sedikit ketus. Memb
"Hati-hati di jalan, Bella!" ucap Freya. Wanita itu melambai ke arah Bella dengan senyum manis yang tersemat di bibir.Sementara Bella hanya mengangguk singkat pada wanita itu. Ia lalu keluar dari Jenjay dengan langit yang sudah mulai berganti warna.Saat dirinya berjalan hendak pulang, tiba-tiba saja seorang anak kecil berwajah manis menghampirinya dengan keranjang bunga yang menggantung di lengan anak kecil itu. "Kakak. Belilah bunga ini, ini sangat cocok dengan kakak yang cantik," ucap gadis kecil itu sembari menyodorkan setangkai bunga lily pada Bella disertai senyum yang menggemaskan.Bella terpaku di tempat. Ia tidak menyangka jika gadis kecil itu menjual bunga sendirian di sini. Tanpa seseorang yang mendampinginya. Apa anak kecil itu tidak takut tersesat? "Bunga yang cantik, aku akan membelinya beberapa tangkai," balas Bella. Ia pun berjongkok, menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi badan gadis kecil tersebut. Sementara gadis kecil itu tiba-tiba mengerjap senang. "Benar
"Dia benar-benar hebat, Bos. Kemampuannya dalam meretas keamanan dan membuat strategi tidak main-main. Aku pernah sekali menghadapinya. Saat itu aku yakin jika aku bisa mengalahkan wanita itu karena dia yang terdesak sendirian tanpa Stev dan Lucy di sana. Namun, dia berhasil membalikkan keadaan dan balas menyerangku dengan beberapa orang yang aku bawa. Aku beruntung, aku tidak mati saat itu juga karena dia yang membiarkanku pergi," ucap pria itu. Sementara bosnya itu hanya mengangguk-angukkan kepala sembari mendesis pelan. "Wanita itu ... aku ingin mendapatkannya," ucapnya dingin.Membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu membelalakkan mata. "Tapi, Bos. Itu sepertinya tidak mungkin, dia adalah musuh kita." Satu-satunya wanita yang ada di sana menolak keras keinginan bosnya itu. "Apa kau takut jika dia akan mengalahkanmu, Vivie?" tanya pria itu sembari menatap datar pada wanita di hadapannya. Ia tahu dengan persis apa yang sedang di pikirkan wanita itu. Vivie menggeleng pe
"Terima kasih, Stev."Stev tidak menjawab. Melainkan hanya mengangguk pelan pada gadis itu tanpa berniat membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Sementara Bella yang sudah hafal dengan persis kebiasaan Stev itu hanya bisa tersenyum masam. Ia maklum dengan pria yang menurutnya sangat irit bicara itu. Namun, jika sekali saja Stev berucap. Suara pria itu akan terdengar sangat seksi hingga membuat orang yang mendengarnya merasa tergoda untuk mendekat.Mobil pria itu kembali berjalan. Meninggalkan Bella di depan gedung tempat kerja gadis itu. Bella hanya mendesah pelan sembari menatap kepergian mobil Stev yang semakin lama semakin menjauh. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dan memasuki tempat kerjanya dengan langkah senang. Tanpa tahu, jika orang yang sedari tadi berdiri di dalam Jenjay mengamati Bella yang sedang berbicara dengan Stev. Ia dapat melihat Bella yang tersenyum dengan manis pada seseorang yang ada di dalam mobil tersebut. "Ada apa, Ketua?" tanya seseorang yang kini