Bella menguap sebentar. Merasa setengah jiwanya masih tertinggal dalam mimpi. Gadis itu menggerutu pada sosok Stevano yang hilang di balik pintu. Pria itu mengganggu sekali, padahal Bella masih ingin bergelung membagi kehangatan dengan kasur.
Tidak ada yang dapat Bella lakukan selain menuruti sang tuan rumah. Dia hanyalah seekor kucing kecil yang beruntung dipungut oleh Stevano. Tidak ada alasan bagi Bella untuk membantah pada pria yang sudah memberinya kenyamanan tidur dalam kamar yang besar, mewah, juga indah.
Bella menyibak selimut lembut yang menemaninya tidur. Lalu melipat selimut itu agar terlihat rapi sebelum turun dari ranjang. Dan masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan rutinitasnya setiap hari.
Bella sungguh terkesiap dengan kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Dia kira kamar mandi ini kecil, karena memang begitu jika dilihat dari luar. Ternyata tidak, ini terlalu luas jika hanya digunakan untuk seorang diri.
Terdapat shower berbahan bagus di kamar mandi itu. Tidak lupa dengan toilet duduk dan bathtub berukuran besar yang dilengkapi dengan aircon water heater. Bella tertawa dalam hati. Dengan ini, dia tidak akan merasa kedinginan jika mandi tengah malam. Bella rasa kehidupannya akan berubah mulai sekarang. Menjadi lebih baik, mungkin.
Sebenarnya, seberapa kaya pria itu hingga semua barang kecil pun terlihat sangat mewah?
Tidak ingin pusing memikirkan apa yang dimiliki Stevano. Bella lekas melepas baju helai demi helai. Kemudian menghidupkan shower dan merasakan sensasi air yang berlarian turun melewati badan.
Setelah mandi, Bella baru sadar jika ia tidak mempunyai baju ganti untuk dia pakai.
Wanita itu mendadak panik sendiri.
Bagaimana ini? Terlambat baginya untuk memakai baju yang sebelumnya karena telah ia cuci.
Dan tidak mungkin ia tidak akan memakai baju. Kalau begitu, Bella akan lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar.
Bella mendesah lelah. Dia mencoba berpikir logis saat matanya menangkap lemari besar yang berada di dalam kamarnya.
Dengan sehelai handuk yang membungkus tubuh, Bella mulai mendekat, dan berharap lemari tersebut ada isinya.
Dan benar saja! Terdapat banyak sekali baju bagus dengan merk mahal yang menggantung di sana.
"Kapan baju-baju ini ada di sini?" gumam Bella pelan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Bella segera memilih salah satu baju yang tergantung dengan indah di dalam lemari itu. Memakainya cepat sebelum pria arogan itu datang dan kembali memberinya ucapan pedas karena tidak lekas turun.
Bella terlihat berkali-kali lipat lebih cantik setelah dia memakai dress hijau muda tanpa lengan dan bawahan yang hanya lima belas senti meter di atas lutut.
Sangat seksi.
Bella mendengkus, dia tidak menemukan baju yang lebih panjang dari ini. Semuanya sama, rok dan celana tidak ada yang panjangnya melebihi lutut. Dan itu membuat Bella merasa tidak nyaman.
Apa seperti ini selera pria jahat itu? Wanita berpakaian seksi yang menggoda?
Cih.
Bella tidak punya niat sedikit pun untuk menggoda Stevano. Pria itu bengis dan Bella tidak menyukainya. Itu sangat menakutkan jika sewatu-waktu pria itu memukul Bella entah pada bagian mana. Bella yakin pria itu dapat membuatnya memar, atau bahkan patah tulang.
Membayangkannya saja sudah membuat Bella merinding.
Setelah menyisir rambutnya yang terurai kemana-mana. Bella lekas menuju pintu dan bersiap untuk turun.
Dan benar saja. Setelah Bella turun dan menuju ruang makan untuk ikut sarapan, Stevano sudah duduk pada salah satu kursi yang berada di sana. Tidak mengalihkan pandangannya pada Bella saat gadis itu mendekat.
"Kau tidak punya kaki? Lama sekali hanya untuk sekadar turun. Kau merangkak dari atas sampai sini?" ucap Stev.
Membuat Bella yang akan menarik kursi itu meringis. Mulut pria ini benar-benar menyakitkan.
"Maaf, Tuan." Bella menunduk, mengurungkan niatnya untuk duduk dan ikut bergabung makan dengan pria itu. Padahal perutnya sejak tadi malam terus meronta minta diisi.
Ya, Tuhan.
"Sudah kubilang panggil aku Stev! Kau pikir aku setua itu, hah?!"
Bella semakin takut. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menuruti keinginan dari pria itu agar tidak bertambah marah.
"Baik, Stev." Bella tidak berani menatap mata pria itu yang setajam elang dan siap menguliti orang hidup-hidup. Terlalu mengerikan hingga Bella hanya bisa menunduk dalam diam. Tidak berani bersuara.
Sementara Stevano menaikkan salah satu alisnya tinggi saat gadis di depannya itu tidak segera mengambil duduk dan hanya berdiri dalam kebisuan.
Lagi-lagi pria itu berdecak.
"Kau mau menjadi patung?" Stev berucap sarkas. Dan Bella hanya dapat bersabar dalam hati menghadapi segala ucapan pria itu yang menyakitkan.
Bella segera menarik kursi dan mendudukinya. Dia merasa canggung hanya makan berdua bersama Stevano. Mansion sebesar ini, apakah hanya dihuni oleh pria itu saja? Bella tidak lupa jika ada Lucy juga semalam. Tapi, Bella tidak tahu kemana Lucy pergi. Bella pikir Lucy juga tinggal di sini.
Sayang sekali mansion sebesar dan semewah ini sangat sepi.
Wanita itu tidak ingin begitu memikirkan hal lain yang tidak penting. Prioritasnya saat ini adalah makan, perutnya terus berbunyi saat melihat banyak makanan lezat yang tersaji di atas meja.
Bella benar-benar kelaparan sekarang. Dan Stev yang melihat itu hanya diam, tidak memberi komentar apapun pada gadis yang kini sedang makan seperti kucing kelaparan.
Stev tersenyum tipis. Bella memang kucing kecil yang menyedihkan.
Pria itu tidak lagi melanjutkan makannya kala dia melihat Bella yang sedang makan dengan lahap.
Menuangkan anggur pada gelas, lalu meminumnya perlahan. Merasakan sensasi dingin yang mengalir melewati tenggorokannya. Stev menjilat bibir bawahnya pelan kala merasa ada setitik anggur yang terlewat di sana.
Matanya tidak lepas dari Bella. Terus memperhatikannya seperti singa yang sedang membidik mangsa kecil seperti kelinci.
Dan kemudian pria itu tersenyum tipis. Bella bukanlah kelinci. Dia adalah kucing kecil yang masuk kedalam perangkap hidupnya.
Alis Stev saling bertautan saat Bella meletakkan alat makannya dengan pelan. Tidak melanjutkan kembali makan yang masih tersisa setengah. Tentu saja Stev bingung dengan ekspresi gadis itu yang tiba-tiba berubah. Menjadi lebih sedih.
"Kenapa? Makanannya tidak enak?" tanya Stev pada gadis itu.
Bella mengangkat wajah menghadap Stev dengan tatapan memohon.
"Stev ..." Bella memanggil pria itu dengan pelan, gadis itu terlihat seperti ingin menangis saat ini juga. Dan Stev tidak mengerti apa yang ada pada pikiran gadis itu.
"Hn?"
"Bolehkah aku ..." Bella menghela napas pendek sebelum melanjutkan, " ... melihat keadaan Sean?"
Tak.
Stev meletakkan gelas anggurnya pada meja, menimbulkan suara keras yang sangat kontras dengan keadaan ruang makan yang hening.
"Tidak boleh," desis pria itu.
Bella mendesah pendek, dia sudah menduga hal ini sebelumnya. Stev tidak akan dengan mudah membiarkan dirinya keluar untuk melihat keadaan Sean. Padahal, ia benar-benar khawatir dengan Sean sejak tadi malam.
Bagaimana kondisi Sean sekarang? Apakah sudah membaik atau belum?
Beberapa detik berlanjut, wanita itu kemudian mengambil napas banyak sebelum kembali berucap untuk memohon.
"Ijinkan aku keluar, Stev. Aku tidak akan kabur."
"Apa dia berpikir hidupnya begitu damai?" gumam Stev pelan sembari mendudukkan diri di samping wanita yang kini sedang tertidur pulas itu. Pakaian Bella sudah diganti dengan piyama berwarna biru tua. Dan Stev tidak lagi mencium bau alkohol yang menguar dari tubuh wanita tersebut. "Tidak ... Tidak."Pria tampan yang ada di dalam kamar tersebut mengernyitkan dahinya kala telinganya mendengar suara Bella yang bergumam lirih. Ia pikir wanita itu sudah membuka matanya. Namun ternyata tidak, Bella masih saja tertidur di atas ranjang besar miliknya. Dan Stev langsung bisa menebak jika wanita itu mungkin sedang bermimpi buruk."Ada apa dengannya?" Ia dapat melihat jika dahi wanita itu banyak mengeluarkan keringat. Seperti baru saja mengikuti lomba lari. Keringat Bella semakin lama semakin deras dengan mulut yang terus mengeluarkan gumaman yang tidak Stev mengerti. Tidak begitu jelas terdengar sehingga Stev hanya bisa menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bella."Stev memanggil nama wan
"Jangan berikan," ucap Stev dengan tajam. Dan bartender itu mengangguk sembari meletakkan botol yang sebelumnya ingin ia tuangkan pada gelas Bella. "Hey! Kenapa kau tidak memberiku minum?!" Bella sedikit meninggikan nada suaranya. "Minuman kami telah habis, Nona." Bella mendecih pelan mendengar perkataan bartender itu."Bohong! Lantas botol yang berjejer-jejer itu apa?!"Stev memutar kedua bola matanya dengan bosan saat melihat kesadaran Bella sudah berada di ambang batas."Kita pulang," ucap Stev. Pria itu segera berdiri dari tempat duduknya setelah membayar semua total minuman.Pria itu lantas mendekat pada Bella dan berniat untuk membawa wanita itu pulang. Namun tangannya yang terulur seketika ditepis dengan kasar oleh tangan Bella yang mungil. Sontak saja penolakan yang wanita itu berikan membuat Stev mendengus sebal. "Aku tidak ingin pulang! Kau pulang saja sana sendiri!" ucap Bella setengah berteriak. Membuat beberapa orang yang ada di sana menoleh pada mereka berdua. "Ck
Stev terdiam beberapa saat setelah Bella berucap. Perkataan wanita itu tepat sekali menusuk dalam hati pria itu. "Apa kau bilang? Kecewa?" ulang Stev sekali lagi. Dan Bella hanya bisa mengangguk sebagai balasan. Wanita itu terus menatap wajah Stev yang berada di dekatnya. "Aku tidak tahu. Tapi, bukankah hal itu bisa saja terjadi?" tanya Bella. Wanita itu terus mengeluarkan perkataan yang membuat Stev tidak dapat berkata apa-apa. Meski Stev adalah orang yang dingin dan terkesan cuek dengan keadaan sekitar. Namun pria itu tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang baru saja Bella katakan. Ucapan wanita itu ada benarnya juga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika suatu hari nanti ia bertemu dengan Liana dan dia tahu jika dirinya adalah seorang mafia. Apakah wanita itu tetap masih mau untuk menerimanya? Stev tidak dapat membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Ia tidak akan pernah bisa jika wanita yang sudah sekian lama ia nanti-nantikan pada akhirnya akan pergi meni
"Aku pernah memiliki seorang teman di sana juga. Seorang kekasih masa kecil lebih tepatnya," ucap Stev. Mata pria itu masih saja fokus menatap jalanan yang ada di depannya. Namun tatapannya terlihat kosong. "Benarkah? Siapa namanya?" tanya Bella. Wanita itu mematikan ponsel yang ada di tangannya dan mengarahkan pandangannya hanya pada Stev."Liana," balas Stev dengan singkat. "Liana?" ulang Bella sekali lagi. Dan Stev hanya mengangguk pelan sebagai bentuk jawaban."Ya. Kau mengenalnya?" tanya Stev. Pria itu terdengar seperti sangat berharap saat ia bertanya pada Bella. Namun yang dikatakan wanita di sebelahnya itu seketika memupus harapan besar Stev. "Tidak. Aku tidak mengenal nama itu," balas Bella. Wanita itu kembali mengarahkan pandangannya pada jalanan yang dilalui mobil Stev."Sudah kuduga kau tidak akan tahu siapa dia," ucap Stev sembari mendengus pelan. "Apa dia begitu penting bagimu?" tanya Bella, dan Stev mendecih pelan setelahnya. "Dia begitu penting bagiku. Aku sang
"Kau bisa menggunakan pedang?" "Tidak," balas Bella dengan senyum lebarnya. Membuat Stev yang melihat wanita itu hanya mendengus pelan. "Kupikir kau bisa menggunakannya," ucap Stev lagi. Pria itu kembali memasukkan semua pistolnya pada loker dan mengunci tempat tersebut. Bella terkekeh pelan. "Aku suka sekali saat melihat film yang orang-orangnya menggunakan pedang. Jadi, kupikir aku akan terlihat keren jika bisa menggunakan pedang," balas Bella sembari membayangkan dirinya dapat melayangkan pedang pada orang-orang jahat yang mengganggunya seperti film-film yang bertemakan kerjaan. Sementara Stev hanya mendecih pelan saat mendengarnya."Simpan kata kerenmu itu. Kau tidak begitu cocok menggunakan pedang. Mengangkat pedang saja entah kuat entah tidak." Bella memutar kedua bola matanya bosan saat ia mendengar ucapan bernada ejekan dari Stev. Pria itu suka sekali meremehkannya. "Jangan mengejekku!" balas Bella dengan sebal. Wanita itu membuang mukanya dari Stev dan berjalan keluar
Pekerjaannya saat itu hanyalah seorang pelukis jalanan. Dia tidak kaya, dan Jack mengakuinya. Dirinya hidup dengan mengandalkan uang dari hasil menjadi pelukis jalanan dan kerja sampingan di sebuah toko kecil. Jennie tidak merasa risih dengan keadaannya. Wanita itu malah mengajak dirinya untuk mengobrol dan mengajukan diri untuk di lukis oleh dirinya. Sepanjang waktu wanita itu habiskan untuk terus berbicara dengan Jack. Dan tidak ada yang bisa Jack lakukan saat itu selain hanya tertawa sembari membalas ucapan Jennie dengan kalimat seadanya.Setelah Jack selesai melukis wanita itu. Jennie benar-benar kagum dengan hasil yang dibuat pria itu. Satu kata dari Jennie untuk hasil lukisan Jack.Mengagumkan. Wanita itu benar-benar kagum dengan lukisan Jack. Ia pun mengusulkan Jack agar pria itu membangun sebuah galeri untuk menampung semua hasil lukisannya. Namun yang dilakukan Jack saat itu hanyalah menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Ia tidak akan bisa membangun galeri seperti