Share

Bab 65

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 13:35:36

Indah sudah berdiri di depan pintu gubuk, sebuah keranjang anyaman di tangannya. “Yakin. Hutan ini seperti rumahku.”

Tanpa basa-basi lagi, rombongan kecil itu pun berjalan menyusuri jalan setapak di belakang gubuk Indah, meninggalkan rasa aman dan keraguan mereka di belakang. Wirya dan Kuncoro masih sesekali berseloroh.

“Jangan lupa bawa kantong buat biji-bijian langka, Wiri. Siapa tau kita menemukan tanaman obat,” goda Kuncoro.

“Hah, lebih baik aku bawa batu buat lempar roh jahat yang membuat kau ketakutan nanti,” balas Wirya, mengernyit.

l

Tapi perdebatan receh mereka tenggelam oleh fokus pada perjalanan. Indah memimpin dengan lancar, meliuk di antara semak dan akar pohon. Ambarani berjalan di belakangnya, pikirannya masih sibuk merangkai kata-kata petunjuk itu, matanya awas memindai sekeliling.

Ketika mereka sampai di pinggiran desa Kuncoro. Suara-suara kehidupan sehari-hari terdengar samar-samar.

Kuncoro berhenti, mengangkat tangan untuk menghentikan kelompoknya. “Tunggu sebent
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tawanan yang Menawan   Bab 110

    Salah satu wanita—yang paling berani—dengan cepat membuka kembennya, memperlihatkan tubuhnya yang matang pada Wirya. “Kami tidak akan menunggumu menyetujui, Orang Terpilih,” katanya dengan suara serak, sementara dua wanita lainnya menahan tangan Wirya dengan kuat.Dia mendekati dengan mata berapi-api, lalu naik ke atas tubuh Wirya yang masih terjebak dalam cengkeraman. “Berkah itu akan kami ambil, dengan caraku sendiri.”Wirya berjuang melepaskan diri, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. “Ini pemaksaan!” protesnya, tapi wanita-wanita itu hanya tertawa.“Pemaksaan?” ujar wanita yang sedang di atasnya sambil mendekatkan wajahnya. “Ini pemujaan, Orang Terpilih. Dan kau akan menikmatinya, percayalah.”Ratri yang ketakutan mencoba menarik wanita itu, tapi dengan mudah dilemparkan ke samping. “Tunggu giliranmu, gadis kecil!”Wirya merasakan panik yang semakin menjadi. Cincin di tongkatnya mulai berdenyut, bereaksi terhadap situasi yang semakin di luar kendali. Dia harus menemukan cara unt

  • Tawanan yang Menawan   Bab 109

    "Tuan," Pandu bersimpuh tiba-tiba, "desa kami sudah menderita terlalu lama. Jika ramalan itu benar... Ratri bisa mendapatkan perlindungan dari bahaya yang akan datang. Dan mungkin... mungkin berkah itu akan meluas ke seluruh desa."Ratri mendekat, tangannya gemetar meraih tangan Wirya. "Ini bukan hanya untukku, Tuan. Tapi untuk semua orang di sini. Mohon..."Wirya mundur, merasa terjebak antara kemanusiaan dan eksploitasi. Dia bukan dewa atau penyelamat—hanya pria biasa dengan masalahnya sendiri."Aku tidak bisa," katanya tegas. "Ini tidak benar."Tapi di matanya, Wirya melihat harapan yang sudah terlalu lama dipendam—dan kekecewaan yang akan menghancurkan jika dia menolak.Pandu berdiri, wajahnya campur aduk antara harapan dan rasa bersalah. “Aku... akan meninggalkan kalian berdua,” ujarnya dengan suara rendah, tidak berani menatap langsung ke mata Wirya. “Ratri tahu apa yang harus dilakukan.”Sebelum Wirya bisa protes, Pandu sudah membalikkan badan dan berjalan keluar pondok, menut

  • Tawanan yang Menawan   Bab 108

    Saat dia hampir mencapai pondok tua di ujung desa, seorang pemuda dengan ikat kepala menghadangnya. “Tuan,” ujarnya dengan hormat yang berlebihan, “apakah kau membawa kabar dari gunung?”Wirya menggeleng, tidak mengerti. “Aku hanya mencari tempat untuk beristirahat.”Pemuda itu mengangguk, lalu dengan sikap hormat yang masih terasa berlebihan, ia memperkenalkan diri. "Namaku Pandu, Tuan. Izinkan aku mengantarmu ke pondok itu."Dia berjalan di samping Wirya, sesekali melirik dengan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan. "Pondok itu sudah lama tak ada yang menempati," ujarnya sambil membukakan pintu kayu yang reyot."Wirya menghela napas, memandangi Pandu yang masih berdiri di depan pintu pondok. “Pandu, boleh aku bertanya sesuatu?”Pandu mengangguk antusias. “Tentu, Tuan!”“Mengapa... orang-orang desa menatapku dengan cara yang aneh tadi? Seperti mereka melihat hantu atau sesuatu,” tanya Wirya, suaranya penuh keheranan.Pandu tersenyum sedikit malu. “Ah, maafkan mereka, Tuan. It

  • Tawanan yang Menawan   Bab 107

    Wirya berusaha bangun, merasa bersalah melihat kondisi Murni. “Aku... maafkan aku. Aku tidak bisa mengendalikan—“Murni mengangkat tangan lemah, menyentuh bibirnya. “Tak masalah. Aku yang memulai.” Dia mencoba duduk, tapi langsung terjatuh lagi. “Tolong... bantu aku berdiri. Aku harus kembali sebelum Joko curiga.”Wirya membantu Murni berdiri, lalu dengan patuh membantu memakaikan kembali pakaian baru—mirip dengan sebelumnya yang sudah di siapkan Murni. Wanita itu masih gemetar, tapi senyum kecil muncul di bibirnya.“Perjalananmu berikutnya...” bisiknya sambil menatap Wirya, “jangan sampai membuatmu lupa pada kami.”Dia berbalik dan limbung pergi, meninggalkan Wirya sendirian di tepi hutan dengan kenangan yang tidak akan mudah dilupakan.Wirya berjalan menyusuri jalan setapak menuju desa terdekat, setiap langkahnya terasa berat bukan hanya karena kelelahan, tapi karena desakan di celananya yang belum juga mereda. Cincin di tongkatnya masih berdenyut-denyut lembut, mengingatkannya bah

  • Tawanan yang Menawan   Bab 106

    Wirya mundur selangkah, hati berdebar antara godaan dan kesetiaan. “Aku... aku tidak bisa, Murni. Maaf.”Murni menghela napas, tapi tidak menyerah. “Tunggu,” katanya, langkahnya berhenti. “Setidaknya... izinkan aku memeriksa perbanmu sebelum kau pergi. Apa jika terlepas saat kau dalam perjalanan?”Wirya ragu, tapi logika Murni terdengar masuk akal. “Baik... jika hanya pemeriksaan.”Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Wirya. “Aku bisa membuatnya lebih baik... dengan cara khusus.” Tangannya mulai meraba lebih dalam.Wirya menarik napas dalam, godaan dan kebutuhan fisiknya mulai mengalahkan penolakan awalnya. “Hanya... sebentar,” gumamnya, akhirnya menyerah.Murni tersenyum puas, menariknya ke balik semak. “Percayalah, kau tidak akan menyesal.”Murni berlutut di hadapan Wirya dan menarik celananya ke bawah, jari-jarinya dengan ahli membuka ikatan perban yang membalut tongkatnya. “Lihat,” bisiknya, suara bergetar antara keprofesionalan dan hasrat yang tertahan, “perbannya sudah robek, a

  • Tawanan yang Menawan   Bab 105

    Murni menghela napas, matanya menghindari kontak. “Itu... tongkat itu bisa berubah menjadi... alat bantu menyalurkan hasrat.” Suaranya hampir tidak terdengar. “mainan dewasa, orang-orang menyebutnya seperti itu.”Joko mengangguk, sedikit malu. "Fitur yang tidak disengaja. Awalnya cuma ingin membuat senjata tersembunyi, tapi... desainnya agak melenceng."Dia meletakkan tongkat itu kembali ke kotaknya. "Mungkin kita cari perlengkapan lain yang lebih... berguna dan efisien."Wirya hanya bisa menggeleng-gelang, sekali lagi diingatkan bahwa dalam setiap penemuan Joko, selalu ada kejutan yang tidak terduga—dan sering kali memalukan.Wirya telah mengenakan pakaian petualangan yang diberikan Murni, tas kecil berisi perlengkapan sudah tergantung di pundaknya. Dia melirik ke bawah, ke perban yang masih membalut kemaluannya. “Tuan Joko, sampai kapan ini harus tetap terpasang?”Joko Loyo tersenyum misterius. “Jangan khawatir tentang itu. Saat waktunya tiba, perban itu akan robek dengan sendirinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status