Share

Chapter 5

Arkan memandangi ratusan MABA yang tengah berbaris rapi di urutan kelompoknya masing-masing. Wajah-wajah gembira dan semangat muda  memancar dari segala gerak gerik penuh spontanitas mereka. Ia dulu juga pernah seperti mereka. Energik dengan bersemangat berapi-api demi untuk menggapai cita-cita, dan selalu optimis dalam segala hal. Ia bahkan sempat menjadi ketua BEM. Jabatan yang cukup bergengsi di masa itu.

Ya, itu terjadi ketika ia masih muda, naif, dan bahagia. Keharmonisan keluarganya selalu menjadi rule mode bagi rekan-rekan sesama mahasiswa yang lain. Potret keluarga yang harmonis dan bahagia. Dan itu semua terjadi sebelum ada satu kejadian yang menjungkir balikkan semuanya. Pemikiran naif dan jiwa idealiasnya meradang saat ia mengetahui fakta yang sebenarnya. Bahwa sesungguhnya semua itu hanyalah kamuflase belaka. Dari luar keluarganya terlihat sempurna. Namun di dalam, fondasinya bobrok  bahkan nyaris ambruk.

Di mulai dari papanya yang masuk penjara. Kemudian mamanya yang merana karena merasa telah dibohongi selama bertahun-tahun oleh cinta palsu papanya. Papanya ternyata gagal moved on dari Tante Aimee, mommynya Lily. Ditambah dengan kenyataan bahwa papanya bahkan sudah mempunyai seorang anak sebelum menikahinya, yaitu Axel Delacroix Adam, kakak dari Lily, membuatnya semakin tidak bisa menerima kenyataan. Ia marah, ia kecewa. Dan di atas semua itu, ia malu!

Lima tahun ia memendam dendam atas seseorang yang menghancurkan keharmonisan keluarganya. Dan ia melarikan semua amarahnya itu dengan latihan keras di Alcatraz. Memukuli samsak, yang berlanjut dengan memukuli orang, ternyata bisa sedikit memuaskan rasa kecewanya. Ia mendapat pelampiasan dengan cara bertarung. Tahun demi tahun berlalu. Dirinya yang dulu humanis dan selalu memandang dunia dengan optimis, telah berubah kepribadian. Ia kini sinis dan telengas. Arkansas yang dulunya santun, baik dan ramah sudah tiada lagi.

Dirinya kini lebih suka menghabiskan waktu menjadi petarung kebanggaan Alcatraz. Kenekadannya dalam bertarung tidak usah diragukan lagi. Prinsipnya hanya satu. Ia tidak takut mati. Makanya ia sulit untuk dikalahkan. Ia hanya pernah sekali kalah dengan Tegar Putra Mahameru, suami sepupunya Liberty Delacroix Adam, di waktu lalu. Dan setelah itu, ia tidak terkalahkan hingga saat ini.

Setelah keluar dari penjara, papanya yang merasa kehilangan kewibawaan semakin rendah diri karena lost power. Mala petaka pun kembali datang dalam wujud seorang wanita cantik namun kejam yang bernama Celine. Celine mencekoki papanya dengan berbagai jenis obat-obatan psikotropika untuk mendongkrak kepercayaan dirinya. Papanya pun mulai kecanduan. Papanya mendapatkan kebahagian semu dari halusinasi yang dihasilkan dari obat-obatan terlarang itu. Kesadaran papanya makin lama makin hilang. Hingga pada akhirnya papanya menjadi budak Celine apabila dirinya mulai sakau. Dan wanita kejam itu, merampas habis seluruh harta papanya yang ia rintis dengan susah payah bahkan sedari remaja. Papanya kemudian menikah siri dengan Celine dan membuat batin mamanya makin kacau.

Tanpa sepengetahuan papanya, Celine memvideokan semua aktivitas seksual mereka dan mengirimkannya secara continue pada mamanya. Batin mamanya yang memang sudah rapuh, akhirnya terguncang. Kewarasan mamanya terganggu. Mamanya akhirnya menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa.

Melihat gonjang ganjingnya keuangan ayahnya, Arkan bertindak cepat dengan membekukan account papanya, dan menarik semua asset-asset yang tersisa. Lima tahun ia berjuang siang malam seperti kuda, demi memulihkan perusahaan dan membuatnya tetap berjaya. Hasilnya tidak sia-sia. Perusahaanya makin berkibar namun sedikit sisa kebaikan dan kemanusian yang ia punya, padam sudah. Dirinya menjelma menjadi seorang yang tidak berhati. Setelah kematian papanya akibat over dosis, Celine yang bangkrut pun mulai mengemis padanya.

Arkan berpura-pura bersimpati dan meminjamkannya dana sebesar lima ratus juta rupiah, dengan jaminan bahwa Isabelle Artharwa Al Rasyid lah yang akan membayar, apabila Celine ingkar dari kewajiban atau  meninggal dunia. Celine bahkan melampirkan akta kelahiran Ibell sebagai pengganti identitas anaknya yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk. Betapa niatnya wanita jahat itu menggadaikan anaknya sendiri bukan?

Tidak perlu menunggu lama. Sebulan kemudian Celine benar-benar meninggal karena sakit demam berdarah. Bertahun-tahun ia mencari anak Celine yang rahib entah setelah kematian sang ibu. Sampai saat itu, saat di mana Ibell menabraknya di kampus. Dirinya langsung tahu bahwa Issabelle adalah putri Celine, hanya dengan sekali tatap. Wajah mereka berdua bagaikan pinang dibelah dua. Bedanya hanya pada kornea mata coklat Issabelle yang mungkin warisan dari ayahnya, dan juga hidung mancung khas negara timur tengah yang pasti juga menurun secara genetika dari klan ayahnya.

Kini kamu sudah berada dalam genggamanku ,gadis kecil. Aku akan membuat skor 1-1, persis sama dengan apa yang telah ibumu lakukan terhadap ayahku. Tapi kali ini, beserta dengan bunga-bunganya sekaligus!

***

Ibell membungkus tas ranselnya dengan plastik parasut agar tidak basah. Saat ini rintik-rintik hujan telah membasahi halte tempatnya berdiri. Kemeja putihnya juga sudah mulai basah oleh tempias air hujan. Ibell semakin memepetkan tubuh pada dinding halte. Lumayan. Setidaknya bagian ini tidak terkena imbas hujan. Gigi Ibell saling beradu dalam gelutukan cukup keras. Ia memang tidak tahan dingin.

"Ibell," seseorang memanggilnya. Ternyata orang itu adalah Galaksi. Ibell bukanlah seorang pendendam. Ia sadar, bahwa dia tidak bisa memaksa setiap orang menyukainya. Terlebih lagi Galaksi itu bukan apa-apanya. Hanya sekedar teman di masa lalu. Nothing more nothing less.

"Ada apa Kak?" Ibell menjawab datar. Tetapi ia sudah tidak mau lagi memandang wajah Galaksi. Ini adalah salah satu ciri-ciri bahwa dirinya sedang malas untuk berbicara panjang lebar dan tidak ingin diganggu.

"Kakak antar pulang yuk? Hujannya cukup deras." Ibell menggeleng. Ia semakin malas berinteraksi dengan Galaksi. Buang-buang nafas saja. Galaksi menarik nafas panjang. Dari reaksi Ibell yang seperti ini, pasti putri ompongnya ini sudah mendengar percakapan laknat mereka semua di ruang Himpunan tadi. Sebenarnya ia tidak ingin berbicara sadis begitu. Hanya saja ia gengsi kalau tidak menunjukkan determinasinya pada teman-temannya. Sejak tahu bahwa Ibell itu adalah putri ompong yang selama ini ia  cari-cari, Galaksi sebenarnya sudah ingin membatalkan pertaruhan mereka. Namun sayangnya ego masa mudanya sudah mengambil alih semua kewarasan otaknya. Kini hanya rasa penyesalanlah yang didapatkannya.

"Ayolah kakak antar sampai rumah, daripada nanti kamu sakit. Belum lagi kemungkinan kamu akan bertemu kembali dengan para rentenir-rentenir itu," bujuk Galaksi. Ibell hanya diam tak bergeming, walaupun Galaksi terus saja membujuk dan mengajaknya berbicara. Mode arcanya sedang on. Ibell menganggap bahwa Galaksi itu adalah makhluk tak kasat mata. Kala sebuah angkot melintas, Ibell memberhentikannya. Padahal angkot itu tidak melewati alamat kontrakannya. Bagi Ibell itu bukan masalah. Yang penting ia bisa jauh dari Galaksi.

Angkot berbelok ke persimpangan jalan. Semakin menjauhkannya saja dari rumah kontrakkannya. Hujan sudah mulai reda. Hanya tinggal gerimis kecil-kecil saja. Ibell kembali turun di halte yang lain. Menunggu angkot yang kali ini benar-benar akan melewati rumahnya. Ibell melirik pergelangan tangannya. Sudah pukul 06.45 WIB. Keadaan di halte ini sangat sepi. Hanya menyisakan dirinya seorang saja. Ibell berjalan lebih keujung jalan yang sedikit lebih terang. Mungkin ia akan memesan ojek online saja. Baru saja tangannya ingin menurunkan ransel di punggungnya, sebuah suara datang terdengar di sisi telinga kirinya, berikut suatu benda logam ditekan pelan ke pinggang rampingnya.

"Masuk ke dalam mobil, sekarang. Kalau kamu macam-macam, maka saya tidak segan-segan untuk meledakkan isi kepalamu!" Dan benda logam itu pun berpindah dari pinggangnya kearah kepala. Benda logam itu ternyata adalah sebuah pistol. Ibell kemudian dimasukkan paksa ke dalam mobil. Dan dua orang  yang ada di dalam mobil langsung saja melakban mata dan mulutnya sekaligus. Salah seorang dari mereka juga mengikat tangan dan kakinya.

"Target sudah dikuasai, Boss."

".................."

"Baik Boss, kami akan membawanya langsung ketempat eksekusi."

"..................."

"Kelinci aman, Boss."

"Ayo Shahir, kita jalan. Singa sudah menunggu di tahta."

Sesungguhnya dalam diamnya Ibell sangat panik. Tapi ia tahu. Kalau ia histeris dan bertindak gegabah, maka nyawanya akan melayang sia-sia. Saat rasa gemetar di sekujur tubuhnya mulai tidak terkendali, ia pun mencoba mempraktekan tehnik self healing yang akhir-akhir ini dipelajarinya secara otodidak untuk merelaksasi hal-hal yang tidak bisa dikendalikan olehnya.

Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Ibell mulai merapalnya bagai sebuah mantra. Hingga hatinya menjadi lebih tenang. Detak jantungnya mulai melambat dan berangsur-angsur normal, diikuti dengan reaksi tubuh yang mulai relaks. Mobil terus melaju hingga beberapa saat kemudian berhenti mendadak.

"Turun,"

Ibell pun mulai turun dengan langkah tersaruk-saruk. Maklum aaja, ia tidak dapat melihat. Setelah melalui jalan yang cukup panjang, akhirnya mereka berhenti. Seseorang mengetuk pintu dua kali, sebelum akhirnya Ibell didorong masuk ke sebuah ruangan dengan temperatur membekukan. Ia kemudian didudukkan pada sofa yang empuk dan nyaman. Samar-samar Ibell mengenali aroma khas pinus dan tembakau ini, tapi dia lupa itu siapa dan di mana.

"Tutup kembali pintunya, Shahir."

Lagi, suara ini! Ibell pernah mendengar suara dingin dan datar ini. Suara yang nyaris terdengar tanpa emosi.

"Wellcome to my world, Baby." Dan seseorang itu mulai membuka penutup mata dan mulutnya. Ibel mengerjap-ngerjapkan mata. Mencoba membiasakan matanya dari cahaya terang benderang lampu ruangan, setelah tadi tertutup sekian lama dalam kegelapan.

"Astaga, Anda rupanya?" Ternyata yang menculiknya adalah seorang dosen di kampusnya.

"Ya, ini saya. Arkansas Delacroix Bimantara. Tuanmu yang baru. Ingin memberi salam perkenalan dengan satu kecupan mungkin? Hmmm... "

"CUIHHH!!!" Ibell meludah.

"Penculik pengecut seperti Anda buat apa diberi salam? Membuat saya merasa ingin muntah saja!" sembur Ibell. Kedua mata sang dosen menyala. Ia marah rupanya.

"Aduhhh!!" Ibell mengaduh saat si dosen gila menjambak rambut panjangnya, dan mendekatkan wajah Ibell dengan wajahnya sendiri hingga tidak berjarak. Hidung mancung mereka saat ini sudah saling bersentuhan. Ibell bahkan bisa mencium nafasnya yang beraroma minuman keras dan tembakau.

"Berapa usia kamu, petite?

"Delapan belas tahun."

"Kamu sudah pernah berciuman, petite?" Ibell menggeleng.

"Good then. Sekarang buka mulut kamu. Kita akan mulai belajar saling memuaskan, sayang," bisik suara dingin selembut beledu di telinga Ibell.

Habislah aku kali ini, batin Ibell.

Sementara itu, Galaksi yang sudah lebih dulu tiba di kediaman Ibell terus berjalan mondar-mandir di teras depan. Galaksi bahkan sampai menunggu di ujung gang, saking tidak sabarnya menunggu putri ompongnya  pulang. Tadi Ibell lebih dulu pulang dengan menumpang angkot menuju kontrakannya. Masa ini sudah dua jam berlalu ia tidak sampai-sampai juga?

Sebenarnya dia itu singgah ke mana dulu sih? Bahkan gorengan yang seharusnya ia antar ke kafe-kafe pun, akhirnya Mbok Darmi yang mengantarkannya dengan disopiri olehnya.

Kamu sekarang ada di mana sih Bell?

Galaksi meremas rambutnya sendiri gemas. Ia sangat menyesali mulut besarnya yang telah menyakiti hati Ibell. Ibell bahkan sampai kehilangan kata-kata walau hanya untuk sekedar memakinya. Galakai menyesal. Sungguh-sungguh menyesal!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status