"Kita ketemuan aja, sore ini pulang kerja aku ke rumah, biar kutanyakan langsung pada ibumu maunya sebenarnya apa," ucap Mas Gani. Kemudian, ia putus sambungan teleponnya padahal aku belum sempat menyetujui.Aku meletakkan ponsel di atas meja kerja. Beruntung hari ini tidak ada kerjaan yang menumpuk, aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Yang bersemayam di kepala hanya Lira dan ibu.Kemudian, aku bersandar sejenak, berpikir jernih dengan tindakan yang harus aku lakukan."Aku memang harus tegas pada Ibu, jangan sampai keluarga Lira jadi meragukan cintaku pada anaknya," ucapku bicara sendirian.Rasanya ini hal terberat untuk seorang laki-laki. Diantaranya karena pilihan yang sulit ini. "Pertama, aku harus benar-benar berikan Bulek peringatan, supaya tidak menghasut ibuku lagi, ya sebaiknya aku hubungi Bulek sekarang," gumamku bicara sendirian.Tangan ini dengan cepat meraih ponsel yang sudah terkunci layarnya. Kemudian mencari kontak Bulek Marni. Hanya menunggu beberapa kali panggilan
Aku menghela napas, kemudian mengucapkan terima kasih pada Pak Susanto yang telah memberikan informasi ini. Setelah itu aku putuskan sambungan teleponnya.Wajah murung terpancar dari wajahku. Lira menatapku penuh, ia pasti tahu apa yang tengah kurasakan. Dia amat peka padaku, namun justru sebaliknya, aku terlalu bodoh untuk membaca isi hatinya."Ada apa, Sayang?" Lira memiringkan kepalanya sambil fokus menatapku."Rumah Ibu sudah ada yang nempatin," jawabku sambil perlahan mengalihkan pandangan ke arah ibu.Saat itu wajah ibu menatapku aneh. Ia menautkan kedua alisnya. "Ngomong apa sih kamu, Dit? Kan memang kalau sore gini Marni bersih-bersih rumah," timpalnya masih saja membela adiknya.Sepertinya percuma kalau aku ngomong di sini dan menjelaskan panjang lebar pada ibu. Ia takkan pernah percaya padaku, ibu lebih percaya pada adiknya."Kita pulang kampung sekarang yuk, Bu," ajakku membuat ibu tersenyum semringah."Alhamdulillah, akhirnya kamu ngajak mudik mendadak," cetus ibu disertai
Pak Susanto menoleh ke arah sang istri yang baru saja datang. "Bu, ajak Bu Sani istirahat dulu, nanti pagi baru ngobrol lagi," seru Pak Susanto.Aku pun memejamkan mata sekadar mengistirahatkan sejenak. Pak Susanto pun tahu betapa lelahnya kamu berdua perjalanan dari Jakarta ke Semarang, meskipun dengan pesawat, tapi dari bandara ke kampung kami itu memakan waktu sekitar tiga jam.***Pagi telah mengeluarkan sinarnya, suasana kampung yang belum terkontaminasi dengan asap pabrik membuatku merasa sejuk saat bangun tidur.Kulihat ibu pun sudah bangun, ia mengikat rambutnya lalu menghampiri aku."Dit, ayo kita pulang, suruh orang yang parkir sembarangan itu pergi," ucap ibu membuatku iba."Kita ke rumah Bulek Marni sekarang yuk, Bu." Aku mengalihkan pembicaraan."Oh iya, kunci rumah ada pada Marni," jawab ibu membuat sang tuan rumah, Pak Susanto menoleh dengan mata berkaca-kaca. Namun, aku sudah meminta padanya untuk diam dan tidak mengatakan apa pun pada ibu. Sebab, aku ingin ibuku ini d
Tiba-tiba Sekar keluar dari kamarnya. Ia terkejut ada kami yang tengah duduk di tengah-tengah ibunya. Dengan langkah pelan Sekar pun ikut bergabung dengan kami. "Kalian di sini?" Sekar bertanya sambil mengelus perutnya yang mulai membesar."Ya, kami ke sini mau minta uang rumah yang telah dijual Bulek Marni," timpalku membuat Sekar tersenyum tipis."Bu, apa ini maksudnya Bude Sani sudah tahu semuanya?" Sekar pun bertanya tapi sayangnya ternyata ia tahu kebusukan ibunya."Ya, Bude kamu sudah tahu semuanya, biar dia tahu semua, supaya sadar bahwa selama ini telah menyakitiku," terang Bulek Marni.'Apa katanya tadi? Ibu menyakiti dia? Astaghfirullah, padahal ibuku mati-matian membelanya, bahkan istriku jadi korban karena hasutan Bulek,' batinku menggerutu.Langkah kakiku maju sedikit menuju Bulek Marni. Lalu menaikan sedikit lengan kemeja yang masih kukenakan."Bulek, bisakah akui kesalahan sendiri? Jangan menyalahkan orang lain atas apa yang telah Bulek lakukan, jangan-jangan Om Arsad
"Aku akan laporkan perbuatan Bulek ke polisi, ini namanya penipuan," ancamku padanya."Penipuan gimana? Ibumu tanda tangan dalam kondisi sadar, Mbak punya rekaman videonya yang direkam oleh Sekar," tutur Bulek Marni. Ia begitu licik, sehingga semua sudah diperhitungkan dengan matang, baik resiko maupun keuntungan.Kalau seperti ini memang bukan penipuan, ibuku juga salah karena terlalu percaya pada adiknya. Kini kepercayaan itu dihancurkan dan ibu mendengar pengakuan dari orangnya sendiri.Ada hikmah dibalik ini semua, sebuah kejujuran akan tetap menang meskipun terlambat. Aku tenang sekarang, karena ibu sudah mengetahui semua siapa Bulek Marni, dan dengan begitu, Lira pun akan terselamatkan dari tuduhan lagi. Rumah tanggaku akan kembali seperti dulu."Sekarang lebih baik kalian pergi dari sini, ya. Ini rumah saya, tolong jangan lama-lama berada di sini!" suruh Bulek Marni sambil membentangkan tangannya keluar rumah.Ibu menghela napas panjang. Lalu menatap adiknya nanar, setelah itu
Kemudian, Bulek Marni masuk ke dalam. Sedangkan ibu tetap diam di tempat. Ia menatap nanar rumah adiknya."Marni kenapa tega memanfaatkan janda seperti ibu ya, Dit?" Ibu bertanya pelan sambil memandang kosong ke arah rumah Bulek."Bu, nggak usah dipikirin, yang terpenting sekarang kita pulang terus minta maaf pada Lira dan keluarganya, jangan lihat kesalahan orang, kita introspeksi apa yang kita lakukan pada orang lain aja," ucapku sambil menepuk bahunya pelan."Ibu masih nggak nyangka, adik kandung sendiri menikam, semua harta peninggalan bapakmu digerogoti olehnya. Soleh mondok kan ibu yang bayarin hasil jual sawah," ucap ibu mengungkit semua yang telah terjadi. "Ini salah Ibu juga, terlalu percaya, meskipun adik sendiri, nggak usah seperti itu, Bu. Apalagi mengorbankan kebahagiaan sendiri," pesanku karena merasa kasihan pada ibu."Ibu sayang pada Marni. Mbahmu berpesan untuk akur dengan adik satu-satunya, Ibu hanya melakukan pesan terakhir dari orang tua," ungkap ibu. Namun, nasi
Aku langkahkan kaki ini ke arah Bulek Marni yang tengah berdiri cemas, kemudian aku menepuk pundaknya. Betapa terkejutnya ia dengan kehadiranku."Dit, ka-ka kamu ada di sini?" tanya Bulek Marni yang wajahnya terlihat pucat."Bulek, maksudnya apa barusan? Apa benar kalau Bulek penyebab kematian Bapak?" Aku langsung bertindak, sebab dia sendiri yang telah menghasut ibuku dan bilang bahwa Lira penyebab kematian bapak.Mata Bulek Marni kembali membulat, sorotannya penuh menatapku."Nggak gitu, Dit, Bulek nggak sengaja melakukan itu," terang Bulek. "Dit, jangan salah paham ya, Bulek nggak berani jadi pembunuh," tambahnya.Seberapa besar Lira sakit hati dituduh, itulah yang saat ini Bulek Marni rasakan."Sudah lah Bulek jangan membela diri Aku dengar sendiri, tadi Bulek mengatakan bahwa Tri mengetahui semuanya," cecarku."Iya, memang Tri tahu semuanya, tapi dia juga ngasal nuduh Bulek, Dit, percayalah, itu semua tidak sengaja," lirihnya."Tidak sengaja Bulek bilang? Nyawa bapak melayang tap
Aku masuk ke rumah dengan helaan napas panjang. Disertai ucapan bismillah, semoga Lira dan Andara ada di rumah."Lira! Assalamualaikum!" Aku berteriak menyapa dan mengungkapkan salam."Kosong ya, Dit?" Ibu mulai berasa rumah ini sepi.Aku masih berharap anak dan istriku tengah terlelap tidur. Langkah ini setengah berlari menuju kamar. Ibu pun mengekor di belakangku sambil terus memanggil nama menantunya.Kubuka pintu kamar ternyata kosong, nggak ada orang. Ibu yang berharap bertemu dengan Lira dan meminta maaf, kini duduk meluapkan kekecewaan.Di kasur tempat aku bercanda dan bersenda gurau dengan Lira, ibu meraih selembar baju yang masih tergeletak di atas ranjang."Lira, ini baju yang kamu kenakan sebelum Ibu dan Adit pamit ke Semarang," ucap ibuku berderai air mata. Aku yang menyaksikan ikut terharu, ternyata kali ini ibu benar-benar merasa bersalah dan ingin minta maaf pada Lira."Bu, coba hubungi Lira lagi, kali aja ia sudah aktif," suruhku sambil menyapu air matanya.Dengan cep