"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Catatan apa ini? Kenapa mulainya bisa ngepas saat ibuku tinggal di rumah?" Aku bertanya sendirian sambil membaca buku tebal berwarna hijau yang tersimpan di laci meja.20 Januari 2022 Rp. 3.500.000;0020 Februari 2022 Rp. 3.500.000;0020 Maret 2022 Rp. 3.500.000;00Sampai Agustus nominal yang tertera itu sama, kenapa bisa sebanyak itu? Catatan apa yang ditulis Lira, istriku?Sederet pertanyaan muncul di dalam benak ini. Namun, memory yang berputar di kepala mengingatkan aku pada awal Januari 2022, dimana ibuku datang dari kampung dan sampai saat ini tinggal bersama kami.Namaku Aditya Abraham, memiliki seorang istri bernama Lira Aurora. Pernikahan kami dikaruniai seorang anak wanita, namanya Andara Abraham.Sekejap mataku terpanah dengan ditemukannya list yang ditulis oleh Lira. Kalau utang, dari mana dia membayarnya?Tepat pukul 17:15 WIB. Lira datang dengan membawa anakku dalam gendongannya. "Kamu sudah pulang dari kantor, Mas? Kok tumben?" Lira menurunkan Andara dari gendongannya
"Aku ingin kamu tahu dari mulut ibumu sendiri, Mas, tidak dari aku, yang perlu kamu ketahui, ucapan Ibu sangat menyayat hati," terang Lira membuatku semakin penasaran.Aku menggoyangkan bahunya seraya memaksa Lira bicara."Kamu tidak anggap aku sebagai suami?" "Kalau tidak menganggap suami, tentu aku dan Andara sudah pergi dari rumah ini, justru karena aku sayang sama kamu, tidak ingin merusak hubungan antara seorang anak dan ibunya, terlebih ibumu sudah menjadi janda sejak Januari lalu," tutur Lira membuatku terenyuh.Kemudian, tangan ini mencekal pergelangan tangannya. Lalu menyuruhnya berdiri dan mengajaknya keluar dari kamar. Ya, aku akan bawa Lira ke hadapan ibu. Biarkan masalah ini kami bicarakan bertiga.Aku anak lelaki satu-satunya, memang berkewajiban menafkahi ibu. Namun, tanggung jawab terhadap anak dan istriku adalah suatu prioritas."Kita mau ke mana, Mas?" tanya Lira sambil mencoba membanting tangannya dan melepaskan dari genggaman tangan ini."Kita ke kamar Ibu," jawab
"Iya, aku, Bu. Kenapa dengan kedatanganku? Ada yang salah?" Aku mengukir senyuman supaya ibu tidak bisa berbohong pada anaknya."Nggak, Ibu kaget aja, soalnya lagi telepon Bulekmu, Nak," jawab ibu. "Sini duduk di sebelah Ibu," ajaknya sambil mengepakkan tangannya ke kursi.Akhirnya aku turuti kemauannya, duduk di teras bersama dengan ibu. Kemudian ia meletakkan tangan ini ke di atas telapak tangannya."Kamu dengar apa tadi, Sayang?" tanya ibu dengan mata menyorotiku penuh.Aku pun menatap wanita yang pernah melahirkan, menyusui dan merawat hingga besar. 'Kalau aku bicara padanya dan bilang dengar semuanya, maka tidak bisa mengetahui bahwa ibu ini tengah berbohong atau tidak,' batinku."Aku belum dengar semua, tadi hanya samar-samar, kalau boleh tahu, apa sih yang dibicarakan Ibu dengan Bulek?" tanyaku padanya. Adiknya ibu memang sangat dekat, ia selalu bertukar kabar. Aku pun seringnya transfer melalui rekening Bulek Marni."Oh, gitu, iya Ibu akan cerita semua ya, kamu dengarkan baik-
"Iya, Mas, semua ada sangkut pautnya, dan selama delapan bulan lamanya kamu tidak mengetahui hal ini," ucap Lira. "Maksud kamu? Ini ada kaitannya dengan catatan yang ada di buku tebal itu?" cecarku kini semakin penasaran. Tubuh ini juga berada dekat dengannya seraya tak ingin Lira menutupinya lagi."Iya, Mas, buku itu catatan utangku pada Ibu," jawab Lira dengan alis terangkat."Tapi utang apa?" cecarku masih belum bisa memahaminya.Lira menghela napas, tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tentu ibuku yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi? Kami tidak memiliki pembantu, kata ibu pemborosan kalau memakai asisten rumah tangga.Aku berteriak dan menyuruhnya masuk, ibu pun membuka pintunya dengan lebar, ia membawa Andara dalam gendongannya. Wajahnya dilipat sambil menghentakkan kaki ke arah kami berdua."Bangun nih, anak nangis nggak dengar, Lira, Lira, Ibu macam apa kamu, nggak gerak cepat!" celetuk ibu berkata amat kasar. Aku menghela napas sambil menelan ludah."Maaf, Bu."
Aku menghela napas lebih panjang, kemudian coba bicara dengan Mas Gani, berharap kakak iparku tenang dan tidak emosi dalam menyelesaikan masalah ini. "Mas, aku benar-benar nggak tahu dengan pekerjaan yang barusan Mas Gani sebut," ucapku saat masih tersambung dalam panggilan masuk. "Aku laki-laki, adikku yang paling kusayang, ibaratnya dia nikah muda aja aku izinkan karena berharap bahagia bersama kamu, Dit, tapi kenyataannya malah pahit. Kalau kamu nggak bisa bahagiain Lira, balikin baik-baik!" ketus Mas Gani. Aku takut kalau keluarganya sudah berkata seperti itu. Bukan takut menghadapinya, tapi takut kehilangan anak dan istriku. "Mas, kasih aku waktu untuk menyelesaikan ini semua, aku janji mulai besok Lira tidak akan bekerja lagi, aku pastikan itu, Mas," lirihku memohon. "Nggak yakin aku, Dit," jawabnya. Kemudian, sambungan telepon dimatikan begitu saja."Mas, halo, Mas," sapaku berharap tidak ditutup begitu saja. Namun, yang namanya saudara, pasti ikut sakit mendengar bahwa sa
Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis. Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi."Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi."Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira."Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua."Bu, tolong jaga sikap," pintaku."Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.Aku melirik sebentar ke arah mereka, han