"Aku akan laporkan perbuatan Bulek ke polisi, ini namanya penipuan," ancamku padanya."Penipuan gimana? Ibumu tanda tangan dalam kondisi sadar, Mbak punya rekaman videonya yang direkam oleh Sekar," tutur Bulek Marni. Ia begitu licik, sehingga semua sudah diperhitungkan dengan matang, baik resiko maupun keuntungan.Kalau seperti ini memang bukan penipuan, ibuku juga salah karena terlalu percaya pada adiknya. Kini kepercayaan itu dihancurkan dan ibu mendengar pengakuan dari orangnya sendiri.Ada hikmah dibalik ini semua, sebuah kejujuran akan tetap menang meskipun terlambat. Aku tenang sekarang, karena ibu sudah mengetahui semua siapa Bulek Marni, dan dengan begitu, Lira pun akan terselamatkan dari tuduhan lagi. Rumah tanggaku akan kembali seperti dulu."Sekarang lebih baik kalian pergi dari sini, ya. Ini rumah saya, tolong jangan lama-lama berada di sini!" suruh Bulek Marni sambil membentangkan tangannya keluar rumah.Ibu menghela napas panjang. Lalu menatap adiknya nanar, setelah itu
Kemudian, Bulek Marni masuk ke dalam. Sedangkan ibu tetap diam di tempat. Ia menatap nanar rumah adiknya."Marni kenapa tega memanfaatkan janda seperti ibu ya, Dit?" Ibu bertanya pelan sambil memandang kosong ke arah rumah Bulek."Bu, nggak usah dipikirin, yang terpenting sekarang kita pulang terus minta maaf pada Lira dan keluarganya, jangan lihat kesalahan orang, kita introspeksi apa yang kita lakukan pada orang lain aja," ucapku sambil menepuk bahunya pelan."Ibu masih nggak nyangka, adik kandung sendiri menikam, semua harta peninggalan bapakmu digerogoti olehnya. Soleh mondok kan ibu yang bayarin hasil jual sawah," ucap ibu mengungkit semua yang telah terjadi. "Ini salah Ibu juga, terlalu percaya, meskipun adik sendiri, nggak usah seperti itu, Bu. Apalagi mengorbankan kebahagiaan sendiri," pesanku karena merasa kasihan pada ibu."Ibu sayang pada Marni. Mbahmu berpesan untuk akur dengan adik satu-satunya, Ibu hanya melakukan pesan terakhir dari orang tua," ungkap ibu. Namun, nasi
Aku langkahkan kaki ini ke arah Bulek Marni yang tengah berdiri cemas, kemudian aku menepuk pundaknya. Betapa terkejutnya ia dengan kehadiranku."Dit, ka-ka kamu ada di sini?" tanya Bulek Marni yang wajahnya terlihat pucat."Bulek, maksudnya apa barusan? Apa benar kalau Bulek penyebab kematian Bapak?" Aku langsung bertindak, sebab dia sendiri yang telah menghasut ibuku dan bilang bahwa Lira penyebab kematian bapak.Mata Bulek Marni kembali membulat, sorotannya penuh menatapku."Nggak gitu, Dit, Bulek nggak sengaja melakukan itu," terang Bulek. "Dit, jangan salah paham ya, Bulek nggak berani jadi pembunuh," tambahnya.Seberapa besar Lira sakit hati dituduh, itulah yang saat ini Bulek Marni rasakan."Sudah lah Bulek jangan membela diri Aku dengar sendiri, tadi Bulek mengatakan bahwa Tri mengetahui semuanya," cecarku."Iya, memang Tri tahu semuanya, tapi dia juga ngasal nuduh Bulek, Dit, percayalah, itu semua tidak sengaja," lirihnya."Tidak sengaja Bulek bilang? Nyawa bapak melayang tap
Aku masuk ke rumah dengan helaan napas panjang. Disertai ucapan bismillah, semoga Lira dan Andara ada di rumah."Lira! Assalamualaikum!" Aku berteriak menyapa dan mengungkapkan salam."Kosong ya, Dit?" Ibu mulai berasa rumah ini sepi.Aku masih berharap anak dan istriku tengah terlelap tidur. Langkah ini setengah berlari menuju kamar. Ibu pun mengekor di belakangku sambil terus memanggil nama menantunya.Kubuka pintu kamar ternyata kosong, nggak ada orang. Ibu yang berharap bertemu dengan Lira dan meminta maaf, kini duduk meluapkan kekecewaan.Di kasur tempat aku bercanda dan bersenda gurau dengan Lira, ibu meraih selembar baju yang masih tergeletak di atas ranjang."Lira, ini baju yang kamu kenakan sebelum Ibu dan Adit pamit ke Semarang," ucap ibuku berderai air mata. Aku yang menyaksikan ikut terharu, ternyata kali ini ibu benar-benar merasa bersalah dan ingin minta maaf pada Lira."Bu, coba hubungi Lira lagi, kali aja ia sudah aktif," suruhku sambil menyapu air matanya.Dengan cep
"Sudahlah, kamu ikut aja, ruangan ini penuh dengan cctv, Mas Gani nggak mau Adit tahu," timpal Mas Gani membuat lututku lemas seketika. Bahu ini kuturunkan sedikit seraya kecewa tidak ada titik terang di mana keberadaan istriku saat ini.Aku tutup laptop karena ini semua percuma, Mas Gani tahu ruangan ini penuh dengan cctv, jadi tidak akan mungkin memberikan petunjuknya."Yah, nggak ada petunjuk ya, Dit? Kita langsung ke Karawang aja sekarang yuk!" ajak ibu.Aku menyorotnya penuh. Mungkin ia sangat merasa bersalah atas kepergian Lira. "Besok pagi aja, Bu," jawabku lemas.Ibu menatapku sendu, "Dit, boleh ibu tahu Lira menulis apa di catatan?" tanya ibu."Sebentar, Bu, aku ambil catatan milik Lira," jawabku. Ibu pun menunggu aku mengambil catatan itu. Setelah sudah di tangan, aku langsung menunjukkan padanya.Buku itu mulai dibuka perlembar, buku catatan yang sering dicoret oleh Lira. Selama menikah, aku pun baru mengetahui kebiasaan Lira yang sering mencatat apa yang penting dalam hi
Aku mulai membaca satu demi satu. Begitu banyaknya catatan yang ditulis istriku saat kecil dulu. Tulisannya masih berantakan dan penuh coretan skema wajah yang dibuat sesuai mood saat ia menuliskan kisahnya dalam buku catatannya.Ada suka dan duka, banyak suka citanya, aku yang membacanya pun turut tersenyum. Namun, di tengah-tengah catatan, ada sebuah surat keterangan dokter yang terlihat sudah sangat lama sekali."Tumor?" Aku bertanya pada eyang. Ibu pun menoleh ketika aku menyebutkan nama penyakit yang tidak asing lagi."Ya, tapi itu sudah dioperasi sepuluh tahun silam," terang eyang. Kamu berdua bernapas lega sambil memegang dada. Pantas saja di bagian dadanya ada sebuah garis bekas jahitan, tapi tiap kali ditanya olehku, hanyalah jahitan saat ia kecelakaan sepeda. Aku sangat menyayangi istriku, jadi segala ucapannya selalu kupercaya."Baca di belakangnya lagi, Adit," suruh eyang.Aku membuka lembaran berikutnya sesuai perintah eyang, dan betapa kagetnya saat membaca lembaran ber
Kemudian, suster datang menghampiriku. Ia dan petugas lainnya mendorong kereta dan membawaku ke suatu tempat, yaitu ruang operasi."Saya mau dioperasi, Sus?" tanyaku padanya."Iya, Pak. Barusan saudara Pak Adit sudah menandatangani persetujuan untuk dilakukan operasi, kaki Bapak itu patah, harus segera ditangani," terang suster."Saudara? Siapa, Sus?""Nggak tahu, polisi yang menghubungi saudara Bapak. Sekarang Pak Adit tenang, tidak perlu memikirkan apa-apa," suruh suster."Lantas bagaimana kondisi Ibu saya, Sus?" tanyaku padanya.Suster terdiam, lalu ia memanggil rekannya untuk menggantikan bajuku dengan pakaian operasi. Pertanyaanku tidak dijawab olehnya. 'Tenang, Adit, ada Allah yang melindungi Ibu,' batinku menenangkan diri. Musibah ini terjadi begitu cepat, sudah takdir yang membuat aku mengalami kecelakaan, padahal sudah hampir menemukan Lira, istriku. Bagaimana kabarnya? Apa Lira baik-baik saja? Andara, apakah putriku dalam kondisi sehat? Terakhir kami menuju rumah sakit yang
Aku berdecak kesal. Mas Gani pun mengamati tingkah dan jawaban yang aku lontarkan. Tega dan tidak tega aku harus bertindak tegas pada Bulek, supaya ia lebih paham akan arti saudara yang sesungguhnya. Selama ini ia memanfaatkan kata-kata saudara kandung pada ibuku."Bulek, saat ini aku terkapar di rumah sakit, Ibu koma, Lira pun kondisinya melemah. Jadi maaf, aku tidak bisa bantu, di sini banyak urusan yang lebih penting, lagian semua berantakan juga akibat perbuatan Bulek Marni dan Sekar," tegasku padanya. Sebenarnya hati ini tidak ingin mengatakan bahkan menyalahkan orang lain atas musibah yang kami alami, tapi aku sudah sangat kesal padanya."Kamu kenapa, Dit? Mbak Sani juga kenapa bisa koma? Lira, apakah ia baik-baik saja?" Pertanyaan yang ia lontarkan bertubi-tubi."Aku kecelakaan dan kini Ibu koma, kalau Lira, ternyata ia punya pernah didiagnosis kanker oleh dokter," terangku. Semoga dengan penjelasan ini Bulek Marni mengerti."Syukurlah." Ucapan Bulek mengejutkanku."Kok syukurl