Share

Bab 4

"Iya, Mas, semua ada sangkut pautnya, dan selama delapan bulan lamanya kamu tidak mengetahui hal ini," ucap Lira. 

"Maksud kamu? Ini ada kaitannya dengan catatan yang ada di buku tebal itu?" cecarku kini semakin penasaran. Tubuh ini juga berada dekat dengannya seraya tak ingin Lira menutupinya lagi.

"Iya, Mas, buku itu catatan utangku pada Ibu," jawab Lira dengan alis terangkat.

"Tapi utang apa?" cecarku masih belum bisa memahaminya.

Lira menghela napas, tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tentu ibuku yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi? Kami tidak memiliki pembantu, kata ibu pemborosan kalau memakai asisten rumah tangga.

Aku berteriak dan menyuruhnya masuk, ibu pun membuka pintunya dengan lebar, ia membawa Andara dalam gendongannya. Wajahnya dilipat sambil menghentakkan kaki ke arah kami berdua.

"Bangun nih, anak nangis nggak dengar, Lira, Lira, Ibu macam apa kamu, nggak gerak cepat!" celetuk ibu berkata amat kasar. Aku menghela napas sambil menelan ludah.

"Maaf, Bu." Kata itu kudengar keluar dari mulut Lira, istriku. Dari sini aku semakin sangat sayang padanya, ia dengar sendiri tadi celetukan ibu sangat kasar, tapi berusaha mengalah, ini yang membuatku takjub dan menyanjungnya.

"Bu, bicaranya jangan kasar gitu, aku nggak tega dengarnya," pesanku pada ibu.

"Adit, Ibu nggak pernah marah ya, ini karena kasihan saja pada Andara, punya seorang Mama yang tidak peka," ucap ibu lagi membela dirinya.

Aku terdiam sambil menatap wajah Lira, matanya sudah tampak basah saat menatapku. Ia memindahkan Andara dari gendongan ibu tanpa bicara. Aku tahu ini pilihan bijak, ia tidak mau memperpanjang masalah.

Tiba-tiba panggilan masuk datang dari mertuaku yang laki-laki. Alisku menyatu saat melihat ke layar ponsel. Kemudian, aku segera mengangkatnya sedikit menjauh dari mereka. Sekitar dua meter aku melangkah dekat jendela kamar.

"Halo, Pah," ucapku lebih dulu. Namun mata ini tetap memantau kedua wanita di hadapanku.

"Dit, kamu sudah di rumah?" tanya papa mertuaku, Hardi Rahman. 

"Sudah, Pah," jawabku singkat.

"Ada Lira? Kok Papa telepon nggak diangkat ya?" tanyanya membuatku sontak menoleh ke arah Lira. Kulihat posisi berdiri Lira kini bersebelahan dengan ibuku, terlihat jelas ibu seperti mendekati istriku.

"A-ada, Pah. Mau ngomong?" tanyaku agak gugup setelah menyaksikan perpindahan tempat ibuku berdiri.

"Nggak usah, Dit, justru itu, kamu bisa keluar dulu nggak? Jangan ada Lira bicaranya, ada yang ingin papa bicarakan," suruhnya membuatku terdiam. 

'Aku keluar? Artinya mereka berdua di dalam kamar. Ya Tuhan, ini pilihan sangat sulit sekali,' gumamku di dalam hati, jari jemari ini berada di pelipis untuk melepaskan kegundahan hati.

"Baik, Pah," jawabku sambil melangkah keluar kamar, tidak ada pilihan lain, mertuaku ingin bicara di telepon sampai harus jaga jarak dengan Lira, itu artinya penting dan tidak boleh diketahui oleh Lira.

Akhirnya aku keluar kamar meskipun dalam hati ini cemas dengan kondisi Lira yang aku biarkan berdua dengan ibuku. 'Semoga Lira tidak diapa-apain Ibu,' batinku.

Setelah sudah berada di teras rumah, aku duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Telepon genggam aku letakkan di telinga kembali.

"Halo, Pah, aku sudah di depan," ucapku memulai lagi.

"Dit, jadi belum lama ini Papa mendapatkan kabar dari salah satu rekan baik, ini tentang Lira yang sering keluar rumah dari pagi hingga sore, apa kamu mengetahui ini?" tanya papa.

Astaga, pertanyaan dari mertuaku membuat jantung ini berdetak tak karuan, debarannya saling berkejaran.

"Nggak, Pah, memang Lira sering keluar pagi hingga sore?" tanyaku balik. Kemudian, aku teringat ucapan ibuku di telepon dengan Bulek Marni, yang dia bilang istriku mengemis. Apa ini yang dimaksud papa mertuaku?

Papa terdengar menghela napas kasar, sepertinya ia kecewa dengan jawabanku.

"Dit, kamu ini harus selidiki dong, jangan diam aja," tutur papa.

"Tapi, Pah. Aku benar-benar nggak tahu kalau tiap pagi sampai sore Lira itu pergi. Tadi aku pulang lebih awal dan tanya dia abis dari mana, dan Lira jawab abis jalan-jalan sore dengan Andara," jelasku supaya papa mertua tidak salah paham.

"Dit, kenapa kamu kalah cepat dengan mertuamu, ayah dari istrimu? Seharusnya ini adalah kewajiban dari seorang suami, tugasmu, Dit!" sentak mertuaku.

"Iya, Pah, sekali lagi aku minta maaf, kali ini benar-benar lengah dengan seisi rumah, maaf ya, Pah. Tapi tolong kasih tahu sebenarnya apa yang telah terjadi?" cecarku pada mertua yang sangat menyayangi anak bungsunya itu.

Hening, seketika suasana di seberang sana menjadi hening, tapi tiba-tiba ada yang mengambil alih teleponnya.

"Biar aku aja yang ngomong dengan Adit," ucap suara seorang lelaki di seberang sana, aku tahu itu Mas Gani, kakaknya istriku.

"Ya, Mas, ada apa ya?" tanyaku karena sudah mengetahui siapa yang tengah bicara padaku.

"Kamu tahu ini saya, Gani? Bagus kalau gitu." Tampaknya ia marah, nada bicaranya sedikit ketus.

"Iya, Mas, aku tahu, kalau boleh tahu ada apa ya, Mas?" Aku bicara dengan dada yang bergetar hebat.

"Kamu tahu nggak, Dit. Adikku yang paling aku manja, dia yang kugendong-gendong sewaktu kecil, Lira banting tulang dari pagi membawa Andara!" sentak Mas Gani semakin membuatku gemetar, keringat pun mulai keluar karena takut dengan ucapan yang dilontarkannya.

"Ya Allah, Mas. Aku nggak tahu akan hal ini, Lira sering keluar pagi dan pulang sore pun aku baru tahu, Mas," jawabku. 

"Suami macam apa kamu, Dit? Istrinya pagi jadi guru TK, siang jadi tukang cuci, sore jadi guru ngaji, kamu nggak tahu itu, Dit? Hah! Jawab!" 

Deg! Jantungku seketika berhenti mendengar penuturan kakak ipar. 'Guru TK, tukang cuci, guru ngaji?' tanyaku dalam hati.

Mas Gani pasti benar-benar marah, ia bicara dengan nada yang tinggi padaku. Padahal aku baru tahu dari mulut sang kakak ipar barusan.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Kasihan banget lira
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status