"Iya, Mas, semua ada sangkut pautnya, dan selama delapan bulan lamanya kamu tidak mengetahui hal ini," ucap Lira.
"Maksud kamu? Ini ada kaitannya dengan catatan yang ada di buku tebal itu?" cecarku kini semakin penasaran. Tubuh ini juga berada dekat dengannya seraya tak ingin Lira menutupinya lagi.
"Iya, Mas, buku itu catatan utangku pada Ibu," jawab Lira dengan alis terangkat.
"Tapi utang apa?" cecarku masih belum bisa memahaminya.
Lira menghela napas, tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tentu ibuku yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi? Kami tidak memiliki pembantu, kata ibu pemborosan kalau memakai asisten rumah tangga.
Aku berteriak dan menyuruhnya masuk, ibu pun membuka pintunya dengan lebar, ia membawa Andara dalam gendongannya. Wajahnya dilipat sambil menghentakkan kaki ke arah kami berdua.
"Bangun nih, anak nangis nggak dengar, Lira, Lira, Ibu macam apa kamu, nggak gerak cepat!" celetuk ibu berkata amat kasar. Aku menghela napas sambil menelan ludah.
"Maaf, Bu." Kata itu kudengar keluar dari mulut Lira, istriku. Dari sini aku semakin sangat sayang padanya, ia dengar sendiri tadi celetukan ibu sangat kasar, tapi berusaha mengalah, ini yang membuatku takjub dan menyanjungnya.
"Bu, bicaranya jangan kasar gitu, aku nggak tega dengarnya," pesanku pada ibu.
"Adit, Ibu nggak pernah marah ya, ini karena kasihan saja pada Andara, punya seorang Mama yang tidak peka," ucap ibu lagi membela dirinya.
Aku terdiam sambil menatap wajah Lira, matanya sudah tampak basah saat menatapku. Ia memindahkan Andara dari gendongan ibu tanpa bicara. Aku tahu ini pilihan bijak, ia tidak mau memperpanjang masalah.
Tiba-tiba panggilan masuk datang dari mertuaku yang laki-laki. Alisku menyatu saat melihat ke layar ponsel. Kemudian, aku segera mengangkatnya sedikit menjauh dari mereka. Sekitar dua meter aku melangkah dekat jendela kamar.
"Halo, Pah," ucapku lebih dulu. Namun mata ini tetap memantau kedua wanita di hadapanku.
"Dit, kamu sudah di rumah?" tanya papa mertuaku, Hardi Rahman.
"Sudah, Pah," jawabku singkat.
"Ada Lira? Kok Papa telepon nggak diangkat ya?" tanyanya membuatku sontak menoleh ke arah Lira. Kulihat posisi berdiri Lira kini bersebelahan dengan ibuku, terlihat jelas ibu seperti mendekati istriku.
"A-ada, Pah. Mau ngomong?" tanyaku agak gugup setelah menyaksikan perpindahan tempat ibuku berdiri.
"Nggak usah, Dit, justru itu, kamu bisa keluar dulu nggak? Jangan ada Lira bicaranya, ada yang ingin papa bicarakan," suruhnya membuatku terdiam.
'Aku keluar? Artinya mereka berdua di dalam kamar. Ya Tuhan, ini pilihan sangat sulit sekali,' gumamku di dalam hati, jari jemari ini berada di pelipis untuk melepaskan kegundahan hati.
"Baik, Pah," jawabku sambil melangkah keluar kamar, tidak ada pilihan lain, mertuaku ingin bicara di telepon sampai harus jaga jarak dengan Lira, itu artinya penting dan tidak boleh diketahui oleh Lira.
Akhirnya aku keluar kamar meskipun dalam hati ini cemas dengan kondisi Lira yang aku biarkan berdua dengan ibuku. 'Semoga Lira tidak diapa-apain Ibu,' batinku.
Setelah sudah berada di teras rumah, aku duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Telepon genggam aku letakkan di telinga kembali.
"Halo, Pah, aku sudah di depan," ucapku memulai lagi.
"Dit, jadi belum lama ini Papa mendapatkan kabar dari salah satu rekan baik, ini tentang Lira yang sering keluar rumah dari pagi hingga sore, apa kamu mengetahui ini?" tanya papa.
Astaga, pertanyaan dari mertuaku membuat jantung ini berdetak tak karuan, debarannya saling berkejaran.
"Nggak, Pah, memang Lira sering keluar pagi hingga sore?" tanyaku balik. Kemudian, aku teringat ucapan ibuku di telepon dengan Bulek Marni, yang dia bilang istriku mengemis. Apa ini yang dimaksud papa mertuaku?
Papa terdengar menghela napas kasar, sepertinya ia kecewa dengan jawabanku.
"Dit, kamu ini harus selidiki dong, jangan diam aja," tutur papa.
"Tapi, Pah. Aku benar-benar nggak tahu kalau tiap pagi sampai sore Lira itu pergi. Tadi aku pulang lebih awal dan tanya dia abis dari mana, dan Lira jawab abis jalan-jalan sore dengan Andara," jelasku supaya papa mertua tidak salah paham.
"Dit, kenapa kamu kalah cepat dengan mertuamu, ayah dari istrimu? Seharusnya ini adalah kewajiban dari seorang suami, tugasmu, Dit!" sentak mertuaku.
"Iya, Pah, sekali lagi aku minta maaf, kali ini benar-benar lengah dengan seisi rumah, maaf ya, Pah. Tapi tolong kasih tahu sebenarnya apa yang telah terjadi?" cecarku pada mertua yang sangat menyayangi anak bungsunya itu.
Hening, seketika suasana di seberang sana menjadi hening, tapi tiba-tiba ada yang mengambil alih teleponnya.
"Biar aku aja yang ngomong dengan Adit," ucap suara seorang lelaki di seberang sana, aku tahu itu Mas Gani, kakaknya istriku.
"Ya, Mas, ada apa ya?" tanyaku karena sudah mengetahui siapa yang tengah bicara padaku.
"Kamu tahu ini saya, Gani? Bagus kalau gitu." Tampaknya ia marah, nada bicaranya sedikit ketus.
"Iya, Mas, aku tahu, kalau boleh tahu ada apa ya, Mas?" Aku bicara dengan dada yang bergetar hebat.
"Kamu tahu nggak, Dit. Adikku yang paling aku manja, dia yang kugendong-gendong sewaktu kecil, Lira banting tulang dari pagi membawa Andara!" sentak Mas Gani semakin membuatku gemetar, keringat pun mulai keluar karena takut dengan ucapan yang dilontarkannya.
"Ya Allah, Mas. Aku nggak tahu akan hal ini, Lira sering keluar pagi dan pulang sore pun aku baru tahu, Mas," jawabku.
"Suami macam apa kamu, Dit? Istrinya pagi jadi guru TK, siang jadi tukang cuci, sore jadi guru ngaji, kamu nggak tahu itu, Dit? Hah! Jawab!"
Deg! Jantungku seketika berhenti mendengar penuturan kakak ipar. 'Guru TK, tukang cuci, guru ngaji?' tanyaku dalam hati.
Mas Gani pasti benar-benar marah, ia bicara dengan nada yang tinggi padaku. Padahal aku baru tahu dari mulut sang kakak ipar barusan.
Bersambung
Aku menghela napas lebih panjang, kemudian coba bicara dengan Mas Gani, berharap kakak iparku tenang dan tidak emosi dalam menyelesaikan masalah ini. "Mas, aku benar-benar nggak tahu dengan pekerjaan yang barusan Mas Gani sebut," ucapku saat masih tersambung dalam panggilan masuk. "Aku laki-laki, adikku yang paling kusayang, ibaratnya dia nikah muda aja aku izinkan karena berharap bahagia bersama kamu, Dit, tapi kenyataannya malah pahit. Kalau kamu nggak bisa bahagiain Lira, balikin baik-baik!" ketus Mas Gani. Aku takut kalau keluarganya sudah berkata seperti itu. Bukan takut menghadapinya, tapi takut kehilangan anak dan istriku. "Mas, kasih aku waktu untuk menyelesaikan ini semua, aku janji mulai besok Lira tidak akan bekerja lagi, aku pastikan itu, Mas," lirihku memohon. "Nggak yakin aku, Dit," jawabnya. Kemudian, sambungan telepon dimatikan begitu saja."Mas, halo, Mas," sapaku berharap tidak ditutup begitu saja. Namun, yang namanya saudara, pasti ikut sakit mendengar bahwa sa
Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis. Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi."Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi."Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira."Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua."Bu, tolong jaga sikap," pintaku."Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.Aku melirik sebentar ke arah mereka, han
Setelah menunggu sekitar satu menit, ibuku muncul dengan membawa ponsel. Kemudian, ia mengusap layar ponselnya, dan memberikan pesan yang masih tersimpan di aplikasi berlogo gagang telepon.Aku membacanya lebih dulu, sebuah pesan singkat yang memaksa ibu untuk mentransfer uang yang telah ditransfer olehku.[Bu, Lira mohon balikin uangnya sekarang juga ya. Itu uang suamiku, Ibu nggak berhak minta-minta. Mas Adit adalah milikku.]Deg!Dada ini berdegup kencang. Namun, aku tidak percaya begitu saja, bisa saja pengirimannya bukan Lira. Aku melihat nomor yang sangat aku hapal, tapi ternyata itu benar kontak Lira, istriku. Rasa tak percaya membuat kepala ini spontan menggeleng-geleng."Coba lihat, Lira, ini kontak kamu, aku hapal betul nomormu," ucapku pada istri yang tengah menggandeng lengan ini.Dengan cepat telapak tangannya meraih ponsel yang aku pegang. Mata istriku seketika membulat dan kepalanya menunjukkan rasa tak percaya."Nggak, Mas. Aku nggak pernah kirim pesan itu," sanggah Li
Lira menyunggingkan senyuman di sela-sela air mata yang berjatuhan. Aku menghela napas dan ikut tersenyum sebagai kekuatan untuknya."Pergilah, Sayang, aku izinkan. Doakan suamimu ini menemukan titik terang masalah ini," ucapku sambil menghapus air matanya. Jari jemari ini berada di pipi kanan dan kirinya."Aku doakan selalu untukmu, Mas. Mungkin ini salah satu bumbu dari rumah tangga kita yang selama ini adem, semoga setelah dihujani masalah akan muncul pelangi yang indah," ungkap Lira membuatku terenyuh. Seorang guru TK, buruh cuci, dan guru ngaji selama delapan bulan, ternyata begitu sejuk kata-katanya, ia sangat dewasa menyikapi ini semua.Aku terharu memiliki seorang istri yang begitu ikhlas, ia sangat kuat menghadapi ini semua seorang diri, tanpa aku yang seharusnya sebagai penanggung jawab.Lira mengulurkan tangannya, ia meminta tangan ibu dan mengecupnya tanpa dendam. Ia tidak marah pada ibu, justru masih berusaha hormat padanya.Kemudian, Mas Gani membawa istri dan anakku. Se
"Ada apa? Tentang uang yang ditransfer? Sore ini Marni ke sini bersama Sekar mau jelasin katanya, udah kamu tunggu mereka datang. Sekar lagi hamil tua loh rela datang ke sini," timpal ibu malah membuat aku berdecak kesal."Bu, Ibu sudah cerita ke Bulek Marni?" tanyaku heran. Kenapa sih tiap ada masalah keluarga, selalu saja ibuku cerita pada adiknya. Padahal orang yang kita percayai belum tentu amanah. Lagi pula ini masalah keluarga, meskipun ia adiknya seharusnya ibu nggak perlu bercerita sampai detail."Ibu kan ceritanya ke dia, kami sudah nggak punya orang tua, jadi harus saling berbagi, melengkapi, saling bertukar pikiran kalau ada masalah. Kalau kamu kan anak tunggal, jadi kalau bisa ya yang akur dengan Sekar dan Soleh, Dit," seru ibuku.Aku hanya tersenyum pasrah, tidak lagi bicara dengannya masalah tuduhanku terhadap Sekar. Sebab, ini pasti percuma, ditambah lagi Bulek Marni mau datang ke kota hanya untuk menjelaskan. Pasti ibu merasa adiknya ini adalah orang baik."Memang yang
Lira minta uang cash? Aku rasa Bulek Marni hanya membual supaya ibu percaya, tapi aku harus bagaimana meyakinkan ibu?"Lira nggak mungkin minta uang itu lagi, tunai pula," sahutku padanya.Mata Sekar mendadak basah. Suara sesegukan terdengar dari mulutnya. Kemudian, ibuku menghampiri Sekar."Dit, lihat tuh, kamu menyakiti sepupumu yang tengah hamil," celetuk ibuku."Nyakitin apa, Bu? Aku hanya nggak percaya istriku minta uang itu, melalui Sekar pula," cetusku sambil menyorot wajah Sekar. Namun, ia menunduk sambil mengeluarkan air mata, lalu memeluk ibuku."Bude, aku merasa Mas Adit ini tengah menuduhku, bagaimana perasaan Bude jika dituduh?" Sekar menghela napas sambil menyingkirkan air matanya."Dit, kamu minta maaf sama Sekar ya, sudahlah Dit, kita sudahi masalah ini, Bulekmu telah mengakui bahwa dia transfer Sekar, tapi kan uangnya dikasih ke Lira. Ibu pun sudah mendapatkan gantinya ya kan?" Ibu memberikan solusi terakhir yaitu melupakan masalah ini.Namun, masalah ini sudah terlan
"Ada apa, Bu?" tanya Lira juga. Meskipun sudah disakiti, ia tetap menghormati ibuku."Barusan tetangga di kampung telepon, katanya kemarin ada yang lihat-lihat rumah peninggalan Bapak, dan bilang rumah Ibu mau dijual Marni," terang ibu membuat Mas Gani sontak bertepuk tangan."Sekarang sudah jelas, kan? Bulek Marni itu yang menjadi biang kerok," cetus Mas Gani.Ibu menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya."Ibu nggak percaya, ini pasti fitnah, ada yang tidak suka dengan Ibu dan Marni yang selalu akur dan saling percaya," jawab ibu."Bu, Lira juga tidak pernah kirim pesan ke Ibu, percayalah, yang kirim pesan pasti Sekar, uang yang dibilang Sekar diberikan secara tunai pun tak pernah aku terima, aku berani sumpah, Bu," lirih Lira kembali membicarakan tentang uang kiriman saat bapak terpeleset."Sudahlah, Lira, kan Ibu ke sini mau minta maaf, jangan bahas soal uang itu lagi ya, semua kita anggap selesai," pinta ibuku.Meskipun masih janggal di dada, tapi aku pun sudah enggan membahas
"Bu, aku punya firasat nggak enak, tolong hubungi Bulek ya," suruhku.Ibu terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah layar ponselnya."Ibu telepon, kalau diangkat itu artinya Bulek nggak ada niat jahat ya," usul ibu.Aku hanya mengangguk. Sebab, kalau langsung menuduh juga terkesan prasangka buruk pada adiknya ibu.Kemudian, ibu menghubungi Bulek Marni, dan masih diangkat olehnya. Ibuku hanya berpesan untuk menghubunginya kalau sudah tiba di kampung, sebagai alasan kenapa baru saja ditinggalkan sudah menelepon.Setelah ibu mematikan ponselnya. Ia berdecak kesal padaku dan Lira. "Heran sama kalian, kenapa curigaan terus sih?" Ibu merengut sambil masuk ke dalam kamarnya.Kemudian Lira memandangku dengan senyuman. "Prasangka buruk itu memang hasutan setan, Mas, kalau belum ada bukti, lebih baik diam," ucap Lira seraya menasihati.Ia menuntunku ke kamar, khawatir Andara sudah bangun dari tidurnya. Namun, anak kami masih tertidur pulas di atas ranjang.***Matahari sudah terbenam. Seperti biasa