"Iya, aku, Bu. Kenapa dengan kedatanganku? Ada yang salah?" Aku mengukir senyuman supaya ibu tidak bisa berbohong pada anaknya.
"Nggak, Ibu kaget aja, soalnya lagi telepon Bulekmu, Nak," jawab ibu. "Sini duduk di sebelah Ibu," ajaknya sambil mengepakkan tangannya ke kursi.
Akhirnya aku turuti kemauannya, duduk di teras bersama dengan ibu. Kemudian ia meletakkan tangan ini ke di atas telapak tangannya.
"Kamu dengar apa tadi, Sayang?" tanya ibu dengan mata menyorotiku penuh.
Aku pun menatap wanita yang pernah melahirkan, menyusui dan merawat hingga besar. 'Kalau aku bicara padanya dan bilang dengar semuanya, maka tidak bisa mengetahui bahwa ibu ini tengah berbohong atau tidak,' batinku.
"Aku belum dengar semua, tadi hanya samar-samar, kalau boleh tahu, apa sih yang dibicarakan Ibu dengan Bulek?" tanyaku padanya. Adiknya ibu memang sangat dekat, ia selalu bertukar kabar. Aku pun seringnya transfer melalui rekening Bulek Marni.
"Oh, gitu, iya Ibu akan cerita semua ya, kamu dengarkan baik-baik," timpal ibu sambil melepaskan tangannya dari telapak tanganku.
Aku menyimak obrolan ibu, helaan napas terdengar kasar keluar dari mulut ibuku. Kemudian, tiba-tiba saja dia mengeluarkan air mata.
"Jadi, Marni ini baik banget, lagi bantu Ibu jual sawah di kampung," ucap ibu disertai isak tangis.
Aku keheranan mendengarnya, sebab tidak sesuai dengan yang aku dengar tadi. 'Itu artinya ibuku sedang menutupi sesuatu,' batinku. "Terus, Bu?" Aku berlagak percaya.
"Kok terus sih, Dit, kamu nggak peka pada ibumu? Kan mau jual sawah, itu artinya Ibu butuh uang, seharusnya kamu bilang jangan sampai dijual gitu atau cegah," tutur ibu seakan meminta uang lagi padaku.
Aku paham sekarang, ada yang tidak beres dengan keluargaku.
"Memang Ibu jual sawah untuk apa? Kan nggak ada yang diurus lagi?" Aku bertanya tapi seakan menyecar.
"Marni itu adik kandung Ibu, dia butuh uang untuk pesantren si Soleh, anaknya, yang tidak lain adik sepupu kamu, Dit," jelas ibu lagi.
"Kenapa Ibu yang repot jual sawah, Bu? Bukankah itu kewajiban Bulek? Bukankah kita juga sudah bantu Bulek saat menikahkan Sekar tahun lalu?" Ibu terdiam, ia menggelengkan kepalanya.
"Ibu tidak menyangka kamu sepelit ini, Dit? Jangan hitung-hitungan dengan saudara sendiri, hitungan itu dengan istrimu yang orang lain tapi kamu bawakan mahar lima puluh juta, tiga tahun yang lalu," tutur ibu jadi mengungkitnya.
Aku menghela napas panjang, aku memberikan mahar lima puluh juta juga hasil dari tabungan kami berdua sewaktu pacaran. Astaga, kenapa ibu jadi mengungkitnya?
"Oke, Bu. Maaf kalau nyinggung, sekarang Adit mau tanya lagi, hanya itu saja yang Ibu obrolin bersama Bulek Marni tadi?" tanyaku sekali lagi.
"Tadi Ibu cerita pada Marni, bahwa beruntung memiliki menantu seperti Lira, penurut dan penyayang," ungkap ibuku. Jelas ini adalah kebohongan, sebab tadi aku dengar dengan telinga ini sendiri, bahwa ibuku menertawakan Lira yang sibuk bekerja dari pagi hingga sore.
'Baiklah, kalau ibu tidak mau jujur, berati aku yang harus mengungkap ini semua. Ya, catatan istriku, ucapan ibu yang menyebutkan nominal lumayan fantastis, dan transferan uang yang kutransfer sewaktu bapakku jatuh dan dilarikan ke rumah sakit,' gumamku dalam hati.
"Ya sudah, aku masuk dulu," jawabku singkat.
Kemudian, kaki ini melangkah masuk ke dalam. Namun, aku melihat Lira yang juga beranjak dari sudut pintu. Sepertinya istriku mendengarkan percakapan kami berdua, ia masuk ke kamar dengan langkah cepat.
Aku menyusulnya, lalu melihat Lira duduk di ranjang sendirian sambil menitihkan air mata. Sebagai suami, hati ini langsung mencelos melihat istriku lagi-lagi mengeluarkan air matanya di hadapanku. Sesakit itu kah batinnya? Hingga sulit mengatakan dan hanya diungkapkan dengan tangisan dan air mata?
"Nangis lagi? Tapi nggak mau cerita. Jangan buat aku merasa bersalah dan gagal menjadi seorang suami," cetusku seakan memaksanya untuk cerita.
Namun, Lira sontak memeluk tubuh ini dengan menyergap cepat. Dagunya berada di atas bahu yang sesungguhnya kekar tapi malah membuat anak orang menderita seperti ini.
"Aku mau cerita tapi takut kesalahan, Mas, jadi aku itu serba salah," lirih Lira.
"Ya, aku harus cari tahu sendiri, itu kan maksud kamu? Ibu nggak jujur, kamu pun sama, dan perasaanku saat ini jadi terombang-ambing," sesalku sambil membalas pelukannya, aku mengelus-elus rambutnya yang tadi aku sisir.
"Aku mau jujur, Mas, tapi aku takut dengan ancaman ibumu. Ya Allah aku sayang keduanya, aku sayang kamu, sayang juga pada Ibu," timpal Lira lagi. "Dulu Ibu nggak begitu, kan, Mas? Dia seperti itu semenjak Bapak meninggal dunia," tambahnya lagi.
Aku terdiam, bergeming sebentar. Ya, ibuku baik sebenarnya, tapi kenapa sekarang berubah?
"Oh ya, tadi aku sempat dengar katanya Ibu di telepon bicara pada Bulek Marni tentang biaya rumah sakit, apa ini ada kaitannya?" tanyaku menyelidik. "Bukankah kita transfer uang sewaktu Bapak dilarikan ke rumah sakit?" Pertanyaanku bertambah.
"Iya, kita transfer, dan alasan biaya rumah sakit itulah yang menjadikan mahar diungkit olehnya," celetuk Lira membuatku terbelalak.
"Mahar? Tadi Ibu sempat bicarakan hal ini juga," jawabku. "Apa kamu disuruh ganti, Lira? Jawab!" pintaku dengan nada tinggi, tangan ini sudah terlepas dari pelukan dan memohon padanya untuk bicara jujur pada suaminya.
Bersambung
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o