Share

Bab 3.

"Iya, aku, Bu. Kenapa dengan kedatanganku? Ada yang salah?" Aku mengukir senyuman supaya ibu tidak bisa berbohong pada anaknya.

"Nggak, Ibu kaget aja, soalnya lagi telepon Bulekmu, Nak," jawab ibu. "Sini duduk di sebelah Ibu," ajaknya sambil mengepakkan tangannya ke kursi.

Akhirnya aku turuti kemauannya, duduk di teras bersama dengan ibu. Kemudian ia meletakkan tangan ini ke di atas telapak tangannya.

"Kamu dengar apa tadi, Sayang?" tanya ibu dengan mata menyorotiku penuh.

Aku pun menatap wanita yang pernah melahirkan, menyusui dan merawat hingga besar. 'Kalau aku bicara padanya dan bilang dengar semuanya, maka tidak bisa mengetahui bahwa ibu ini tengah berbohong atau tidak,' batinku.

"Aku belum dengar semua, tadi hanya samar-samar, kalau boleh tahu, apa sih yang dibicarakan Ibu dengan Bulek?" tanyaku padanya. Adiknya ibu memang sangat dekat, ia selalu bertukar kabar. Aku pun seringnya transfer melalui rekening Bulek Marni.

"Oh, gitu, iya Ibu akan cerita semua ya, kamu dengarkan baik-baik," timpal ibu sambil melepaskan tangannya dari telapak tanganku.

Aku menyimak obrolan ibu, helaan napas terdengar kasar keluar dari mulut ibuku. Kemudian, tiba-tiba saja dia mengeluarkan air mata.

"Jadi, Marni ini baik banget, lagi bantu Ibu jual sawah di kampung," ucap ibu disertai isak tangis. 

Aku keheranan mendengarnya, sebab tidak sesuai dengan yang aku dengar tadi. 'Itu artinya ibuku sedang menutupi sesuatu,' batinku. "Terus, Bu?" Aku berlagak percaya.

"Kok terus sih, Dit, kamu nggak peka pada ibumu? Kan mau jual sawah, itu artinya Ibu butuh uang, seharusnya kamu bilang jangan sampai dijual gitu atau cegah," tutur ibu seakan meminta uang lagi padaku.

Aku paham sekarang, ada yang tidak beres dengan keluargaku.

"Memang Ibu jual sawah untuk apa? Kan nggak ada yang diurus lagi?" Aku bertanya tapi seakan menyecar.

"Marni itu adik kandung Ibu, dia butuh uang untuk pesantren si Soleh, anaknya, yang tidak lain adik sepupu kamu, Dit," jelas ibu lagi.

"Kenapa Ibu yang repot jual sawah, Bu? Bukankah itu kewajiban Bulek? Bukankah kita juga sudah bantu Bulek saat menikahkan Sekar tahun lalu?" Ibu terdiam, ia menggelengkan kepalanya.

"Ibu tidak menyangka kamu sepelit ini, Dit? Jangan hitung-hitungan dengan saudara sendiri, hitungan itu dengan istrimu yang orang lain tapi kamu bawakan mahar lima puluh juta, tiga tahun yang lalu," tutur ibu jadi mengungkitnya.

Aku menghela napas panjang, aku memberikan mahar lima puluh juta juga hasil dari tabungan kami berdua sewaktu pacaran. Astaga, kenapa ibu jadi mengungkitnya?

"Oke, Bu. Maaf kalau nyinggung, sekarang Adit mau tanya lagi, hanya itu saja yang Ibu obrolin bersama Bulek Marni tadi?" tanyaku sekali lagi.

"Tadi Ibu cerita pada Marni, bahwa beruntung memiliki menantu seperti Lira, penurut dan penyayang," ungkap ibuku. Jelas ini adalah kebohongan, sebab tadi aku dengar dengan telinga ini sendiri, bahwa ibuku menertawakan Lira yang sibuk bekerja dari pagi hingga sore. 

'Baiklah, kalau ibu tidak mau jujur, berati aku yang harus mengungkap ini semua. Ya, catatan istriku, ucapan ibu yang menyebutkan nominal lumayan fantastis, dan transferan uang yang kutransfer sewaktu bapakku jatuh dan dilarikan ke rumah sakit,' gumamku dalam hati.

"Ya sudah, aku masuk dulu," jawabku singkat. 

Kemudian, kaki ini melangkah masuk ke dalam. Namun, aku melihat Lira yang juga beranjak dari sudut pintu. Sepertinya istriku mendengarkan percakapan kami berdua, ia masuk ke kamar dengan langkah cepat.

Aku menyusulnya, lalu melihat Lira duduk di ranjang sendirian sambil menitihkan air mata. Sebagai suami, hati ini langsung mencelos melihat istriku lagi-lagi mengeluarkan air matanya di hadapanku. Sesakit itu kah batinnya? Hingga sulit mengatakan dan hanya diungkapkan dengan tangisan dan air mata?

"Nangis lagi? Tapi nggak mau cerita. Jangan buat aku merasa bersalah dan gagal menjadi seorang suami," cetusku seakan memaksanya untuk cerita.

Namun, Lira sontak memeluk tubuh ini dengan menyergap cepat. Dagunya berada di atas bahu yang sesungguhnya kekar tapi malah membuat anak orang menderita seperti ini.

"Aku mau cerita tapi takut kesalahan, Mas, jadi aku itu serba salah," lirih Lira.

"Ya, aku harus cari tahu sendiri, itu kan maksud kamu? Ibu nggak jujur, kamu pun sama, dan perasaanku saat ini jadi terombang-ambing," sesalku sambil membalas pelukannya, aku mengelus-elus rambutnya yang tadi aku sisir.

"Aku mau jujur, Mas, tapi aku takut dengan ancaman ibumu. Ya Allah aku sayang keduanya, aku sayang kamu, sayang juga pada Ibu," timpal Lira lagi. "Dulu Ibu nggak begitu, kan, Mas? Dia seperti itu semenjak Bapak meninggal dunia," tambahnya lagi.

Aku terdiam, bergeming sebentar. Ya, ibuku baik sebenarnya, tapi kenapa sekarang berubah?

"Oh ya, tadi aku sempat dengar katanya Ibu di telepon bicara pada Bulek Marni tentang biaya rumah sakit, apa ini ada kaitannya?" tanyaku menyelidik. "Bukankah kita transfer uang sewaktu Bapak dilarikan ke rumah sakit?" Pertanyaanku bertambah.

"Iya, kita transfer, dan alasan biaya rumah sakit itulah yang menjadikan mahar diungkit olehnya," celetuk Lira membuatku terbelalak.

"Mahar? Tadi Ibu sempat bicarakan hal ini juga," jawabku. "Apa kamu disuruh ganti, Lira? Jawab!" pintaku dengan nada tinggi, tangan ini sudah terlepas dari pelukan dan memohon padanya untuk bicara jujur pada suaminya.

Bersambung  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Lira mendingan jujur kepada suaminya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status