Aku menghela napas lebih panjang, kemudian coba bicara dengan Mas Gani, berharap kakak iparku tenang dan tidak emosi dalam menyelesaikan masalah ini.
"Mas, aku benar-benar nggak tahu dengan pekerjaan yang barusan Mas Gani sebut," ucapku saat masih tersambung dalam panggilan masuk.
"Aku laki-laki, adikku yang paling kusayang, ibaratnya dia nikah muda aja aku izinkan karena berharap bahagia bersama kamu, Dit, tapi kenyataannya malah pahit. Kalau kamu nggak bisa bahagiain Lira, balikin baik-baik!" ketus Mas Gani.
Aku takut kalau keluarganya sudah berkata seperti itu. Bukan takut menghadapinya, tapi takut kehilangan anak dan istriku.
"Mas, kasih aku waktu untuk menyelesaikan ini semua, aku janji mulai besok Lira tidak akan bekerja lagi, aku pastikan itu, Mas," lirihku memohon.
"Nggak yakin aku, Dit," jawabnya. Kemudian, sambungan telepon dimatikan begitu saja.
"Mas, halo, Mas," sapaku berharap tidak ditutup begitu saja. Namun, yang namanya saudara, pasti ikut sakit mendengar bahwa sang adik tertekan bahkan kelelahan. Aku pun hancur ketika tahu bahwa istri dan anakku bekerja dari pagi hingga sore hari. Tiap kali bicara di telepon, aku tidak pernah curiga, ia tampak baik-baik saja.
'Ya Allah, suami macam apa aku ini? Delapan bulan bukan waktu yang singkat, pantas saja Lira sudah tak sempat lagi bersolek dan menata rambutnya, pulang sore hari dia sudah teramat lelah,' batinku.
Aku mengantongi ponsel ke dalam saku celana. Kemudian duduk sebentar sambil menutup seluruh wajah dengan tangan ini. Sesal, tentu itu yang kurasa. Kesal, betapa bodohnya aku dalam memahami kondisi seisi rumah.
Aku mendengus kesal, lalu membuang tangan yang awalnya berada menutupi wajah.
'Astaga, aku lupa kalau mereka ditinggal berdua di kamar.' Aku buru-buru bangkit dan melangkah setengah berlari ke arah kamar. Pintu kubuka dengan cepat, dan ternyata hanya ada Lira yang kini tengah memangku Andara sambil memeluk tubuh mungilnya.
Aku melangkah pelan dan perlahan menghampiri Lira yang sekejap mengusap-usap pipinya.
"Kamu nangis lagi, Lira?" tanyaku padanya. Namun, istriku hanya membasahi bibirnya sambil menghela napas.
"Nangis karena tadi nggak dengar jeritan Andara, Mas. Aku merasa Ibu yang tidak peka," jawab Lira sambil terus menciumi Andara.
"Apa ibuku menyakiti kamu lagi, Sayang?" Lira menoleh ketika mendengar pertanyaan itu. Lekukan bibir terpancar di bibirnya seraya ingin tersenyum.
"Nggak, Mas, nggak ada yang menyakitiku, aku mau nyusuin Andara dulu ya, Mas, kita bicara sambil tiduran," ajak Lira. Ia merebahkan Andara dan memiringkan badannya lalu membuka kancing bajunya. Lira membelakangi aku, ia seperti menghindar bertatap muka dengan suaminya.
Kemudian, tangan ini mengelus lengannya dengan lembut. "Barusan Papa nelepon, aku bicara dengannya dan Mas Gani," ucapku memulai pembicaraan. Ya, hal ini harus kutanyakan langsung padanya.
"Terus, Papa ngomong apa? Mas Gani juga tumben nggak nelepon ke nomorku," ucap Lira sambil terus menyusui Andara.
"Tadi mereka sudah hubungi kamu, tapi nggak diangkat," jawabku membuat Lira tiba-tiba menutup kancing baju dan bangkit. "Kenapa duduk? Itu Andara belum selesai nyusu," ucapku heran.
Lira langsung mencari ponsel genggam miliknya. Kemudian meraba ke atas ranjang, di mana ponselnya berada. Lalu ia mengusap layar ponselnya sambil menghela napas.
"Oh iya, aku lupa aktifkan nada dering, tadi kusilent sewaktu ngajar," ungkap Lira keceplosan. Bola matanya berputar ketika ia bicara tentang pekerjaannya.
"Aku sudah tahu, tadi Mas Gani yang kasih tahu. Katanya kamu itu kerja sebagai Guru TK di pagi hari, tukang cuci siang harinya, dan mengajar ngaji pada sore, betulkah itu, Lira?" tanyaku dengan nada pelan. Berharap pertanyaanku ini dijawab dengan jujur oleh istriku.
Lira membasahi bibirnya sambil menghela napas. Kemudian, ia memejamkan matanya. Sesekali Lira menghadap ke arah Andara yang tengah telungkup sambil bermain menggigiti ponsel yang diletakkan oleh mamanya di atas ranjang.
"Ya, Mas, aku pagi jadi guru, siang nyuci di rumah rekan guru, dan sorenya ngajar ngaji." Lira mulai jujur dan mengiyakan bahwa apa yang dikatakan Mas Gani adalah kebenaran.
"Untuk apa, Lira? Kamu bisa minta sama aku kalau butuh uang, sekarang pun kalau kamu minta akan kuberikan. Mau berapa? Sepuluh juta, dua puluh juta, tiga puluh juta pun aku ada tabungan, Sayang," ungkapku malah membuat Lira menangis.
Namun, di tengah-tengah kami bicara, suara deru mobil terdengar berhenti di depan teras rumah.
"Ada tamu ya, Mas?" Lira bicara sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas.
"Ya, sepertinya ada tamu, kita keluar dulu, nanti lanjutin lagi ya," usulku sambil mengajak Lira turun dari ranjang. Anakku pun ia gendong dan kami keluar untuk melihat siapa tamu yang datang.
Aku jalan sambil merangkul bahu Lira, kami berdampingan seraya tidak ada masalah. Ternyata ibuku muncul dari ruang tamu dan lebih dulu tiba di depan pintu dan membukanya.
Pintu terbuka lebar, ada dua sosok laki-laki yang sangat menyayangi istriku berdiri tegak di depan pintu.
"Papa, Mas Gani," sapa kami berdua secara bersamaan.
Papa menyunggingkan senyuman, tapi tidak dengan Mas Gani, ia berdiri sambil tangan dilipat di atas dada.
"Oh besan, masuk, Pak," sapa ibuku pada mertuaku. "Bu besan mana kok nggak diajak?" sambung ibu lagi.
"Ada di rumah, nggak ikut, kami langsung dari kantor dan ke sini ingin ngajak Lira pulang," celetuk papa mertuaku membuat mata ini membulat dan tak berkedip.
"Pulang? Kan ini rumah Lira juga, Pak, jangan becanda," tutur ibu disertai tawa renyah.
Lira menatapku lirih, ia menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca.
"Masuk dulu, Pah, Mas Gani, kita bicarakan di ruang tamu," ajakku sambil mencoba menghampiri mereka.
"Nggak perlu, kami berdua sudah sepakat tadi setelah menghubungi kamu, Dit. Kami akan bawa Lira dan Andara pulang!" cetus Mas Gani dengan nada penuh penekanan.
'Astaga, padahal kami lagi berusaha menyelesaikan berdua, tapi kenapa pihak keluarga istri jadi begini? Aku harus bagaimana, ya Allah,' batinku seraya berdoa.
Bersambung
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o