Share

Bab 5

Aku menghela napas lebih panjang, kemudian coba bicara dengan Mas Gani, berharap kakak iparku tenang dan tidak emosi dalam menyelesaikan masalah ini. 

"Mas, aku benar-benar nggak tahu dengan pekerjaan yang barusan Mas Gani sebut," ucapku saat masih tersambung dalam panggilan masuk. 

"Aku laki-laki, adikku yang paling kusayang, ibaratnya dia nikah muda aja aku izinkan karena berharap bahagia bersama kamu, Dit, tapi kenyataannya malah pahit. Kalau kamu nggak bisa bahagiain Lira, balikin baik-baik!" ketus Mas Gani. 

Aku takut kalau keluarganya sudah berkata seperti itu. Bukan takut menghadapinya, tapi takut kehilangan anak dan istriku. 

"Mas, kasih aku waktu untuk menyelesaikan ini semua, aku janji mulai besok Lira tidak akan bekerja lagi, aku pastikan itu, Mas," lirihku memohon. 

"Nggak yakin aku, Dit," jawabnya. Kemudian, sambungan telepon dimatikan begitu saja.

"Mas, halo, Mas," sapaku berharap tidak ditutup begitu saja. Namun, yang namanya saudara, pasti ikut sakit mendengar bahwa sang adik tertekan bahkan kelelahan. Aku pun hancur ketika tahu bahwa istri dan anakku bekerja dari pagi hingga sore hari. Tiap kali bicara di telepon, aku tidak pernah curiga, ia tampak baik-baik saja.

'Ya Allah, suami macam apa aku ini? Delapan bulan bukan waktu yang singkat, pantas saja Lira sudah tak sempat lagi bersolek dan menata rambutnya, pulang sore hari dia sudah teramat lelah,' batinku.

Aku mengantongi ponsel ke dalam saku celana. Kemudian duduk sebentar sambil menutup seluruh wajah dengan tangan ini. Sesal, tentu itu yang kurasa. Kesal, betapa bodohnya aku dalam memahami kondisi seisi rumah.

Aku mendengus kesal, lalu membuang tangan yang awalnya berada menutupi wajah.

'Astaga, aku lupa kalau mereka ditinggal berdua di kamar.' Aku buru-buru bangkit dan melangkah setengah berlari ke arah kamar. Pintu kubuka dengan cepat, dan ternyata hanya ada Lira yang kini tengah memangku Andara sambil memeluk tubuh mungilnya.

Aku melangkah pelan dan perlahan menghampiri Lira yang sekejap mengusap-usap pipinya.

"Kamu nangis lagi, Lira?" tanyaku padanya. Namun, istriku hanya membasahi bibirnya sambil menghela napas.

"Nangis karena tadi nggak dengar jeritan Andara, Mas. Aku merasa Ibu yang tidak peka," jawab Lira sambil terus menciumi Andara.

"Apa ibuku menyakiti kamu lagi, Sayang?" Lira menoleh ketika mendengar pertanyaan itu. Lekukan bibir terpancar di bibirnya seraya ingin tersenyum.

"Nggak, Mas, nggak ada yang menyakitiku, aku mau nyusuin Andara dulu ya, Mas, kita bicara sambil tiduran," ajak Lira. Ia merebahkan Andara dan memiringkan badannya lalu membuka kancing bajunya. Lira membelakangi aku, ia seperti menghindar bertatap muka dengan suaminya.

Kemudian, tangan ini mengelus lengannya dengan lembut. "Barusan Papa nelepon, aku bicara dengannya dan Mas Gani," ucapku memulai pembicaraan. Ya, hal ini harus kutanyakan langsung padanya.

"Terus, Papa ngomong apa? Mas Gani juga tumben nggak nelepon ke nomorku," ucap Lira sambil terus menyusui Andara.

"Tadi mereka sudah hubungi kamu, tapi nggak diangkat," jawabku membuat Lira tiba-tiba menutup kancing baju dan bangkit. "Kenapa duduk? Itu Andara belum selesai nyusu," ucapku heran.

Lira langsung mencari ponsel genggam miliknya. Kemudian meraba ke atas ranjang, di mana ponselnya berada. Lalu ia mengusap layar ponselnya sambil menghela napas. 

"Oh iya, aku lupa aktifkan nada dering, tadi kusilent sewaktu ngajar," ungkap Lira keceplosan. Bola matanya berputar ketika ia bicara tentang pekerjaannya.

"Aku sudah tahu, tadi Mas Gani yang kasih tahu. Katanya kamu itu kerja sebagai Guru TK di pagi hari, tukang cuci siang harinya, dan mengajar ngaji pada sore, betulkah itu, Lira?" tanyaku dengan nada pelan. Berharap pertanyaanku ini dijawab dengan jujur oleh istriku.

Lira membasahi bibirnya sambil menghela napas. Kemudian, ia memejamkan matanya. Sesekali Lira menghadap ke arah Andara yang tengah telungkup sambil bermain menggigiti ponsel yang diletakkan oleh mamanya di atas ranjang.

"Ya, Mas, aku pagi jadi guru, siang nyuci di rumah rekan guru, dan sorenya ngajar ngaji." Lira mulai jujur dan mengiyakan bahwa apa yang dikatakan Mas Gani adalah kebenaran.

"Untuk apa, Lira? Kamu bisa minta sama aku kalau butuh uang, sekarang pun kalau kamu minta akan kuberikan. Mau berapa? Sepuluh juta, dua puluh juta, tiga puluh juta pun aku ada tabungan, Sayang," ungkapku malah membuat Lira menangis.

Namun, di tengah-tengah kami bicara, suara deru mobil terdengar berhenti di depan teras rumah.

"Ada tamu ya, Mas?" Lira bicara sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas.

"Ya, sepertinya ada tamu, kita keluar dulu, nanti lanjutin lagi ya," usulku sambil mengajak Lira turun dari ranjang. Anakku pun ia gendong dan kami keluar untuk melihat siapa tamu yang datang.

Aku jalan sambil merangkul bahu Lira, kami berdampingan seraya tidak ada masalah. Ternyata ibuku muncul dari ruang tamu dan lebih dulu tiba di depan pintu dan membukanya.

Pintu terbuka lebar, ada dua sosok laki-laki yang sangat menyayangi istriku berdiri tegak di depan pintu.

"Papa, Mas Gani," sapa kami berdua secara bersamaan.

Papa menyunggingkan senyuman, tapi tidak dengan Mas Gani, ia berdiri sambil tangan dilipat di atas dada.

"Oh besan, masuk, Pak," sapa ibuku pada mertuaku. "Bu besan mana kok nggak diajak?" sambung ibu lagi.

"Ada di rumah, nggak ikut, kami langsung dari kantor dan ke sini ingin ngajak Lira pulang," celetuk papa mertuaku membuat mata ini membulat dan tak berkedip.

"Pulang? Kan ini rumah Lira juga, Pak, jangan becanda," tutur ibu disertai tawa renyah.

Lira menatapku lirih, ia menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca.

"Masuk dulu, Pah, Mas Gani, kita bicarakan di ruang tamu," ajakku sambil mencoba menghampiri mereka.

"Nggak perlu, kami berdua sudah sepakat tadi setelah menghubungi kamu, Dit. Kami akan bawa Lira dan Andara pulang!" cetus Mas Gani dengan nada penuh penekanan.

'Astaga, padahal kami lagi berusaha menyelesaikan berdua, tapi kenapa pihak keluarga istri jadi begini? Aku harus bagaimana, ya Allah,' batinku seraya berdoa.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status