Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.
Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah.
"Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku.
"Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan.
"Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk Bu Dewi, tapi Bu Dewi tidak usah khawatir, saya memiliki banyak kru yang bisa membantu Bu Dewi untuk berlatih. Kebetulan anak saya juga seorang sutradara, saya rasa dia bisa membantu Bu Dewi. Apalagi usia anak saya sebaya dengan Bu Dewi, saya rasa akan lebih gampang untuk berdiskusi," jelasnya panjang lebar padaku.
Setelah lama berbincang mengenai tawaran untuk menjadi pemeran utama di film ini. Kami pun kembali membahas kontrak novel yang harus ku tanda tangani.
"Ini perjanjian kerjasama nya, Bu! Silahkan dibaca dulu! Jika Ibu sudah setuju, tolong ditandatangani di bagian yang sudah bermaterai," ucapnya sambil menunjuk ke arah bagian kertas yang bermaterai.
Setelah membaca seluruh isi perjanjian itu, aku pun segera menandatangani kontrak kerjasamanya. Disusul pemberian cek oleh Pak Anwar.
"Ini cek sisa pembayaran novelnya, Bu! Terimakasih banyak, dan saya sangat berharap Ibu bisa menerima tawaran saya tadi! Jika Ibu berubah pikiran, dan mau menerima tawaran saya, tolong segera hubungi saya ya, Bu! Agar saya tidak perlu mencari artis lain,"
"Baik, Pak! Sekali lagi terimakasih banyak ya, Pak! Kalau begitu saya pamit dulu!" Aku pun segera keluar dari ruangan Pak Anwar setelah berpamitan dengannya.
**
Saat aku berjalan menuju pintu gerbang, aku melihat seorang Nenek yang sudah sepuh berkeliling menjajakan mainan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat almarhum Emak. Pasalnya, dulu almarhum Emak pun sempat berjualan keliling saat aku masih kecil.
"Nek!" ucapku memanggil Nenek yang sudah renta itu. Ia pun berhenti, aku segera berjalan menghampirinya, tubuhnya yang sudah bongkok, membuat ia kesulitan untuk menggendong dagangannya.
"Mau beli Neng?" Tanya Nenek itu dengan raut wajah penuh harap. Aku pun mengangguk mengiyakan.
Ia menjual mainan jadul yang terbuat dari bambu dan kaleng bekas, biasanya dimainkan dengan cara didorong agar berbunyi.
"Ini harganya berapa, Nek?" tanyaku sedikit mendekati telinganya.
"15 ribu Neng! Kalau Eneng mau beli 2, ambil saja 25 ribu!" sahutnya sambil menyeka keringat yang membasahi keningnya. Tubuh rentanya tampak sangat kelelahan. Deru nafasnya pun tidak teratur, sepertinya Nenek ini sudah berjalan sangat jauh.
"Saya beli dua ya, Nek!" ucapku lalu menyodorkan dua lembar uang berwarna merah. Seketika ia menolaknya, namun setelah aku membujuknya ia pun mau menerima.
Dengan haru, Nenek itu menangis dan langsung memeluk erat tubuhku.
Setelah Nenek itu pergi, aku pun segera merogoh ponsel yang ku simpan di dalam tas, aku berniat memesan taxi online untuk pulang. Namun, saat hendak mengeluarkan ponsel, tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang, sehingga ponsel yang sudah ku pegang terlempar ke tempat sampah yang letaknya tepat di sampingku.
"Aw! aduh!" ucapku terkejut dan langsung berusaha mengambil ponsel yang jatuh di dalam tong sampah.
"Woy! Bisa nggak sih, nggak ngalangin jalan orang! Loe tau nggak sih gue ini artis!" suara teriakan seorang wanita yang tidak asing ditelinga ku.
"Dasar pemulung! Nggak tau diri! Liat nih, baju gue jadi kotor!" Aku pun segera menengok ke belakang setelah berhasil mengambil ponselku yang terjatuh.
"Bella?" ucapku terkejut melihat wanita yang menabrakku ternyata Bella.
"De-dewi! Ngapain loe disini?" tanya Bella. Matanya menatap tajam kepadaku.
"Ngapain loe ngobok-ngobok sampah di kantor gue? Loe mau mulung apa mau maling?" teriaknya penuh kebencian.
"Ya Allah, Bel! Hati-hati kalau ngomong! Aku ngobok-ngobok sampah itu gara-gara kamu! Ponselku jatuh ke tong sampah karena kamu nabrak aku dari belakang!"
"Alah, jangan ngeles loe! Loe pikir, gue bakal percaya dengan omongan loe? Emang dasar keluarga gembel! Kasian banget ya' Mas Seno, punya istri pemulung kayak loe! Dia pasti nyesel udah nikahin loe!" Cerocos Bella menghinaku.
"Terserah kamu aja, Bel! Saya nggak punya banyak waktu untuk debat dengan orang yang gak tau terimakasih seperti kamu!"
"Apa loe bilang, hah? Kurang ajar! Dasar pemulung gak tau diri! Orang yang lahir dari rahim seorang pemulung ujung-ujungnya juga akan jadi pemulung!"
"Plak!" sebuah tamparan mendarat di wajah Bella. Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaranku. Dia lupa, dulu saat dia masih susah, aku lah yang membantunya! Saat ia sekarat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Aku lah yang membantu membayar biaya rumah sakitnya. Dan sekarang, mentang-mentang dia sudah jadi artis, dia bisa seenaknya menghinaku.
Lihat saja Bel, aku tidak akan tinggal diam! Aku akan buktikan padamu, aku akan jauh lebih sukses darimu! Dan aku akan membalas semua perlakuan burukmu padaku selama ini.
Tanpa menghiraukan Bella yang masih meringis kesakitan, aku kembali masuk kedalam kantor, dan berjalan menuju ruangan Pak Anwar.
"Bu, Dewi! Ada apa Bu? Ada yang ketinggalan?" tanya Pak Anwar heran.
"Tidak, Pak! Saya datang untuk menerima tawaran Bapak tadi! Saya mau menjadi pemeran utama dalam film yang akan Bapak buat!" ucapku dengan pasti. Seketika Pak Anwar tersenyum senang. Ia begitu terkejut sekaligus bahagia mendengar keputusanku.
"Alhamdulillah, Bu! Akhirnya doa istri saya terkabul! Baru saja saya telponan dengan istri saya, dan istri saya berdoa agar Bu Dewi mau menerima tawaran saya! Dan benar saja, doa istri saya benar-benar terkabul! Tuhan memang mendengar doa orang-orang yang sedang sakit!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Kalau begitu, ini kontraknya Bu! Tolong segera ditandatangan! Saya takut Ibu berubah pikiran lagi," ujarnya sambil tertawa meledek ku.
Kontrak 500 juta sudah aku tanda tangani. Dan aku akan buktikan kepadamu Bella, anak pemulung yang kau hina ini akan jauh lebih sukses darimu! Dan aku akan pastikan, orang sombong seperti kamu, tidak layak menjadi seorang artis!
***
💗kalau berkenan, bantu kasih ulasan ya di cerita ini. Agar Ottor lebih semangat lagi nulisnya. 💗
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos