Share

2. Malam Pertama

 

 

Hari yang melelahkan. Acara ijab qobul kami telah telah usai dari beberapa jam yang lalu. Badan yang terasa penat terbayarkan dengan rasa haru bahagia. Banyaknya tamu yang hadir untuk memberikan ucapan selamat kian membuat hati melambung bahagia.  

 

Kini hubunganku dengan Kak Sabiru benar-benar sudah halal. Telah sempurna ibadah panjang kami. Tidak ada lagi keraguan. Dan aku telah siap untuk mendampingi pria itu dalam suka maupun duka. 

 

Malam kian merayap. Jam besar di ruang keluarga telah berdentang sepuluh kali. Keanu bahkan sudah tertidur dari tiga jam yang lalu. Sedangkan aku ... aku tengah duduk di meja rias kamar sembari menatap pantulan wajah sendiri.

 

Malam ini adalah malam pertama aku dan Kak Sabiru yang sesungguhnya. Layaknya pengantin baru pada umumnya hati ini pun dilanda kegugupan. Walau telah bertekad akan melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri yang selama ini tertunda, tetapi aku masih bingung apa yang harus dilakukan nanti di malam pertama kami ini.

 

G****e. Ah ... lebih baik bertanya pada applikasi pintar itu. Lebih akurat dan yang pasti aku tidak akan diledek jika bertanya masalah ini kepada orang lain. Sekalian untuk membunuh waktu menunggu Kak Sabiru masuk, aku pun membuka aplikasi yang didirikan oleh Lary page itu.

 

Tanganku dengan cepat mengetik di kolom pencarian tentang tata cara malam pertama dalam Islam. Wahhh ... ada banyak sekali tahapannya. Salah satunya adalah jangan lupa bersikat gigi sebelum berjima, agar tidak menggangu aktifitas selanjutnya. Dan yang pasti malu juga jika bau mulut kita membuat pasangan ilfeel.

 

Tanpa sadar aku segera mencium bau mulut sendiri. Cukup wangi. Aku sudah menggosok gigi dari sejam yang lalu saat memutuskan untuk pergi tidur. Walau tidak memakai penyemprot mulut, tetapi aku cukup

percaya diri.

 

Tiba-tiba terdengar langkah kaki menderap. Dan terdengar pula suara Kak Sabiru yang sedang membalas pertanyaan dari Ibu di luar pintu kamar. Kembali hati ini kian diliputi rasa gugup. Untuk menormalkan perasaan, aku lekas bangkit dari duduk. Keanu yang sudah terlelap pulas di boks kubelai lembut pipinya.

 

Pintu yang berderit membuat perasaan semakin tidak karuan. Kuabaikan langkah kaki itu dengan terus memandangi wajah Keanu dalam boks. Tiba-tiba sebuah pelukan hangat dari belakang membuat aku menahan napas.

 

"Keanu sudah tidur?" bisik Kak Sabiru lirih di telinga. Hawa yang ke luar dari mulutnya membuat bulu kudukku meremang. Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawab. Lalu tiba-tiba Kak Sabiru membalikkan tubuhku untuk menghadapnya. "Grogi, ya?" tebak Kak Sabiru menunduk menatap lekat mataku.

 

Aku menggeleng untuk menyangkal.

 

Kak Sabiru menempelkan telapak tangannya di dada kiriku. "Nih buktinya kenceng banget debarannya," ujar pria. 

 

Perlahan ia menunduk untuk menempelkan telinganya di dadaku. Ketika aku mencoba menghindar,  tangannya menahan. Sehingga terpaksa kubiarkan saja ulah pria itu untuk mendengarkan bunyi jantung ini yang sudah bergetar begitu rancak itu.

 

"Bunyinya aneh, La," ujar Kak Sabiru selepas mendengar bunyi jantungku.

 

"Aneh gimana?" tanyaku polos sembari sedikit menatapnya bingung.

 

"Iya detak jantungmu berbunyi seperti ini, degap-degap ... degap-degap." Aku melongo karena tak paham apa yang sedang diucapkan oleh Kak Sabiru. Sedang pria itu justru tersenyum simpul melihat keadaanku. "Iya, jantungmu berujar kalo tubuhmu minta didekap," terang Kak Sabiru sedikit gombal.

 

"Ihhh ... ngaco deh!" cibirku agak kesal. 

 

Kak Sabiru hanya tersenyum manis melihat reaksi kesalku. Lalu karena sedikit gemas sehabis diledek kuderapkan langkah menuju ranjang. Dengan kaki yang menjuntai ke lantai aku duduk di tepi ranjang. Kak Sabiru mengikuti dengan duduk di samping. 

 

Hening. Sepertinya kami sama-sama bingung harus melakukan apa atau bicara tentang apa. Aku yang masih gugup hanya bisa memainkan kaki dengan ongkang-ongkang. Sedang Kak Sabiru tampak tenang tanpa melakukan apa-apa.

 

"Sudah sholat?" tanya Kak Sabiru memecah kesunyian di antara kami. Ada sekitar sepuluh menit kami saling membisu.

 

"Udah. Kan kita sholat isya bareng," sahutku pelan.

 

"Oh iya." Kak Sabiru meringis. Pria mengusap tengkuknya. Kembali kami saling terdiam.

 

"Aku buatkan minum ya, Kak?" Akhirnya aku ada alasan untuk menghentikan debaran nakal ini.

 

Kak Sabiru menganguk kecil. "Iya, Bunda."

 

Aku tersipu. Teringat tadi siang minta dipanggil bunda olehnya. Lalu dengan mengulum senyum lekas kutinggalkan kamar ini.

 

Dapur adalah tempat yang kutuju. Suasana rumah sudah sepi. Ruang tamu bahkan sudah gelap. Pastinya Ibu dan Paman sudah terlelap pulas. Mereka juga sepertinya sama lelahnya dengan aku. Gegas kubuka kabinet dapur untuk mengambil toples berisi susu bubuk dan gula.

 

"Lagi bikin apa, Kak?"

 

Aku menoleh. Nasya datang dengan baju tidur berbahan katun dengan warna merah muda tanpa lengan. Roknya di atas lutut memperlihatkan betisnya yang jenjang dan mulus.

 

"Bikin susu buat Kak Sabiru," jawabku fokus kembali mencampur bubuk susu dan gula itu ke mug besar bertuliskan kata Papa. "Kamu sendiri ngapain malam-malam begini ke dapur?" tanyaku kemudian usai menyeduh air panas.

 

"Lapar," sahut Nasya enteng. Gadis berambut lurus hitam sepinggang itu kini mulai membuka pintu kulkas.

 

"Gak baik anak gadis makan berlebihan menjelang tidur, lho. Tar gendut." Aku menegur.

 

"Buktinya perutku rata," sombong Nasya sembari memamerkan perutnya ratanya padaku.

 

Bibirku mendecih menanggapi. Nasya hanya angkat bahu. Gadis itu lantas mengambil tiramisu dari dalam lemari pendingin itu. Dengan santainya ia memotong kue berwarna cokelat itu untuk kemudian digigitnya.

 

"Kak, aku ingin kuliah di sini," ujar Nasya dengan mulut yang masih mengunyah.

 

"Nanti ibu tinggal dengan siapa kalo kamu kuliah di sini?" timpalku sembari menaruh mug keramik itu ke nampan kecil.

 

"Aku punya banyak sepupu. Ibu tidak akan kesepian kalo aku menetap di sini."

 

Kupandangi gadis yang beda usia lima tahun dari aku ini. Walau beda ibu, tetapi aku begitu menyayanginya. Karena aku jauh hidup lama dengan Nasya dibanding almarhum Kamila.

 

"Aku rela jadi pelayan Kakak asal bisa kuliah. Kalo ditinggal di Medan aku yakin ibu tidak akan mengizinkan aku kuliah." Nasya terus merayuku.

 

"Akan kubantu biaya kuliahmu dari sini, tetapi-"

 

"Kak, aku mohon izinkan aku tinggal bersamamu," pinta Nasya memotong ucapatku. Gadis itu memegangi tanganku yang hendak mengangkat nampan. "Kayak gak tahu ibu saja. Uang yang selama ini sering kamu kirim sering disalahartikan oleh ibu." Nasya berterus terang. 

 

Aku terdiam paham watak ibu tiri. "Akan kubicarakan dengan suami dan ibuku," putusku kemudian.

 

"Terima kasih," ucap Nasya senang. Gadis yang sedikit lebih tinggi itu mencium pipiku sekilas. "Kak Bila emang baik," lanjutnya memuji.

 

"Dari dulu kali," tukasku datar. Kutinggalkan gadis yang masih lahap menyantap kue itu. Namun, di langkah ketiga aku kembali menghadapnya. "Jika kamu tinggal di sini, baju-baju kurang bahan seperti itu jangan dipakai lagi!" perintahku tegas.

 

"Kenapa?" Nasya bertanya dengan sok innocent seraya memandangi penampilannya.

 

Aku sendiri spontan memiringkan bibir mendengar pertanyaan sok polos itu. "Di sini ada Kak Sabiru dan juga Paman kakak. Mereka bukan mahrammu," paparku mengingatkan.

 

"Ohhh ...." Mulut Nasya membulat lebar.

 

"Jangan cuma ah-oh saja! Terapkan!" tegurku tegas.

 

Bukan tanpa maksud aku bertindak hal demikian. Aku tidak mau hal buruk menimpa pada adik semata wayang. Teringat bagaimana kejadian malam terkutuk dulu. Walau kini pelakunya sudah menjadi resmi  menjadi suami, tetapi sungguh aku tidak mau Nasya mengalami hal yang sama.

 

Penuh kehati-hatian kukuak pintu kamar. Begitu masuk tampak Kak Sabiru tengah berbaring di ranjang sembari memeluk guling. Namun, pria itu langsung bangkit duduk begitu tahu aku masuk.

 

"Makasih," ucapannya ketika kusodorkan mug berisi susu hangat itu. 

 

Pria itu menyesap cairan berwarna putih. Beberapa detik kemudian dirinya tampak menyipit. Lantas terdengar suara decakan dari mulutnya.

 

"Kenapa ada yang salah?" tanyaku usai menaruh nampan pada nakas kamar.

 

"Ho-oh nih." Kak Sabiru menganguk. "Rasanya asin," katanya lagi.

 

"Asin?" Aku mengulangi ucapannya dengan rasa tidak percaya.

 

"Iya nih. Kayaknya kamu salah ngasih garam ke minuman ini deh."

 

"Gak mungkin!" tukasku cepat. Lekas cangkir yang tengah ia pegang aku ambil untuk menyicipi rasanya. Kuteguk minuman itu, lalu mengecapnya. "Enggak ah! Manis kok." Kukembalikan lagi cangkir itu pada siempunya.

 

Kak Sabiru kembali menyesap susu itu. "Ini asin, Sayang."

 

"Kak, aku masih belum pikun untuk menambahkan garam ke minuman ini. Itu manis, Kak. Apa lidahmu tengah bermasalah?" Kutatap intens pria yang akhir-akhir ini terlihat dua kali lebih tampan dari biasanya ini.

 

Kak Sabiru menggeleng. "Sayang, beneran ini asin deh. Coba kamu julurkan lidahmu ke minuman ini, terus rasakan dengan seksama."

 

Karena penasaran kuturuti perintah itu. Lidahku kujulurkan ke dalam air susu. Seperti tengah mengaduk, kuputarkan lidah beberapa kali. Kemudian mengecapnya.

 

"Kak ... ini beneran manis," ujarku malas berdebat lagi.

 

Kak Sabiru mengambil cangkir yang kupegang. Dirinya lantas menenggak susu itu hingga tandas.

 

"Wahhhh ... manis sekali. Belum pernah kurasakan minuman semanis ini," puji Kak Sabiru dengan senyum yang mengembang. "Setelah lidahmu mengaduk-aduk susu ini menjadi tidak asin lagi. Memang benar sabda Nabi jika seorang bidadari meludah ke samudera, maka rasa airnya berubah menjadi tawar. Dan lidahmu mampu merubah susu asin ini menjadi manis, Bidadariku."

 

Aku melongo mendengar gombalan yang ke luar dari mulut pria di hadapan. Kak Sabiru sendiri hanya mengulas senyum melihatku terkesima. Dirinya bangkit dari duduk untuk menaruh cangkir ke nakas, lalu tangannya menjentik saklar yang menempel di tembok. Meninggalkan kesan remang pada kamar kami. Karena hanya lampu tidur saja yang masih menyala.

 

Kak Sabiru kembali duduk di sampingku.

 

"Aku sudah ngantuk. Kita tidur saja, yuk!"

 

Aku mengangguk pelan. Lalu mulai mengatur posisi tidur.

 

"Ayah boleh tidur di sini?" tanya Kak Sabiru sembari menepuk kasur sisi sebelahku.

 

Aku tersenyum mendengar ia menyebut kata ayah untuk diri sendiri. "Kenapa harus minta izin?" ujarku kemudian.

 

"Habisnya dulu kan tidak boleh sama bundanya Keanu yang jutek."

 

Seketika mataku menatap sebal padanya karena telah mengungkit kisah lama.

 

"Maaf, Sayang," ucap Kak Sabiru begitu melihat perubahan pada wajahku. "Iya deh bunda Keanu tidak jutek, tetapi junis."

 

"Junis?" Aku menyipit bingung.

 

"Iya ... jutek manis."

 

"Ihhh ... gombal terus deh dari tadi." Karena gemas kucubit pelan perutnya.

 

Kak Sabiru mengaduh tertahan dan menangkis serangan cubitanku pada perutnya. "Biar gak canggung, Sayang," ungkap Kak Sabiru jujur.

 

Pria itu bersandar pada headboard. "Sini!" Kak Sabiru menepuk dadanya.

 

Aku yang paham lekas menyandarkan kepala pada dada bidang itu. Tangannya terulur membelai lembut rambutku.

 

"Bila ...."

 

"Ya." Aku mendongak menatapnya.

 

"Sudahkah kamu siap dengan malam ini?" ucap Kak Sabiru syahdu.

 

"A-apa?" Aku tergagap dan menunduk.

 

Kak Sabiru mengangkat daguku pelan. Membingkai wajahku agar mau menatapnya. "Siapkah dirimu untuk memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri?"

 

Aku mengangguk dengan tersipu. Pipi ini terasa menghangat. Tatapan Kak Sabiru yang begitu mendalam membuat aku tidak berkutik membalasnya. Kembali aku tertunduk malu. Kembali pula Kak Sabiru meraih daguku. 

 

Kami saling bersitatap. Pelan Kak Sabiru mendekatkan wajahnya padaku, mengikis jarak. Walau sempat terkejut, tetapi aku lekas membalasnya, saling menjelajah. Ini ciuman pertama kita yang indah.

 

Tak terasa tanganku memegangi kepala dan sedikit meremas rambutnya. Sedangkan tangan dia sudah erat memeluk pinggangku. Mata kami masih saling menatap penuh cinta.

 

Ketika tangan dia sudah mulai melucuti kancing bajuku, terdengar rengekan Keanu. Saat aku hendak menolong bayi kecil itu, Kak Sabiru menghalangi. Tangannya terus saja menjelajahi setiap jengkal tubuhku.

 

Sayangnya rengekan Keanu berubah menjadi tangisan. Dengan mendengkus sebal Kak Sabiru membiarkan aku menenangkan Keanu di boks-nya. Kuayun dan menimang bayi lucu kami. Dan sepertinya Keanu sedang mengerjai kedua orang tuanya yang ingin melepas rindu. Bayi menggemaskan itu terus saja terjaga walau sudah kususui hingga kenyang.

 

"Sayang, ayo bobok, Nak! Kamu gak tahu apa? Ayah sedang ingin berduaan dengan bundamu. Setahun lamanya ayah menahan hasrat untuk menyentuhnya," ujar Kak Sabiru pada Keanu. Tentu saja bayi itu diam tidak mengerti. Aku sendiri hanya bisa terkikik pelan mendengar lelaki itu bercurhat pada sang putra.

 

Hingga dua jam lamanya Keanu tidak juga menutup mata. Bayi itu seolah mengajak kami untuk bermain. Sampai malam menjelang larut baru bayi tembem itu terlelap. Sementara Kak Sabiru ternyata sudah terbuai mimpi dari sejam lalu.

 

"Huuuhhh!" 

 

Aku menghempas napas lelah. Bete.

 

Next

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status