Waktu berlalu dengan cepat. Satu purnama pasca putusnya hubungan Nasya dengan Tara, adik-adiknya Kiara jarang sekali berkunjung. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah lagi.Apalagi aku pernah mengharamkan kaki Kiara menginjak rumah. Hanya Rani saja yang sesekali mau main ke rumah. Meski begitu, justru Kak Sabiru yang menyambangi rumah mereka. Lelaki itu tetap berlaku baik kepada keluarga Kiara.Kak Sabiru masih menyantuni adik-adik Kiara. Membantu biayai pengobatan Tante Santi. Serta membayar gaji Rani.Aku sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Karena memang sudah selayaknya kita saling membantu. Terlebih lagi Tante Santi sudah menjaga Kak Sabiru seperti anaknya sendiri sedari kecil.Kembali lagi kepada Nasya. Walau sekarang tidak seceria saat berpacaran dengan Tara, tetapi senyum gadis itu telah kembali. Hanya saja akhir-akhir ini kuperhatikan Nasya jadi sedikit pucat. Sering mengeluh pusing dan tida
Aku dan Tara refleks menoleh ke arah Nasya. Meminta penjelasan pada gadis itu. Ingin kudengar Nasya membantah ucapan dokter cantik dengan name tag Dewi itu. Namun, asaku tidak terkabul. Karena kenyataannya Nasya hanya membisu tanpa berkata apa-apa.Mata Tara pun tidak lepas menatap sang mantan kekasih. Gurat kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Apakah itu pertanda jika memang bukan Tara ayah dari janin yang dikandung oleh Nasya?Walau begitu, pemuda itu juga manggut-manggut patuh, saat dokter memberikan beberapa nasihat padanya. Tara juga menurut kala dokter mengharuskannya menjadi suami siaga untuk Nasya.Nasya sendiri terus saja terdiam ketika mendengar dokter menjelaskan tentang kehamilannya. Dia akan membuang muka saat ditatap olehku ataupun Tara. Mulutnya tetap terkunci rapat. Sesekali hanya terdengar helaan napasnya yang tampak begitu berat. Sampai kami meninggalkan ruangan praktik, Nasya setia bungkam.
(POV Sabiru)Hari yang sial! Bahkan teramat naas. Bagaimana aku tidak mengumpat demikian? Di saat pulang ke rumah dengan keadaan badan lelah. Pikiran yang penat karena banyak hal yang harus dikerjakan. Sampai rumah bukannya mendapatkan perlakuan manis dari istri, justru aku malah mendapat fitnah yang sangat keji.Bukan dari Nabila istriku. Melainkan ... Nasya. Gadis kecil itu ... adik ipar yang sudah dianggap layaknya saudari kandung sendiri. Gadis kampung yang telah aku hidupi hampir setahun ini. Bahkan kubiayai kuliahnya tega melemparkan kotoran ke wajah.Tidak ada angin dan tidak ada hujan Nasya menuduh, jika akulah lelaki penyebab kehamilannya. Aku yang baru saja pulang dari kantor tentu saja kaget bukan kepalang mendengar tudingannya. Di depan Nabila, Tara, dan juga Keanu, gadis tengik itu membeberkan kebejatan yang telah kuperbuat sesuai imajinasinya.Tadinya kupikir mereka bertiga t
(POV Sabiru)Malam ini kuputuskan untuk menginap di rumah Om Johan. Tidak enak menolak tawaran dari Tante Mirna. Lagian pulang ke rumah juga percuma. Sepi. Tidak Nabila maupun Keanu.Seperti biasa, jika menginap di rumah Om Johan, aku menempati kamar almarhum Tama. Kedua tangan kujadikan bantalan. Mencoba untuk melelapkan diri.Sayangnya sampai malam merambat larut, mataku belum mau diajak tidur. Pikiran ini selalu tertuju terus pada istri dan anak. Terutama Nabila. Sedih ... kenapa dia mau termakan fitnah keji yang dilontarkan oleh Nasya.Di lain sisi, otakku juga terus berputar. Memikirkan analisis dari Om Johan. Menerka siapa pelaku penabur benih pada rahim Nasya. Jujur ... hampir setahun tinggal bersama, mana pernah aku dan gadis itu bicara masalah pribadi.Bukan urusanku Nasya mau menjalin hubungan dengan siapa. Tugasku tidak lebih dari memberi perhatian sebagai seora
"Aku harus menyusul Nabila," putusku yakin. Kuraup kunci mobil yang tergeletak di meja."Mau ke mana kamu? Kita belum menyelesaikan masalah ini," cegah Zayn melihatku berdiri bangkit."Aku mau menemui Nabila," jawabku santai, "sudah kutemukan jawabannya.""Maksudnya ... kamu sudah tahu siapa pria yang telah menghamili Nasya?" Pertanyaan bernada penasaran dari Zayn kutanggapi dengan anggukan mantap. "Siapa?" tanya dia kian penasaran.Kuabaikan pertanyaan dari Zayn. Langkahku melesat cepat menghampiri mobil yang sudah terparkir rapi bersisian dengan mobil kepunyaan Zayn. Tanganku cekatan menyalakan mesin, lalu tancap gas melajukan kendaraan ke rumah Ibu mertua.Dari kaca spion terlihat mobil Zayn mengikuti. Aku menghembus napas. Semoga keikutsertaan Zayn ke rumah Ibu tidak kian memperkeruh suasana.Tepat lima belas menit mobilku telah sampai di kompleks rumah Ibu. Ketika aka
(POV Nabila)Sudah ada lima hari aku meninggalkan rumah. Belum ada tanda-tanda akan kembali lagi ke rumah Cirendeu. Kukira kemarin kedatangan Kak Sabiru akan membawa jalan terang terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi. Nyatanya alibinya mampu dipatahkan begitu saja oleh Paman Hasan.Aku sendiri sebagai keponakan paham betul watak Paman Hasan. Walau belum ada dua tahun hidup bersama, tetapi aku yakin pria empat puluh lima tahun itu tidak sebejat yang Kak Sabiru tudingkan. Paman Hasan orang baik dan tenang. Kadang nasihatnya jauh lebih bijak dari pada Ibu.Selama tinggal bersama, aku tidak pernah mendapati Paman Hasan berlaku aneh. Dirinya akan pulang tepat waktu setelah seharian bertugas. Jarang mampir ke mana-mana jika memang bukan hal yang penting. Waktu Paman Hasan dihabiskan untuk bekerja, mendalami ilmu agama, dan juga membantu aku dan Ibu. Kakak dan keponakannya.Seperti saat i
Turun dari ojek online, Nasya menengok kanan kiri. Seolah meyakinkan bahwa tidak ada orang yang mengikuti. Aku sendiri masih setia duduk di dalam taksi. Jarak kamiada sekitar tiga puluh meter. Namun, aku masih bisa melihat gerak-gerik gadis itu. Ketika Nasya mulai memasuki lobi, aku pun turun dari taksi. Untuk menyamarkan penampilan sengaja kuambil kaca mata hitam yang ada dalam tas, lantas memakainya. Kulirik waktu pada jam yang melingkar di lengan. Sudah masuk waktu istirahat. Jalanku terburu mengikuti ke mana langkah Nasya. Walau begitu aku tetap menjaga jarak agar tidak dicurigai. Ternyata gadis itu menuju sebuah bangku tunggu di lobi kantor ini. Nasya lantas duduk dan mengamati sekitar. Aku sendiri memilih berdiri sedikit jauh darinya. Berlindung pada sebuah pohon hias agar tidak terlihat Nasya. "Nabila!" Seketika aku berdiri mematung saat mendengar seseorang memanggil. Itu
"Kak, cepat putar balik mobilnya sekarang!" perintahku begitu mendengar teriakan Reza juga jerit tangis Nasya. Benar mereka bersama. Kak Sabiru masih saja memanggil-manggil nama Reza. Namun, tidak ada sahutan. "Ayo, Kak, cepat!" teriakku sedikit memaksa."Baik." Kak Sabiru menganguk patuh. Pria itu segera memutar balik arah mobilnya. Melajukan kendaraan menuju tempat yang telah kami lewati barusan.Aku sendiri lekas menghubungi nomor petugas DAMKAR. Meminta bantuan pada petugas tersebut, memberi tahu keberadaan Nasya. Karena bagaimanapun juga aku takut Nasya berbuat nekad.Aku paham betul watak gadis itu. Dia tipe gadis keras kepala. Sebelas dua belas denganku. Perilaku itu memang turunan dari Ayah. Karena kita memang satu darah.Usai mendapat tanggapan dari petugas DAMKAR, rasa khawatir ini sedikit berkurang. Bagaimanapun juga aku sanga