Share

Bonus Shift Malam

Ini di tahun yang sama, kejadian 2017 lalu. Ketika aku masih bersama Ayu, santri asal pondok pesantren ternama yang dianggap alim nan lugu itu sudah dilepas segelnya oleh Dyo Kusuma. Bangga? Jelas, dong! Usia 28 tahun masih laku pada gadis.

Sebenarnya malas sekali untuk dinas malam, tetapi daripada di rumah dan terlibat adu pendapat dengan Angela atau diabaikan olehnya hanya karena dia selalu curiga pada setiap alasanku betah di Puskesmas. Heran, dia selalu merasakan hal-hal yang menyudutkan, bisa enggak tak usah mempermasalahkan kesenanganku?

Aku tak melakukan hal busuk, Ayu menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan. Dia mau, kenapa justru menganggap para pria brengsek? Tingkat kebejatan seseorang selalu dinilai secara sepihak, apa akan terjadi sebuah dosa jika tak diberi celah?

Jika memang aku satu-satunya pelaku kejahatan, dianggap tukang celup sana-sini. Apa si pemilik celupan terbebas dari kesalahan? Kenapa setiap perempuan selalu memaafkan khilafnya sesama, tetapi susah menerima alasan logis para pria ketika mengatakan kejujuran?

“Lembur terus, uang gaji enggak ada. Sekalian kasur sama lemari dibawa.” Angela mengatakan hal tersebut saat aku akan berangkat, bukan didoakan yang terbaik malah membahas tentang gaji. Kenapa dia matre? Padahal dagangannya laris manis?

Buat apa jualan kalau masih meminta uang pada laki-laki? Lebih baik dia tidur saja, tak usah bekerja. Salah sendiri, siapa suruh memiliki usaha lain di saat aku mendapat pekerjaan lebih baik? Emansipasi wanita, ‘kan? Berarti Angela tak butuh bantuanku kalau hanya buat beli beras dan lain-lain.

Lagi pula, pengeluaran tak seberapa. Beras ada, lauk pauk lengkap, dia enggak pakai make up, dan kebutuhannya sudah terpenuhi dengan hasil penjualan kerudung di toko. Semua modal dari aku, Angela hanya mengembangkan. Cukuplah untuk biaya hidup, buat apa masih memalak gaji di Puskesmas? Serakah!

Perempuan harus pintar mengelola keuangan, memilah keperluan penting dan yang sama sekali tak perlu dibeli. Kalau semua dibebankan padaku, sama saja percuma dia punya toko. Aku sudah memodali, catat ini! Jadi, untuk gaji Puskesmas, milikku.

Dasar Angela! Apa-apa harus diberikan padanya, terus aku kalau mau sesuatu harus menunggu belas kasihnya, begitu? Oh, tidak! Wanita tetap harus berada di bawah kendali suami, bukan sebaliknya.

“Dinas malam, Mas?” Seseorang duduk di sampingku, perawat baru yang tak begitu kukenal akrab. Dia bertugas di bagian UGD, tampak tersenyum sembari mengeluarkan ponsel.

“Iya, kamu juga?” balasku ramah, namanya Shiva. Dia anak baru yang sering dibicarakan teman-teman pria saat jam makan siang, aku tak tertarik karena ada Ayu yang bisa dimanfaatkan. Namun, di kala malam begini, anak santri itu pasti belajar agama dengan manis di pondoknya.

“Dari tadi di UGD?” Aku harus terlihat perhatian sebagai senior, tetapi melirik penampilannya. Memastikan pembicaraan para perawat pria, ternyata benar. Dia cukup menonjol dari berbagai sudut, pantas jadi buah bibir.

“Iya, Mas. Boleh aku di sini?” Pertanyaan tanpa perlu jawaban, jelas boleh. Aku yang memang hanya bertugas sendiri di bagian obat merasa memiliki kesempatan bagus, lumayan buat pengusir jenuh. Lagi pula di loket begini hanya berdua, dukungan semesta memang selalu yang terbaik.

“Bukannya kamu tugas sama Mas Ferdy, kenapa pindah ke sini?” tanyaku mencoba terlibat obrolan akrab, tetapi perubahan raut wajah membuat jiwa detektif dalam diri menemukan gelagat mencurigakan. Ada yang ganjil, dia gelisah.

Pasti ada hal tak beres, terlihat dari cara dia memainkan kuku-kukunya. Melirik takut-takut padaku, lalu menyapu ruangan. Seolah mencari telinga di setiap dinding, pasti ada informasi bagus ini.

“Apa terjadi sesuatu di UGD?” Aku yakin, tebakanku tak akan meleset. Gadis ini mendapat kejutan luar biasa, kuperiksa lebih teliti. Tampak pakaiannya sedikit berantakan, rambutnya juga agak merekat di beberapa helai. Basah!

Shiva hanya menggeleng, berusaha tersenyum. Namun, dia terlihat gelisah. Aku tahu, ada hal tak beres yang baru saja terjadi. Langsung saja, aku memegang pundaknya, dia mengangkat wajah.

“Jangan takut, cerita saja. Kamu diapakan oleh Ferdy?” Aku memberikan tatapan lembut, sukses! Dia langsung menangis, terisak cukup kencang. Gila! Kalau terdengar yang lain, bisa disangka aku pelakunya.

“Jangan di sini, Mas. Di sana saja, aku takut dia ke sini.” Shiva menunjuk ruang penyimpanan obat, aku berpikir sejenak. Kulihat jam dinding, sudah tengah malam. Tak akan ada pasien atau karyawan datang. Semua sudah mengambil obat, aman.

“Ayo.” Aku membimbingnya, membawa dia ke tempat yang diminta. Catat, Shiva yang mengajak ke ruang tertutup, bukan Dyo!

“Tutup, Mas.” Shiva menyuruhku, bukan inisiatif laki-laki ini.

Tak ada kursi di ruangan ini, kami hanya berdiri. Menunggu dia berkisah, pasti hal serius terjadi dan bukan adegan main-main. Jika dilihat dari sikap Shiva, dia dilecehkan.

“Ferdy melakukan hal buruk padamu?” tanyaku hati-hati, dia menangis lagi. Kemudian, menceritakan semuanya dengan gamblang. Sialan!

Pria sok alim itu melalukan aksi peras memeras hanya karena video murahan di HP, dasar amatir. Melecehkan Shiva ketika tidur pulas. Hal yang ternyata mendatangkan kesedihan. Aku hanya perlu menyikapi dengan dewasa, menjadi bijak di situasi ini.

“Apa perlu aku tegur?” tanyaku dengan serius, menjaga jarak agar dia tak takut. Namun, di luar dugaan, Shiva memegang lenganku. Menggeleng.

“Jangan, Mas. Kalau sampai yang lain tahu, aku akan malu seumur hidup.” Dia menolak, hanya tertunduk.

“Kalau aku tahu, enggak masalah?”

“Mas Dyo pasti bisa jaga rahasiaku.”

“Yakin?”

Dia mengangguk, lalu mendekat. Tanpa terduga memelukku, tanpa aku minta. Ini serius terjadi, bukan karangan fantasi. Shiva mendekap dari arah depan, tak ada alasan. Hanya memintaku tutup mulut.

Sekarang, kalian bisa menyimpulkan bukan? Apa aku sebejat yang dipikirkan? Hanya membantu seorang gadis, tak bermaksud jahat. Namun, ketika sudah begini? Bonus!

Ibarat kucing diberi ikan, mana mungkin menolak! Entah ikan asin atau kakap, bukan doyan. Sebab, kesempatan begini tentu merupakan hadiah untuk laki-laki beruntung sepertiku. Ketika semua orang mengutuk, Angela mengatakan sialan, atau setiap pembaca kisah ini beranggapan diri ini sebagai sosok biadab. Nyatanya, semesta masih berpihak padaku.

“Apa kamu yakin dengan sikap ini?” tanyaku memastikan dia tak akan mengatakan apa pun tentang kejadian malam ini, dia baru saja terlepas dari mulut harimau. Jangan sampai kalian beranggapan masuk mulut buaya. Dibaca ulang dari awal, aku tak menggoda. Dia datang sendiri, secara suka rela.

“Aku yakin karena Mas Dyo lebih bisa dipercaya dan ....” Dia mempererat pelukannya tanpa terduga, lagi-lagi bukan aku yang memulai. Ingat ini baik-baik, jangan menilaiku gampangan. Dyo Kusuma sudah diam tanpa perlawanan, pasrah.

“Dan?” Aku ingin tahu lanjutannya, dia hanya berjinjit. Menutup mulutku dengan miliknya, memberikan bonus tambahan. Ini di luar rencana, memang kalau rezeki tak mungkin tertukar. Tuhan masih menyayangiku, hanya kalian saja yang menuduh dengan penilaian suka-suka.

Maaf, Angela! Aku tak bermaksud mengkhianatimu, tetapi kalau dibiarkan ... ah! Bukankah kita diajarkan untuk tidak melakukan hal mubazir? Sayang jika kulewatkan momen gratis ini, anggap saja sedang mendapat jackpot. Bonus tambahan di akhir bulan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status