Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.
Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.
“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”
“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”
“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”
“Duh Bu, aku kalo dijodohkan sama laki-laki kaya pasti mau-mau aja kok, nggak masalah awalnya di jodohkan.”
“Ngarep Wi Wi, harus sarjana dulu biar dapat laki kaya.”
Sarah sendiri tau dan sadar bahwa ia menjadi bahan gosipan tetangga-tetangga di kampungnya. Semenjak pertunangan berlangsung ia jarang keluar rumah. Segala persiapan pernikahan sudah diatur, ia hanya duduk manis dan memilih dari dua pilihan Umi, Mama dan Rafi. Seperti tentang kebaya, make up, undangan hingga dekorasi pelaminan. Sarah hanya ikut andil memilih dua pilihan yang sudah dipilih baik dari Umi, Mama dan calon suaminya sendiri.
Selebihnya Sarah hanya duduk, menerima teman-temannya yang datang ke rumah. Karena semenjak berita ia akan menikah, beberapa teman menghubunginya hanya untuk mempertanyakan bahwa berita itu benar atau tidak.
Seperti halnya Dilla, sahabat baiknya yang sedang bekerja di Jakarta itu langsung menghubungi Sarah begitu ia tau Sarah akan menikah.
“Gila sih Sar, mau nikah nggak bilang-bilang,” suara Dilla beberapa waktu lalu langsung memprotes lewat telepon.
“Aku tau dari Ibu, coba kalo Ibu ku nggak bilang, paling sampe sekarang aku nggak tau, parah bener.”
“Iya maaf Dil, ini juga mendadak.”
“Ya ngapain mendadak mendadak sih, kan aku jadi nggak bisa dateng.”
Sarah tidak bilang bahwa ia dijodohkan. Pasti Dilla sudah tau dari Ibunya yang merupakan tetangga kampung juga. Sarah hanya meminta do’a agar acaranya lancar.
Namun di lubuk hatinya, Sarah sangat gugup, hari demi hari berlalu untuk menuju hari acara berlangsung. Dan kegugupan itu tidak pernah hilang bahkan malah semakin menjadi. Seperti saat ini, ketika Sarah memperhatikan sosok dirinya di depan cermin, degupan jantungnya semakin menggila.
“Masyaallah.. Mbak Sarah semakin cantik nih,” ucap salah satu perias yang tadi bertugas memakaikan hijab untuk Sarah.
Sarah sendiri masih tertegun dengan penampilannya. Ia sekali lagi memperhatikan dengan seksama. Seorang gadis muda yang tak lain adalah dirinya memakai dress kebaya berwarna putih sedikit keabuan. Hijabnya juga berwarna putih menutupi dada, memakai riasan make up tidak begitu tebal sesuai keinginan Sarah sendiri. Ia juga memakai hiasan di kepalanya menjuntai hingga dahi. Cantik, puji Sarah sendiri.
“Sudah siap?”
Pertanyan yang terlontar dari arah belakang membuat Sarah menoleh. Kak Hanum dan Bang Rizam masuk dibarengi dengan tiga orang perias yang izin untuk keluar sebentar.
“Cantik banget adek aku,” ucap Kak Hanum menghampiri adik bungsunya itu. Bang Rizam merangkul pundak adiknya. Ia telah tiba tiga hari yang lalu sedangkan Kak Hanum baru kemarin ia sampai, bersama kedua anaknya dan suaminya.
“Dek, ikhlas kan?” tanya Rizam. Ia sudah khatam dengan karakter adiknya yang kepala batu, jadi ia agak kaget saat Sarah tidak melawan untuk di jodohkan.
“Ikhlas.. karena insyaallah Rafi lah jodoh kamu, walaupun cara pertemuan kalian seperti ini tapi Allah Maha tau segalanya, karena jalan yang bukan kamu mau bisa jadi yang terbaik untuk kamu Sar,” kata Hanum menasihati. Ia mengusap puncak kepala adik bungsunya sembari tersenyum menenangkan.
“Sekarang kita foto bertiga ya?” ucapnya sembari mengeluarkan ponsel. “Kakak sama Bang Rizam akan dampingi kamu sampai acara akad selesai, kamu tenang ya Sar.” Kak Hanum kembali menenangkan.
Sedangkan Bang Rizam mencium puncak kepala adik bungsunya sembari berkata. “Adek Abang sekarang sudah dewasa, mau jadi istri orang.”
“Adudu jadi terharu.. hayuk foto dulu.”
Kak Hanum sudah siap dengan ponselnya. Mereka bertiga akhirnya foto bersama. Sarah sangat menyayangi kedua saudara kandungnya itu. Bang Rizam dan Kak Hanum tidak akan terganti dengan siapapun.
Dan setelah berfoto ria, Kak Hanum dan Bang Rizam mengajak Sarah untuk keluar karena mempelai pria dan keluarganya sudah datang. Mereka mengapit adik bungsunya menuju tempat terkumpulnya saksi dan calon suami yang sudah menunggu.
“Masyaallah, cantiknya..”
“Cantik.”
“Cantik sekali..”
Sarah berusaha menulikan bisik-bisik yang terdengar. Berusaha mengenyahkan malu karena menjadi pusat perhatian. Ia juga berusaha untuk tenang walaupun jantungnya keras berdetak.
“Sampai.”
Ucapan Hanum seketika menyadarkan Sarah yang sedari tadi fokus dengan usahanya. Hanum kemudian menuntun adiknya itu untuk duduk di sebuah bangku, tepat di samping laki-laki yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan ke arah Sarah.
Rafi terpesona. Cantik, pikirnya.
“Kakak, Bang Rizam sama Umi ada di belakang, coba tarik nafas hembuskan, yang tenang jangan khawatir.”
Hanum berkata pada Sarah kemudian undur diri untuk duduk di sebelah suaminya. Sedangkan Rizam sebelum ikut undur diri, ia mengusap sayang kepala adiknya dan menepuk bahu calon iparnya memberikan semangat.
Telapak tangan Sarah berkeringat dingin, ia meremasnya dan semakin gugup saat merasakan ada yang memasangkan kain diatas kepalanya.
“Bismillah, Sarah.”
Ternyata Umi. Sarah pun mengikuti intruksi dan mengucapkan bismillah didalam hatinya. Ia berhadapan dengan Pak Samin yang mana merupakan penghulu di kampung. Sedangkan Rafi berhadapan dengan Abi. Sarah tidak menoleh ke samping, ia tidak menoleh pada calon suaminya. Bahkan ketika kata SAH berkumandang, Sarah tetap tidak menoleh pada Rafi. Ia menumpahkan segala rasa dengan meremas jarinya, haru, sedih, lega, bingung, khawatir semua menjadi satu di hari pernikahannya.
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s
Perkara menjadi diri sendiri, Sarah pernah merasakannya sewaktu kost di kota sembari kuliah. Di sana ia tinggal bersama dua teman satu jurusan. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Sebab saat itu Sarah benar-benar merasa plong, seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Karakternya yang sebenarnya penyuka kebebasan pun tereksplor semasa kuliah dan semasa menjadi anak kost.Sarah sering berjalan malam menjelajah jalanan hanya semata ingin terkena sepoi angin malam, supaya menghilangkan stres akibat tugas menumpuk. Lalu tak lupa pulangnya membeli es krim. Teman-temannya juga sering mengajak traveling ramai-ramai dengan motor selepas ujian. Saat satu kost gabut ditanggal tua, Sarah dan kedua temannya itu akan berjalan sore hingga malam menjelajah jalanan tanpa tujuan dan kemudian balik setelah lelah. Kurang kerjaan, tetangga lain berpikiran seperti itu. Namun bagi Sarah dan kedua temannya itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk untuk menggenggam kebahagi
Sabtu pagi tampak kabut awan menutupi sinar matahari yang terpancar. Tidak mendung, hanya saja langit yang biasanya cerah kini tertutup gumpalan awan putih tebal. Sehingga lebih redup dari biasanya. Cocok sekali untuk menikmati weekend, pikir Rafi. Laki-laki itu pun sudah siap dengan perlengkapan olahraganya. Sudah memakai sepatu dan menyampirkan handuk kecil ke lehernya. Ia juga menyempatkan untuk merenggangkan otot-ototnya dengan gerakan kecil di teras sembari menunggu seseorang. “Bik Arni, Sarah mana?” tanya Rafi setelah melihat wanita gempal usia lima puluh tahun keluar dengan membawa ember dan gayung. “Mbak Sarah lagi diatas Mas, lagi c
“Maaf ...” ucap Rafi dengan tulus.Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu memapah Sarah di punggungnya. Setelah membalut pergelangan kaki Sarah yang terkilir dengan handuk, Rafi memutuskan langsung pulang dengan cara menggendong istrinya.Namun bukan hal mudah membujuk Sarah untuk bersedia digendong. Sebab wanita itu benar-benar kepala batu, alhasil Rafi harus membujuk bak membujuk anak kecil, dengan pelan dan berdebat terlebih dahulu.“Bagaimanapun tadi gara-gara saya, minta maaf ya, Sarah.”Rafi menolehkan kepalanya untuk melih
Tok ... tok ... tok ...Ketukan pintu nyaring terdengar memenuhi ruangan bercat putih. Ketika Sarah baru saja menyelesaikan ibadah shalat magrib. Gadis itu tampak kesulitan untuk bangun padahal kakinya masih sakit saat ditekuk. Maka ia bertopang erat pada pinggiran ranjang tempat tidurnya. Namun belum juga ia bangun, pintu kembali terketuk.“Masuk aja!” seru Sarah tidak tau siapa yang mengetuk pintunya. Jika bukan Bik Arni maka Rafi. Sebab Sarah tidak bisa membuka pintu dengan segera.Seorang langsung terlihat begitu pintu dibuka dari luar. Sarah masih memakai mukena lengkap. Gadis itu masih kesulitan untuk berdiri