Pria itu menoleh begitu tahu Anya sudah menyadari kehadirannya. Senyum tipis ia bagikan pada wanita itu lewat kaca spion, ia kemudian melepas topi dan meletakkan di dasbor.Anya memundurkan tubuh, masih berusaha menetralkan pacu jantungnya. Bukan karena takut, tetapi lebih pada perasaan yang mendadak tak menentu mendapati kenyataan Ilham berada di hadapannya kini. Jelas, ia tidak dapat lagi menghindar. Meskipun Ilham menjalankan mobil ke arah yang berbeda dari yang seharusnya. “Maaf, Mbak. Aku terpaksa melakukan ini. Hanya dengan seperti ini kita bisa ngomong, ‘kan?” Ilham mulai membuka percakapan. Anya mendengkus. Selain rasa khawatir, tidak ada yang lain. Rasa khawatir tentang apa yang terjadi setelah ini, jika ibunya Ilham tahu Anya masih bertemu dengan Ilham. Juga tidak ada rasa kecewa pada Ilham karena tidak mendengarkan perkataannya agar mereka tidak bertemu lagi.“Apa yang kamu cari, Ham?”“Waktu, Mbak. Waktu Mbak Anya untuk kita bisa ngomong dan menyelesaikan semua.” Ilham
Anya sudah bersiap ke kantor hari ini. Sudah seminggu ini ia pergi ke kantor dengan dijemput sopir baru. Ia merekrut driver baru untuk mengantarnya ke mana pun. Mendadak traumanya dalam mengendarai mobil kambuh lagi. Anya yang baru saja akan keluar menuju pintu utama, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang tak asing berdiri di depan pintu. Wanita itu sedikit memperlambat langkahnya, Ia menghela napas dalam, menyiapkan mental dan hati untuk menghadapi pria yang seminggu lalu ia usir dari kehidupannya. Ilham.Di belakang Ilham, berdiri Awang dengan raut wajah takut dan menunduk saat Anya mulai melangkah dengan langkah stabil. Pria itu membungkukkan tubuh setelah Anya sampai di depan pintu. “Maaf, Mbak Anya, Mas Ilham memaksa masuk. Saya sudah—”“Gak apa-apa, Bang. Abang boleh kembali ke pos jaga.” Anya berkata lirih dan dingin. Pria itu segera mundur dan meninggalkan Anya bersama Ilham di teras. Sementara itu, Ilham sejak tadi menatap Anya yang enggan menoleh padanya. N
“Kalau gitu kita harus atur strategi, gimana?” Gadis berlesung pipi melirihkan kalimatnya dengan sedikit memajukan kepala agar Ilham bisa mendengar dengan jelas. “Strategi?” Ilham balas bertanya. “Maksud kamu strategi ….” Seketika raut wajah Ilham berubah. “Ah, kamu benar juga. Kamu punya ide?” Ilham yang tadinya kaku kini sedikit melunak, digantikan oleh sorot mata penuh rencana yang samar. Meja marmer mahal, yang tadi terasa seperti medan perang emosional, kini berubah menjadi ruang taktis dadakan. Sasha mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya yang tajam di balik bingkai kacamata beningnya memancarkan kecerdikan yang tidak ia tunjukkan di hadapan Elia dan Lisa. “Oke. Kita harus kasih mereka kejutan. Aku yakin kamu ke sini karena dipaksa Tante Elia, kan?” Sasha berbisik, tetapi nadanya tegas. Detik-detik berikutnya, obrolan mereka diisi dengan diskusi ringan tentang strategi secara cepat dan tepat. “Kali ini harus berhasil.” Sasha berkata penuh antusias setelah mengakhiri
Seperti seorang tahanan yang berjalan menuju ruang ekseskusi, Ilham akhirnya menuruti permintaan sang Ibu. Pasrah, tanpa perlawanan. Lagi pula untuk saat ini ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pria itu tahu, menolak hanya akan memicu perang dunia ketiga dengan Elia, ibunya. Juga memperpanjang episode penyiksaan batin baginya. Ia benar-benar sedang tidak berminat untuk berbicara banyak apalagi sampai mengundang perdebatan dengan sang ibu. Bukan karena menerima rencana perjodohan dari ibunya itu, tetapi ia hanya ingin drama perjodohan ini segera berakhir. Setelah itu, ia akan dengan mudah bisa kembali fokus pada Anya. Meskipun sebenarnya untuk saat ini ia tidak tahu cara apa yang harus diambil untuk kembali bisa mendekati wanita yang kini memasang tembok tinggi di sekelilingnya. Ia tahu betul, bagaimana sifat Sunshine-nya itu. Pagi itu, Ilham bersiap dengan gerakan santai, tanpa semangat. Otaknya kosong, hatinya pun seperti sedang dibenamkan di dalam freezer dengan suhu terend
Anya menghela napas panjang. "Mbak tahu sendiri, ‘kan, Ilham itu juga anak satu-satunya. Dia adalah harapan satu-satunya ibunya setelah kakak perempuannya meninggal karena ….” Anya mengusap wajahnya dengan kasar. “ Dan, aku gak mau menjadi penyebab Ilham harus berselisih dengan ibunya." "Tapi …" "Mbak, sampai kapan pun aku akan menjadi orang yang paling dibenci ibunya Ilham dan … kalau Ilham tahu semuanya, dia juga bakal benci banget sama aku, Mbak." Anya menyambung dengan nada getir. Ririn terdiam. Ia mengerti apa yang dirasakan oleh Anya. Ia tahu, masa lalu keluarga Anya dan Ilham memang sangat rumit dan penuh dengan luka. *** Meski perasaan sedang tak menentu, Anya tetap masuk kerja hari ini. Ia bangkit dari tempat tidur dengan rasa malas. Hari ini harus dimulai dengan banyak kebiasaan yang berbeda. Ia harus mulai lagi untuk membiasakan diri. Akan tetapi, masalah yang mendera saat ini cukup mengganggu pikiran dan aktivitas Anya di kantor. Wanita itu lebih sulit berkonsentra
Anya masih meringkuk di bawah jendela. Deru mobil Ilham baru saja ia dengar menjauh. Embun dari mata sudah membasahi pipi. Rasa sesak terasa menguasai dada dan menyakitkan. Kata-kata yang ia lontarkan pada Ilham beberapa menit lalu terus terngiang di benaknya, terasa seperti bilah tajam yang berputar-putar di dalam hatinya sendiri. “Maafin aku, Ham. Tolong maafin aku,” ucap Anya lirih dalam isaknya.Anya memeluk dirinya sendiri erat-erat, mencoba meredam gejolak emosi yang berkecamuk di dalam diri. Ia tahu, menyebut "calon suami" adalah satu-satunya cara untuk membuat Ilham mundur—padahal ia sendiri tidak tahu siapa calon suami yang dia sebut. Seperti yang sudah pernah berlalu, Ilham mundur ketika Anya akan menikah dengan Revan.Ya, Anya tahu semua. Bukan tidak pernah peka terhadap perasaan yang berusaha Ilham tunjukkan. Karena meski tanpa dikatakan, Anya bisa membacanya. Namun, wanita itu berusaha untuk pura-pura tidak tahu dan menerima lamaran Revan tanpa banyak berpikir. Dengan