Share

4. Kecanggungan Mereka

Cintara menggigit bibirnya bagian dalam sambil sesekali menoleh ke samping. Terkutuklah Kanaya yang punya segudang alasan untuk berkilah dan tidak mau mengantarnya pulang, padahal perempuan itu jelas-jelas berbohong.

"Pulang sama gue bisa kan, Ta? Kayak biasa lo sama siapa, sih?"

"Nggak gitu." Cintara menoleh ke arah Kanaya yang tampak tak acuh dengannya. "Gue—"

"Apaan sih, Ta? Bener tuh, kata Dante. Biasanya lo sama siapa? Gue mau kencan sama Caraka soalnya.”

Dan lihatlah bagaimana liciknya Kanaya sekarang? Dalam hatinya ingin sekali ia mengumpat sejadi-jadinya. Jika seandainya tidak ada insiden lamaran tadi, barangkali Cintara akan dengan sukarela menerima tawaran itu. Tetapi situasinya kali ini sedikit berbeda.

“Ta?”

Cintara berjengit kaget, lalu menoleh dengan cepat. “Hm? Kenapa?”

“Lagi mikirin apa, sih?” tanya Dante tanpa memalingkan wajahnya sama sekali dari depan.

Keduanya sudah sedang dalam perjalanan menuju pulang.

“Ngg… nggak ada, Te. Gue cuma… capek aja, sih.”

Dante mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Sementara Cintara memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela dengan pikirannya yang kini berkelana entah ke mana.

“Ada yang salah sama gue, ya?” kejar Dante lagi.

“Nggak, kok. Emang salah kenapa?” Bisa tidak nggak usah banyak tanya? “Mending lo fokus nyetir, deh!” Cintara mendecak, berharap jika Dante tidak lagi mengajaknya bicara.

Bagaimana bisa Dante sekarang bersikap biasa-biasa saja setelah apa yang terjadi dengan mereka? Apakah pria itu sama sekali tidak ingin memikirkannya?

“Lo lucu banget kalau lagi diem gini tahu, nggak?” kekeh Dante.

“Emang gue badut?” cibir Cintara kesal.

“Ya nggak badut juga, sih,” Dante lantas membelokkan mobilnya menuju sebuah komplek perumahan. Namun belum sampai mobil itu tiba di depan rumah Cintara, Dante sudah lebih dulu menghentikan laju mobilnya di ujung jalan komplek.

Komplek perumahan itu terlihat gelap dan senyap. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang di sana. Sementara mobil itu terparkir di pinggir jalan dengan mesin mobil yang masih menyala.

“Kok berhenti? Kenapa?” tanya Cintara bingung.

Dante mengulas senyuman samar. Hal yang jarang sekali ditunjukkan pria itu kepada orang-orang di sekitarnya. Seharusnya Cintara senang, tetapi nyatanya sikap itu justru membuat kinerja jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Terlebih saat Dante menoleh sepenuhnya ke arah perempuan itu.

“Apa?” salak perempuan itu. “Kenapa lo lihat gue begitu?”

“Besok terbang jam berapa, Ta?” tanya Dante dengan lembut.

Cintara memalingkan wajahnya ke depan, lalu mendesah pelan. “Jam enam gue mesti udah di bandara. Kenapa?”

“Rute ke mana?”

"Jakarta-Bali, Bali-Lombok, Lombok-Bali."

Dante manggut-manggut. “Jadi stay di Bali, ya?”

“Emang biasanya begitu, kan? Apaan sih tanya-tanya, jangan bertingkah yang aneh-aneh, deh. Lo mau apa sebenarnya?" sungut perempuan itu kesal.

“Mumpung lo masih di sini, gue mau bahas yang tadi dulu,” ujar Dante dengan tenang.

“Hah? Yang tadi? Yang mana? Bahasan kita sejak tadi banyak. Nggak bisa besok aja kita bahasnya?” sahut Cintara dengan cepat.

Dante menggeleng. “Lo besok udah nugas, kan? Atau lo minta gue susulin lo ke Bali?”

Cintara melotot tajam. “Jangan gila, deh!”

Dante terkekeh. “Lo nggak lagi ngehindar dari gue, kan?”

“Menghindar?” Cintara memalingkan wajahnya, lalu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Mendadak ia gugup. “Ngg… nggak, kok. Ngapain juga gue menghindar dari lo?”

“Kalau gitu, jelasin apa yang terjadi sama lo. Termasuk soal permintaan lo pas nyamperin gue ke kantor tadi."

Bisa tidak waktu terulang kembali? Rasanya Cintara tak lagi memiliki kesempatan untuk menghindar. Perempuan itu menggigit bibirnya, tampak ragu mengutarakan ide gilanya untuk kedua kalinya.

“Gue—” Cintara menautkan kedua tangannya di pangkuan. Mendadak ia gugup sekali. Terlebih saat tatapan Dante memakunya dengan lembut. Meskipun cahaya di sekitarnya gelap, Cintara masih bisa melihat mata Dante berbinar terang. “Lo aneh tahu, nggak!”

“Aneh?” Dante mengernyit. “Bukan lo, ya?”

“Gue aneh kenapa, coba?”

Dante mengurut pelipisnya dengan satu tangan. Mendadak kepalanya pening. “Aneh banget. Sampai-sampai lo tiba-tiba ngajak gue nikah, tapi habis itu ngilang. Kan gue jadi bingung sama permintaan lo, Ta.” 

“Bingung bagian mananya? Bukannya udah jelas permintaan gue?”

“Lo serius sama permintaan lo itu?”

“Ya menurut ngana aja?” sungut Cintara kesal. “Lo boleh menolaknya kalau lo nggak mau, kok. Daripada yang ada kita canggung, kan?” Cintara menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggeleng-geleng. “Sumpah, kita lupain aja gimana, sih? Please, gue malu banget tahu, nggak!” sambungnya dengan nada lirih.

Sementara Dante hanya tersenyum tipis. “Jadi lo sejak tadi aneh gini tuh, gara-gara canggung sama gue?”

‘Menurut ngana?’

Cintara memukul lengan Dante. Kesal luar biasa. “Lo emang paling bisa bikin gue malu gini, ya?”

Dante terkekeh. “Nggak gitu, Ta. Gue mau kita tuntas pokoknya.« Pria itu meraih tangan Cintara agar menoleh ke arahnya. “Ayolah, Ta?”

“Apaan?”

"Cerita sama gue dulu... kenapa lo tiba-tiba ngajak gue nikah."

“Kalau lo nggak setuju, lo langsung bilang aja, Te. Gue nggak mau maksa lo de—”

“Kalau gue mau?” Dan detik itu bibir Cintara terkatup rapat. “Gimana kalau gue mau?”

Cintara mencebikkan bibir. “Lo cuma pengen nenangin gue, kan?”

“Nenangin gimana, sih?” Dante terkekeh. “Suka banget sih ambil kesimpulan sendiri?" Dante mendesah pelan. “Tapi sebelum kita bicara sampai sejauh itu, nggak ada salahnya kalau gue tahu alasannya, kan?”

Sementara Cintara tidak menjawab, dan wajah perempuan itu kini terlihat begitu menggemaskan. “Jadi?” desak Dante lagi.

Cintara memberanikan diri untuk menoleh ke arah pria itu. “Apa?”

Dante menghela napas. “Kenapa lo ngajak gue?”

“Ya karena cuma lo doang yang ada di pikiran gue, Te.” Cintara menarik napas. “Ini kalau lo nggak mau, gue rencananya cuma pengen pinjem lo bentaran, Te. Maksud gue… kita nggak serius. Cukup sebatas pernikahan kontrak? Eh, pacaran kontrak? Atau apalah. Yang penting nggak ada yang dirugikan sama hubungan ini,” ujar Cintara. “Gue nggak mungkin ajak Niko. Ya kali gue ngajak dia nikah? Gue nggak mau nikah sama cowok yang nggak setia."

“Nggak setia gimana?”

“Gue nggak sengaja lihat dia make out sama cewek lain tempo hari. Gila, kan? Makanya gue males sama dia, meskipun gue nggak bisa kayak apa yang dia harapkan, tapi sejak awal gue udah bilang soal itu. Kalau dianya nggak mau ngikutin aturan gue, harusnya bilang sejak awal, dong? Kayak gue nggak ngomong aja dari awal. Kalau taunya dia diam-diam tidur sama cewek lain, gimana gue nggak sakit hati, coba?”

“Terus sekarang udah putus?"

“Gue maunya gitu. Dari tadi dia masih gangguin gue, tapi gue males nanggepin dia."

“Perlu gue kasih pelajaran dia?”

Cintara menoleh cepat ke arah perempuan itu. “Nggak usah aneh-aneh, deh. Jangan mengotori tangan lo dengan hal-hal nggak guna! Udah biarin aja. Gue bisa kok mengatasi Niko.”

“Oke.” Dante manggut-manggut. “Terus balik ke yang tadi. Lo mau dijodohin sama nyokap kalau lo nggak bawa calon suami gitu?"

“Iya.”

“Dijodohin sama siapa emangnya, Ta?”

“Itu tuh, anaknya Om Praba temennya Mama. Gue juga nggak kenal siapa dia. Kolot amat deh, minta gue cepat-cepat kawin biar apa, coba?” gerutu Cintara kesal.

“Ya mungkin nyokap lo khawatir sama lo kali, Ta,”

“Gue baik-baik aja kok dengan status available gue!” sanggah Cintara.

“Bukan soal baik-baiknya, Ta. Gue tau lo bakalan bisa jaga diri lo sendiri dalam hal apapun. Tapi yang namanya nyokap, apalagi tahu anaknya kerja jadi pramugari, yang pulang aja nggak pasti. Gue sih udah kebayang segimana khawatirnya nyokap lo,” ujar Dante.

“Nyokap aja yang berlebihan, Te! Terus terang gue belum mau nikah sebenarnya. Gue tahu gimana mengerikannya kehidupan dua pasangan dalam rumah tangga, dan gue belum siap.”

Bukan hal mudah bagi Cintara. Mengingat bahwa perempuan itu dibesarkan oleh orang tua tunggal karena perceraian.

“Ta…”

“Benar, kan?” Cintara menoleh ke arah Dante. “Nyokap gue nggak mungkin cerai dari bokap gue kalau mereka bisa mempertahankan pernikahan mereka. Untuk apa menikah kalau ujung-ujungnya bakalan pisah? Gue nggak ngerti apa tujuan mereka menikah dulu. Tapi kalau pada akhirnya ada perselingkuhan kayak apa yang pernah bokap gue lakuin ke nyokap. Mending gue nggak usah nikah sekalian, kan?"

“Sorry, Ta…” Hening sesaat. “Terus lo mau gue gimana? Pura-pura jadi pasangan lo di depan nyokap biar lo nggak dijodohin sama cowok lain, kan?”

“Iya.”

“Oke.” Dante mengangguk. “Tapi nggak gratis. Gimana?"

***

 Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status