Ressa bangun dan menarik tangan Arya. Dengan gontai Arya mengikuti Ressa untuk ikut rebahan di kasur dengan setengah badannya berada di lantai.
Kepala mereka saling bertaut. Arya sibuk memainkan game online di ponselnya, sedangkan Ressa sibuk klak-klik remote TV mengubah channel berkali-kali untuk mencari tontonan yang menarik versi dirinya.
Makanan tak kunjung datang, Arya membetulkan posisi tidurnya menjadi sejajar dengan Ressa. Dan mengubah posisi kepalanya menjadi miring, kali ini Ressa juga ikut miring yang membuat wajah mereka berhadapan.
Beberapa detik mereka berpandangan, tubuhnya saling berhadapan. Nafas mereka menjadi tak teratur. Degup jantung masing-masing menjadi sangat cepat. Tangan Arya menyentuh pipi Ressa, dan mendongakkan dagu Ressa hingga bibir mereka saling bertaut. Satu kecup dua kecup, akhirnya dilumatlah bibir ranum Ressa oleh Arya.
Tok tok tok.
Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk seseorang. Arya dan Ressa spontan menarik diri masing-masing. Suasana menjadi canggung. Ini pertama kalinya sepanjang dua tahun berpacaran.
Tok tok tok, pintu diketuk lagi.
“Online food,” teriak driver online food dari luar.
Arya segera membuka pintu dan menerima makanannya. Karena pembayaran non tunai, sehingga driver langsung pergi. Arya kembali menutup pintu. Sedangkan Ressa masih berdiam diri di tempat. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan keduanya.
Arya mengambil piring dan sendok dari rak. Ia membuka plastik makanannya. Melihat Ressa yang membatu dari tadi, ia merasa tidak enak, “Ressa, sayang, maafin aku ya, maafin untuk soal tadi.”
Ressa beringsut mendekati makanan yang sudah disajikan Arya, aromanya sangat menggugah selera.
“Tidak apa-apa Mas, aku cuma kaget aja tadi,” jawab Ressa.
Arya melirik Ressa dengan tatapan yang menggoda, “kalau tidak apa-apa berarti kapan-kapan boleh lagi? Manis rasanya.” Arya mengedipkan satu matanya.
Mendengar godaan Arya, Ressa melotot, “apaan sih, heh. Jaga tuh mata ya!” Sendok dan piring hampir saja melayang.
Arya meresponnya dengan cekikikan. Ia tahu Ressa akan menolaknya saat ini. Tapi ekspresi Ressa begitu menggemaskan.
Oh Tuhan. Seandainya tidak ada abang driver online food, sekarang aku pasti masih bercumbu dengan Mas Arya. Aku harus bersyukur atau kesal? Mas Arya pintar sekali mengambil kesempatan. Dan tubuhku sama sekali tidak bisa menolaknya. Batin Ressa.“Mas, boleh nanya gak?” tanya Ressa dengan ekspresi yang berubah menjadi serius.
Sambil menyuapi makanan ke mulutnya, Arya menjawab, “boleh dong sayang, apaan?” Pandangan Arya berpindah dari sendok ke wajah kekasihnya.
“Mas Arya sudah berapa kali mencium cewek kayak tadi?” tanya Ressa dengan polos. Mimik wajahnya mengisyaratkan rasa penasaran yang teramat sangat.
Ia memang belum pernah ciuman bibir, mengingat Arya adalah pacar pertama Ressa.Arya membelalakkan matanya, ia gagal menelan makanannya karena kaget dengan pertanyaan Ressa. Ia meneguk air karena makanannya terasa seperti nyangkut di lehernya.
“Sudah banyak kali kah Mas?” tanya Ressa lagi, menerka-nerka karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arya.
Waduh, nih anak nanya gini tuh cuma kepo apa gimana ya? Jangan sampe salah jawab nih. Batin Arya.
“Kenapa nanya gitu? Mas jago ya? Kamu kurang? Mau lagi?” goda Arya agar Ressa melupakan pertanyaannya.
Arya mendekatkan bibirnya pada bibir Ressa yang sedang manyun. Jarak bibir mereka hanya setengah inchi. Ressa spontan menutup mata. Namun Arya justru memundurkan kepalanya menjauhi Ressa.
Melihat Ressa yang menutup mata, Arya tertawa, “tuh kan pengin lagi,” goda Arya. Lagi-lagi Arya mengedipkan matanya.
Ressa merasa malu sekali. Saat ini mukanya memerah layaknya kepiting rebus. Gadis manis itu menjadi salah tingkah. Ia melempar bantal ke arah Arya, “ih, nyebelin banget, aku kan jadi malu.” Ressa menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Arya tertawa puas telah berhasil mengerjai kekasihnya ini.
“Maaf ya sayang, Mas takut khilaf kalau deket-deket kamu kayak tadi,” jelas Arya.
“Oh ya? Benarkah? Aku terlihat begitu menggoda kah?” tanya Ressa kepedean sambil meletakkan tangan di pipinya dan mengedipkan satu matanya.
Ressa ini sejak sekolah dasar hingga SMA selalu juara satu paralel, lulus sarjana dengan nilai cumlaude, langsung di rekrut perusahaan tempat ia magang dulu pula. Tapi sepertinya soal percintaan dia masih kurang berpengalaman. Sungguh dia terlalu polos. Atau sebenarnya dia pura-pura polos?
Sambil mengunyah, Arya menatap kekasihnya lekat-lekat, “iya.”
“Pandanganmu mengerikan banget Mas,” ujar Ressa begidik.
“Ya abisnya kamu mancing-mancing aku dengan pertanyaan-pertanyaan kayak gitu,” jelas Arya, “siapa yang ga nafsu coba, apalagi liat kamu cuma pake mini dress jauh di atas lutut, yang kalau duduk gitu keliatan celana dalemnya, besok meskipun di kos ga boleh pake-pake gitu lagi, apalagi menerima kiriman online food,” celoteh Arya panjang lebar menceramahi Ressa.
Ressa yang dinasihati hanya merenges, “ya abisnya panas banget.”
“Ya kalau aku ga bisa mengendalikan nafsu sama kamu gimana?” tanya Arya serius.
“Gak papa kalau kamu mah Mas,” jawab Ressa enteng. Ia terus mengunyah makanan tanpa memikirkan kalimat yang keluar dari bibir ranumnya.
Arya menggeleng mendengar jawaban dari Ressa, “pokoknya besok kalau aku main ke sini lagi gak boleh pake gituan,” ujar Arya kembali serius.
“Siap bos.” Ressa menjawab dengan tangan kanan posisi hormat formal.
Setelah selesai makan, Arya bersandar di dinding sambil menonton televisi. Sedangkan Ressa membersihkan bekas piring dan sendok yang bekas dipakai makan.
Melihat Arya serius menonton televisi, Ressa ikut duduk di samping Arya dan bersandar pada dadanya yang bidang. Tangan Arya memeluk Ressa dari belakang.
“Mas, kita nikah, yuk,” ajak Ressa.
Arya sedikit kaget mendengarnya. Tapi karena Arya pun sudah ada rencana menikahi Ressa, ia siap kapan pun Ressa merasa siap untuk dinikahi. Topik ini juga sering dibicarakan bersama Ressa.
“Kamu liburnya kapan? Nanti kita lamaran dulu,”
“Sekitar dua bulan lagi,” jawab Ressa berbinar.
“Kalau kamu liburan, kabarin aku ya, nanti aku beranikan diri berbicara sama ayah ibu kamu,”
“Beneran, Mas?” tanya Ressa.
“Iya dong, tapi aku ga bisa sering-sering ke sini, soalnya aku lagi merintis usaha warung kopi bareng Dika,” jelas Arya.
“Sejak kapan kamu buka warung kopi? Kok gak cerita?” Ressa merasa kaget karena seingatnya, Arya tidak pernah cerita tentang usaha barunya.
“Sudah jalan beberapa minggu ini, maaf ya yang, sebenarnya ini dalam rangka nyari penghasilan tambahan buat halalin kamu, do’ain lancar ya,” jawab Arya sejujurnya.
“Pasti. Aku bangga banget sama kamu Mas, i love you,”
Ressa melingkarkan tangan Arya di atas perut ratanya. Arya yang ditarik tangannya, semakin mengeratkan pelukannya, “I love you too.”
Sejak mengantar Ressa berangkat ke kontrakannya, Arya tidak pernah ke sana lagi. Dia masih sibuk bekerja di gudang milik ayahnya Ressa, dan mengelola bisnis warung kopi yang kini sudah memiliki bangunan tersendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan tulisan, pesan suara maupun panggilan video.Ressa pun tak merengek minta dijenguk atau diajak jalan-jalan seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim. Ia fokus pada kariernya, fokus pada pekerjaannya.Hingga dua bulan berlalu, tiba saatnya libur Natal dan tahun baru. Hari ini Ressa akan pulang. Arya yang dikabari merasa sangat senang. Mereka berdua memendam rindu yang terlalu dalam.Sudah ada banyak adegan yang tertulis dalam angan. Pulang, liburan, jalan bersama Arya, dilamar, dan tentu saja menetapkan tanggal pernikahan. Sempurna.Bukankah itu sangat membahagiakan?--Malam ini Ressa telah sampai di rumahnya. Saat makan malam, ia berniat bicara pada ayahnya pe
Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.Vera yang paham malah te
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
“Aw,” pekik Ressa.Ia membuka matanya. Melihat sekitar. Pemandangannya mirip kamarnya. Siapa yang sudah menggotongnya ke kamar? Di mana Arya?Tok tok tokTiba-tiba pintu kamar diketuk, sekali, dua kali, ia tak mendengarnya. Ketukan itu semakin kencang.Sayup-sayup terdengar suara dari luar, “Ressa, sayang, Nak, ditunggu ayah di luar.”Itu suara ibu Ressa, Ressa mengucek matanya. Ia melihat pakaian yang dikenakannya. Bukan gaun pengantin.Jadi tadi itu mimpi? Batin Ressa.Ia tak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena pernikahannya dengan lelaki pilihannya hanya sebuah mimpi, atau harus senang karena insiden terjatuh saat pernikahan ternyata hanyalah sebuah mimpi.Kepalanya terasa berat karena tidur singkatnya di sore hari. Ressa membuka pintu kamarnya, “ada apa Bu?”“Kamu tidur? Sore hari jangan tidur!” larang ibu Ressa.&
Di rumah Arya.Malam ini Arya menonton televisi sambil sesekali mengecek notifikasi ponselnya. Takut kalau-kalau tiba-tiba kekasihnya menghubunginya.“Arya anak ibu, lagi apa?” ibu Kalimah menghampiri anak lelakinya yang sedang menonton televisi.“Ini Bu, nonton moto gp, seru, sini Bu duduk,” jawab Arya sambil menepuk karpet di sebelahnya.Ibu Kalimah pun ikut duduk di samping Arya. Matanya melihat layar kaca, sesekali menatap anak lelakinya itu.“Nak, kayaknya sudah lama sekali pacarmu enggak main kesini lagi. Kamu masih sama Ressa?” tanya ibu Kalimah.“Masih, Bu,” Jawab Arya singkat. Matanya masih terpaku pada jajaran motor di layar kaca.“Kenapa kok enggak main kesini lagi?” tanya ibu Kalimah mengulangi pertanyaannya karena penasaran.“Dia sibuk kerja di kota, Bu,” jawab Arya dengan lembut.
Hari ini Arya tetap berangkat kerja ke gudang seperti biasanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap Arya yang pekerjaan keras.Seandainya tuan Sanjaya mau sedikit saja membuka hatinya, ia akan bisa melihat watak Arya yang berbeda jauh dengan ayahnya, Sukardi.Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu peribahasa yang selalu dipegang teguh oleh tuan Sanjaya sehingga ia menutup mata atas segala perilaku baik dari Arya.Tuan Sanjaya tidak merasa sedang balas dendam. Ia hanya masih merasa sakit hati atas apa yang diperbuat rekannya, Sukardi. Juga ia tidak mau putrinya diperlakukan dengan tidak baik oleh keluarga Sukardi. Masih ada trauma yang mendalam baginya.Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba tuan Sanjaya mengunjungi gudang. Biasanya ia akan menyuruh orang kepercayaannya untuk mengecek. Di sanalah ia melihat dan berpapasan dengan Arya, putra dari si penghancur kariernya.Arya sedang menata barang ketika tuan Sanjaya berk