Ada begitu banyak pertanyaan di benak Arya. Namun pada akhirnya, ia bisa merasa lega karena ternyata masih punya waktu setengah jam dari waktu janjiannya dengan Ressa.
Pukul 10.00, Arya memesan ojek online ke rumah Ressa. Seperempat jam kemudian ia sampai di rumah Ressa.
Setelah memberi uang cash pada driver, Arya berjalan mendekati gerbang rumah Ressa. Di sana ada satpam yang menjaganya.
“Siang, Pak, saya mau bertemu Ressa,” ujar Arya.
Satpam itu segera membukakan gerbang untuk Arya.
“Silakan, Mas, Non Ressa nya masih di dalam rumah, lagi siap-siap mau berangkat ke kota.
“Terima kasih,” ucap Arya sambil melangkah menuju pintu rumah Ressa.
Buset, jalan dari gerbang ke pintu rumah aja lumayan ya buat olahraga raga. Batin Arya.
Pintu rumah Ressa terbuka. Arya segera memencet bel rumah yang berada di sebelah kanan pintu. Tidak mungkin ia teriak salam atau memanggil nama kekasihnya itu. Keliatan ndesonya enggak sih? Mengingat rumah Ressa sangat luas dan lagi sudah disediakan bel pintu rumah.
Langkah kaki terdengar berjalan ke arah pintu. Ah, ternyata asisten rumah tangga. Kemana Ressa?
“Eh, Mas Arya, silakan masuk,” ajak bi Inah, asisten rumah tangga Ressa yang sudah kenal dengan Arya, “Saya panggilkan Non Ressa dulu ya, silakan duduk dulu Mas,” sambungnya.
Arya mengangguk dan mengikuti instruksi dari bi Inah untuk duduk, “Iya Mbak, terima kasih.”
Arya duduk diam di sofa ruang tamu rumah Ressa yang luasnya tiga kali kamar Arya. Hingga seseorang menepuk pundaknya, ia menengok ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk. Rupanya sang pujaan hatinya, Ressa.
“Sudah lama Mas nunggunya?” tanya Ressa.
“Enggak kok, ini baru sampe,” jawab Arya, “kamu udah siap semuanya?” tanyanya.
Ressa menunjuk ke barang yang sedang diangkut pak sopir, “udah itu tuh di bawa sama Pak Sopir, tinggal jalan aja.”
Arya celingukan seperti mencari seseorang, “Ayah sama ibu kamu kemana? Gak pamitan dulu?”
“Udah pamitan tadi pagi sama Ayah, beliau ada urusan di luar kota, jadi ga bisa melepas anaknya yang cantik ini untuk bekerja,” jawab Ressa.
“Lah Ibu kemana?” tanya Arya penasaran.
Belum sempat Ressa jawab, tiba-tiba nyonya Mira muncul dan bertanya, “kenapa Ar? Kamu nyariin ibu?”Suara nyonya Mira sontak mengagetkan Arya, “eh, Ibu,” ujar Arya tersenyum salah tingkah.
Ressa yang menyaksikan hanya tertawa melihat kekasihnya salah tingkah.“Arya mau ikut nganterin Ressa ya?” tanya nyonya Mira.
Arya yang ditanya mengangguk sambil tersenyum, “iya, Bu, bolehkah?”
Nyonya Mira tersenyum sumringah, “ya boleh lah Nak.”
“Makasih, Bu.” Sekali lagi Arya mengangguk memberi hormat tanda terima kasih.
“Makasih ibuku sayang,” ucap Ressa sambil memeluk ibunya.
“Kalian berdua hati-hati di jalan ya,” pesan nyonya Mira pada Ressa dan Arya.
Setelah berpamitan pada nyonya Mira, Arya mengekori Ressa masuk ke mobil yang sudah terparkir di depan pintu rumah Ressa.
Dengan perlahan, mobil melaju meninggalkan rumah megah nan mewah milik keluarga Sanjaya. Ressa siap untuk menapaki kehidupan sesungguhnya setelah lulus kuliah.
Ressa dan Arya duduk di kursi belakang pengemudi. Selama perjalanan, Ressa bergelayut manja di lengan Arya yang kekar, bercanda, dan berkelakar. Sesekali tiduran di pangkuan Arya. Tentu saja pak sopir akan tutup mulut dan tidak akan melaporkan hal ini pada tuan Sanjaya. Semakin berani lah Ressa bermesraan dengan Arya.
--Sekitar satu jam perjalanan dari daerah pinggiran menuju kota, akhirnya sampai juga di kontrakan yang akan ditempati Ressa.
Pak sopir dan Arya turun dari mobil dan menurunkan barang-barang Ressa.Sementara Ressa, tentu saja akan berjalan lenggang bak putri raja, dan pekerjaan berat dikerjakan para laki-laki, bukankah begitu? Tentu saja kalian akan setuju.
“Non Ressa, semua barang sudah dimasukkan ke dalam, Non Ressa perlu bantuan apa lagi?” tanya pak sopir.
Ressa berpikir sejenak, “emm, sepertinya tidak ada Pak, terima kasih ya Pak.”
“Kalau begitu, ini kunci mobil Non Ressa,” ujar Pak sopir sambil menyerahkan kunci mobil Ressa, “semoga pekerjaan Non Ressa lancar ya,” lanjut pak sopir.
“Iya Pak sekali lagi terima kasih. Oh iya, ibu sudah memberi ongkos untuk pulang, kan Pak?” tanya Ressa.
“Iya sudah Non,” jawab pak sopir, “Mas Arya mau ikut saya pulang atau pulangnya nanti?” tanya pak sopir pada Arya. Ia memberi pilihan pada pertanyaannya sebab ia tahu kemungkinan besar Arya akan tetap tinggal sementara beberapa jam ke depan. Hanya saja, sebagai orang yang ramah, pak Sopir pikir sedikit basa-basi sangat diperlukan. Demi menjaga hubungan baik di antara keduanya.
Sebelum Arya bersuara, Ressa menjawab duluan, “dia pulangnya nanti saja Pak, bantuin saya menata kontrakan dulu.”
Benar seperti dugaannya. Pak sopir mengangguk, “kalau begitu, saya permisi ya Non Ressa, mas Arya,” pamit pak sopir.
Setelah pak sopir meninggalkan kontrakan, Ressa mengajak Arya masuk ke dalam kontrakan.di dalam kontrakan, Ressa sudah terisi almari, kulkas, televisi, dan peralatan dapur lengkap.
Sejak kapan Ressa mengisi barang-barang ini semua? Batin Arya bertanya-tanya.
“Maaf Mas berantakan banget, aku belum sempat menata semuanya, pas kemarin bayar kontrakan di awal, aku langsung beli semua perlengkapan rumah ini, pesan via ojek online semua,” jelas Ressa seperti tau Arya bertanya dalam hati.
“Oh,” Arya hanya menjawab dengan kata Oh dan anggukan kepala.
“Mas, mau keluar cari makan atau mending pesen online?” tanya Ressa pada kekasihnya ini.
“Menurutku, emm mending online aja deh, soalnya kamu udah kelelahan perjalanan tadi kan, kita istirahat di sini saja,” usul Arya.
Ressa mengangguk tanda setuju. Ia segera membuka aplikasi online food. Sebelum ia mengeklik aplikasinya, tangan Ressa diraih Arya. “Biar pesen pake hapenya aku saja Ress.”
Ressa melepaskan tangan Arya, “ih, enggak apa-apa, kali ini Ressa yang bayar, anggap aja Ressa selamatan udah kerja, oke Mas Arya sayang,” celoteh Ressa.
Cup. Diciumnya pipi Arya. Sontak saja Arya ngefreeze untuk beberapa saat karena terkejut.
Ctek. Ressa menjentikkan dua jari tangan kanannya di wajah Arya.
“Hei, Mas Arya mau makan apa?” tanya Ressa pada Arya yang masih memegangi pipinya sambil senyum-senyum.“Samain saja sama kamu sayang,” jawab Arya singkat, menyembunyikan keterkejutannya.
Sambil menunggu pesanan makanan datang, Ressa rebahan di kasur yang berada di depan televisi. Sementara Arya duduk bersandar di tembok. Kontrakan ini hanya ada satu ruangan dan satu kamar mandi.
“Mas, sini di kasur gak papa, kita udah duduk sejam lo, Mas capek banget pasti kan? Aku pun,” ajak Ressa.
Arya menggeleng, “udah Yang, aku di sini saja.”
“Ih, Mas Arya takut khilaf ya,” goda Ressa.
“Kamu jangan mancing-mancing duluan ya Ress,” jawab Arya sambil tertawa.
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba