Share

Saran dari Vera

Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari. 

Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut. 

“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu. 

“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka. 

Vera yang paham malah tertawa dengan jawaban Ressa. “Hahaha... Iya sorry, nanggung tadi ngabisin es kelapa dulu di pinggir jalan.”

Tiba-tiba raut muka Ressa menjadi sedih, “enak ya kamu, bisa menjalani hubungan dengan Adit apa adanya.”

“Eh, ada apa nih, yuk masuk dulu, cerita sama aku, ayo cerita!” ajak Vera sambil membuka kunci rumahnya. Ressa membuntuti masuk ke dalam rumah. Vera mempersilakan sahabatnya itu untuk duduk di ruang tamu kemudian mengambil sebotol es jeruk dengan dua gelas yang diletakkan di nampan. 

Ressa melihat sekitar nampak sepi, biasanya ibunya Vera akan menyambut hangat Ressa. Beliau sangat welcome terhadap semua teman Vera. Ini yang membuatnya iri dengan keluarga Vera. 

“Ve, rumah kamu sepi?” tanya Ressa ketika melihat Vera datang dengan nampan yang berisi minuman. Harusnya tidak perlu ditanya, sebab tadi waktu masuk ke rumah pun Vera membuka kunci sendiri, itu berarti memang Vera orang pertama yang masuk ke rumah. Ini pertanyaan retoris. Atau Ressa hanya butuh sebuah validasi. 

“Iya nih, sepi. Aku sendirian. Semua lagi pada liburan ke rumah nenek, aku gak bisa ikut karena udah janjian sama dosbingku, nasib emang,” jawab Vera sambil memanyunkan bibirnya. 

Ressa tertawa mendengarnya, tapi beberapa saat kemudian raut mukanya berubah serius. 

“Semangat ya Ve, mudah-mudahan cepet selesai skripsinya.”

Vera mengatupkan kedua tangannya kemudian mengusapkan ke mukanya, “Amin, thanks Ress, oh iya minum dulu gih, haus pasti dari tadi nunggu di teras.” 

Ressa mengambil es jeruk yang disuguhkan Vera padanya dan segera meminumnya, “seger banget nih minumannya, lumayan ikut nyegerin otak.”

“Hahaha, bisa saja kamu Res, eh, by the way tadi katanya mau cerita, ada masalah apa?” tanya Vera pada Ressa penasaran. Ia mengubah posisi duduknya menghadap ke Ressa. Kedua kakinya dinaikkan ke kursi dan disilangkan. Mirip duduknya bapak-bapak yang sedang mengaji. 

“Ve, ayahku tiba-tiba menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Arya,” jawab Ressa sedih. 

“Hah?” Vera kaget mendengar jawaban Ressa. Sampai-sampai es yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya hampir muncrat tapi tidak jadi karena ia buru-buru menelannya. “Serius? Lah, alasannya apa? Bukankah selama ini Arya main ke rumahmu juga tidak ada penolakan?” selidik Vera. 

Sambil terisak Ressa menceritakan semua pada sahabatnya, “Ayah bilang kami berbeda jauh, ya status sosial, ekonomi, pendidikan. Aku ga habis pikir dengan Ayah, kenapa tiba-tiba ngomongin soal ini, selama ini kalau Arya main memang jarang ditemui ayah, selalu sama ibu, ayah hanya diam, tidak ada respon apapun. Menurutmu aku harus bagaimana?”

Vera menepuk-nepuk punggung Ressa mencoba memberikan dukungan padanya.

“Kalau soal restu orang tua, aku ga bisa berkata apa-apa Res, aku berdoa semoga kamu bisa melewati semua ini.”

“Aku sangat mencintai Arya Ve, kamu kan tau, sudah dua tahun kami bersama, dia laki-laki yang baik, pekerja keras, dan penyayang. Di lain sisi, aku juga menghormati ayah, aku benar-benar dilema,”

Vera hanya diam, ia membiarkan sahabatnya itu menangis untuk beberapa saat. Setelah puas menangis, Ressa mengusap air matanya, dan mendongak melihat Vera. 

“Ve, apa aku harus ceritakan ini ke Arya?” tanya Ressa. 

“Menurut aku ya lebih baik memang cerita ke Arya Ve, bagaimanapun dalam suatu hubungan harus ada keterbukaan, jangan memendam masalah sendiri. Biar bisa dicari solusinya bersama,”

“Oh, gitu yah, baiklah aku akan cerita ke Arya. Kebetulan nanti sore aku ada janji jalan bareng doi, aku suruh dia jemput di sini, boleh ya Ve,” pinta Ressa

“It's ok, Res,” jawab Vera tanda mengizinkan, “kamu mau istirahat dulu?” 

“Pasti kamu kan yang mau tidur?” tebak Ressa yang tahu banget kalau sahabatnya ini sangat suka tidur. 

“Tau aja kamu Res, kamu memang sahabat baikku,” jawab Vera sambil merangkul Ressa beberapa detik. Ressa tertawa mendengar pujian Vera. Sukses sudah mengubah tangis sahabatnya menjadi tawa. 

“Ya siapa yang gak kenal Vera si putri tidur,” ujar Ressa yang membuat gelak tawa Vera. 

“Ya abis gimana, emangnya mau ngapain lagi kalo gak molor, hahaha.” 

Dret dret dret

Ponsel Vera berdering dan getarannya semakin keras karena diletakkan di meja kaca. 

“Ve, hape kamu tuh bunyi,” Ressa memberi tahu Vera yang tidak fokus pada ponselnya. Vera spontan melihat ponselnya. Di sana terlihat nama Adit dan emotikon hati warna merah. 

“Kyaaa, Adit telepon, Res, aku telepon di kamar aja ya, ikut gak?” ajak Vera pada Ressa. 

“Nanti deh,” tolak Ressa karena tidak ingin mengganggu sahabatnya.

“Baiklah, kau santai aja di sini ya, mau ke dapur oke, tidur di kamar oke, ke toilet oke, tiduran di depan TV juga oke, anggap saja rumah sendiri, lagi pula bapak ibukku pulangnya besok, jadi sepi deh,” pesan Vera pada Ressa yang masih betah duduk di kursi depan televisi. 

“Hahaha... Oke sip” jawab Ressa sambil mengacungkan jempolnya.

Vera ketiduran setelah telepon dengan Adit di kamar, sedangkan Ressa ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikiran Ressa seperti berlari ke sana kemari, bahkan televisi yang menyala pun tidak ia tonton, hanya dijadikan sumber suara agar tidak terlalu sunyi suasananya.  

Ressa berpikir, setelah ia lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, ia bisa langsung menikah dengan lelaki pujaannya. Namun kenyataannya terlalu pahit, belum juga membicarakan hal ini ke orang tuanya, sudah ada penolakan dari ayahnya. Mau di bawa ke mana hubungannya? Dia benar-benar merasa bingung. 

Pikirannya terus melayang hingga tak terasa matahari terus berjalan ke arah barat. Tiba-tiba sudah hampir sore, sebentar lagi Arya datang menjemputnya. Ressa masih malas untuk bangun dari kursinya. 

Vera yang sudah merasa kenyang tidurnya, bangun dan menghampiri Ressa yang tiduran di kursi depan tv, “kamu gak tidur Res?” tanya Vera. 

Ressa segera bangun dan mengambil posisi duduk. Vera spontan langsung duduk di sebelah Ressa dan mengambil sestoples keripik singkong dan dipeluknya. 

“Bagaimana bisa aku tidur, pikirannya lagi gak karuan,” alibi Ressa. 

“I feel you, Ress. Aku tau kamu lebih sabar dan lebih semangat dari sekedar kata-kataku,” ucap Vera. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status