Tok tok tok.
Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.
“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.
“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.
Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.
Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus memberikan ruang untuk mereka ngobrol.
Beberapa menit di dapur, Ressa memanggil-manggil nama si empunya rumah.“Ve!” panggil Ressa dari ruang TV, Vera yang mendengarnya bergegas keluar dapur.
“Ada apa Res?” tanya Vera sambil menyerahkan segelas minum untuk Arya, “minum dulu Ar!”
Arya menerimanya dengan ucapan terima kasih, “thanks, Ve.”
“Kamu mau ikut gak?” tanya Ressa pada Vera.
“Gak lah, mager aku,” jawab Vera sambil mendaratkan tubuhnya di kursi.
Arya meneguk minuman dari Vera. Membiarkan para gadis ngobrol.“Ajak Adit sekalian biar enggak mager,” ujar Ressa.
Vera tersenyum mendengar godaan dari Ressa, “kayaknya dia juga masih tidur deh.”
“Lah, kalian cocok banget sama-sama suka tidur,” Ressa terus saja menggoda sahabatnya.
“Hahaha, iya bener juga ya, eh tapi kalian juga cocok tau. Kalian sama-sama ngeselin,” ledek Vera.
“Beneran gak ikut nih?” tanya Ressa meyakinkan kembali.
Vera mengangguk, “iya beneran gak ikut,” jawab Vera yakin. Lagi pula ia tidak mau mengganggu sahabatnya berkencan dan membahas masalah yang sangat urgen dan krusial.
“Kalo gitu kita berangkat dulu ya, biar di sana agak lamaan,” pamit Ressa pada sahabatnya.
Vera mengacungkan jempol tangannya, “oke deh kalo gitu, kalian hati-hati ya,” pesan Vera pada sepasang kekasih yang sedang memperjuangkan restu.Ressa dan Arya segera berdiri dan berjalan keluar, sedangkan Vera mengantarnya sampai depan pintu rumahnya.
Setelah memakai helm, Arya segera menstater motornya, barulah Ressa ikut naik dan duduk di jok belakang. Mereka berdua melambaikan tangan ke arah Vera, motor pun melaju meninggalkan rumah Vera.
Sepanjang jalan, Ressa melingkarkan tangannya di pinggang kekasihnya itu. Sejenak ia melupakan pertentangan dari ayahnya. Dua insan itu merasa seperti dunia hanya milik mereka berdua. Sesekali tangan Arya mengusap lembut punggung tangan gadisnya itu dan dibalas genggaman dari Ressa. Sesekali Arya meletakkan tangannya di lutut Ressa.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya sampailah mereka di pantai. Ressa turun dari motor dan berjalan ke samping Arya. Tanpa dimintai bantuan, Arya dengan sigap membantu Ressa melepaskan helm yang dipinjamnya dari Vera. Ia tahu, kekasihnya selalu kepayahan membuka helm.
Setelah memarkirkan motornya dan mengunci setang, mereka berjalan ke salah satu warung pinggir pantai untuk memesan minuman.
Langkah Ressa terhenti di salah satu meja kursi yang kosong, Ressa segera duduk tanpa minta persetujuan Arya. Arya mengikuti Ressa duduk dan meletakkan minumannya di meja.
“Di sini cocok buat liat sunset deh kayaknya, iya gak?” tanya Ressa setelah Arya duduk.
“Iya,” jawab Arya sambil mengusap lembut kepala Ressa. “Ressa ku sayang, aku kangen banget sama kamu,” ucap Arya sambil menggenggam jemari tangan Ressa.
“Sama, aku juga kangen banget sama kamu, Mas,” balas Ressa.
“Ressa, gimana jadi mau dilamar sekarang?” tanya Arya masih dengan wajah sumringah. Ia bahagia sekali bisa jalan-jalan sore hari bersama gadis kecintaannya. Berharap setelah ini segera melamarnya.
Ressa menurunkan garis bibirnya ke bawah. “Mas, aku pun ingin segera dilamar kamu, dinikahi kamu, hidup sama kamu, sesuai rencana kita, setelah aku lulus, dan bekerja, kita menikah.”
Arya membaca situasi yang tak biasa dari gadisnya, “apa ada masalah, Ress?” tanya Arya penasaran.
“Ayah tidak setuju dengan hubungan kita,” jelas Ressa.
Mata Arya terbelalak, seakan tak percaya, perjuangannya dua tahun belakangan ini sangat luar biasa agar bisa menikah dengan wanita yang diidam-idamkannya. Ia rela bekerja siang malam agar bisa menambah tabungan untuk menghalalkan kekasihnya bahkan tak peduli raganya remuk.
Seakan tahu alasannya, tanpa bertanya, Arya pun paham, “Aku tahu Ress, aku cukup tahu diri.”Arya melepaskan genggaman tangannya.
Ressa melihat Arya, kekasihnya itu menundukkan wajahnya. Tapi raut muka sedihnya masih bisa terlihat jelas. Ressa merasa gelisah, “Mas, aku sangat mencintaimu, aku ingin memperjuangkan hubungan kita, apa kamu mau berjuang bersamaku?”“Bagaimana caranya Ress? Kita itu bak langit dan bumi, perbedaan status kita terlalu jauh, seharusnya aku tau diri sejak dulu, bukan malah memimpikan hidup bersamamu,” ucap Arya yang putus asa.
Ressa kaget seakan tak percaya mendengar jawaban Arya. Bagaimana mungkin lelaki yang dicintainya gampang putus asa begini. Seharusnya dia menguatkan, seharusnya dia jadi problem solver. Bukan pecundang macam ini.
“Apa kamu akan menyerah?” tanya Ressa. Hanya kalimat itu yang bisa terlontar dari bibir Ressa. Ressa pun ikut merasa putus asa. Matanya berembun.
“Ress, jujur aku sudah menduga hal ini, tapi tetap saja aku shock.” Arya menjelaskan alasan sikapnya pada Ressa.
Ressa merasa ada sedikit harap, “terus?”
Pandangan Ressa mulai buram, embun di matanya sudah penuh. Arya merasa bersalah dengan responsnya tadi terhadap Ressa. Ia menggeser duduknya mendekati Ressa.“Aku mencintaimu Ressa,” ujar Arya memeluk tubuh ramping Ressa, “aku mencintaimu Ressa,” kalimat itu terus diulang Arya. Ingin sekali Arya menangis, tapi karena nalurinya sebagai lelaki, ia menahan sakitnya dalam dada dan memberi pesan kepada otaknya agar menyampaikan kepada mata bahwa ia tidak boleh memberi respons menangis.
Buliran air suci mulai jatuh dan mengalir di pipi Ressa. Ia tidak habis pikir dengan kekasihnya itu. Ressa tahu Arya mencintainya. Tapi bukan itu yang ingin dia dengar. Ia hanya ingin diperjuangkan karena saat ini berada dalam posisi dilema.
“I know, tapi aku butuh dikuatkan Mas, aku butuh solusi, kamu jangan meninggalkan aku di masalah ini sendirian,” isak tangis Ressa mulai terdengar.
Arya mengeratkan pelukannya beberapa saat. Setelah suara isak tangis gadisnya agak mereda, ia melepaskan pelukannya. Ia meraih jemari tangan Ressa dan menggenggamnya erat, “maafkan aku Ress, kamu benar, aku harus lebih kuat agar bisa menguatkanmu, maafkan aku, sekali maafkan aku, kita cari solusinya bersama.”
“Berjanjilah untuk tetap berjuang bersama,” ucap Ressa sambil menunjukkan jari kelingkingnya.
Arya pun mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Ressa, “Aku janji Ress, apapun yang terjadi, mari kita hadapi bersama.”
Ressa membetulkan duduknya sejajar dengan Arya. Ia mendaratkan kepalanya di pundak lelaki kekar itu. Tangan kirinya melingkar di pinggang Arya dan tangan kanannya perpegangan dengan tangan kiri Arya. Arya mengusap lembut kepala gadisnya dengan sesekali membetulkan rambut panjang Ressa yang tersibak oleh angin pantai.
Tak ada percakapan tentang restu setelah itu. Mereka menikmati sunset bersama, buaian angin, dan suara gemuruh gulungan ombak yang pecah di bibir pantai. Sejenak mereka larut dalam pikirannya masing-masing
--Di rumah Tuan Sanjaya.
Tuan Sanjaya dan istrinya, nyonya Mira, sedang duduk di balkon rumahnya sambil menikmati teh sore hari. Meski berwatak keras, tuan Sanjaya selalu menyempatkan untuk duduk santai dengan istri yang sudah menemaninya tiga puluh tahun.“Di mana anakmu?” tanya Tuan Sanjaya kepada istrinya setelah meneguk teh hangat yang disajikan nyonya Mira sendiri. Memang untuk urusan teh, ia tidak mau dibuatkan oleh asisten rumah tangganya. Baginya minuman terenak adalah buatan istri tercintanya itu.
“Ressa maksud Ayah?” tanya nyonya Mira sambil mengambil gelas tehnya dan meminumnya.
“Ya memangnya siapa lagi yang bandel?” jawab Tuan Sanjaya yang sebenarnya lebih mirip pertanyaan. Ia meletakkan gelas tehnya dan mengambil sebatang rokok dari bungkusnya.
“Ayah, gak boleh ngomong seperti itu, bagaimanapun juga dia anak kita,” ujar nyonya Mira sambil menaruh gelasnya ke tatakan lagi. Matanya melihat gelas tuan Sanjaya. Ternyata sudah kosong, segera ia menuangkan teh ke dalamnya.
“Iya iya, kamu ini selalu membela anak bungsumu itu!” ucap tuan Sanjaya sambil mengepulkan sisa asap rokok dari mulutnya.
“Yah, ibu boleh tahu alasan Ayah tiba-tiba menolak keras hubungan Ressa dan Arya?” tanya nyonya Mira penasaran.
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
“Aw,” pekik Ressa.Ia membuka matanya. Melihat sekitar. Pemandangannya mirip kamarnya. Siapa yang sudah menggotongnya ke kamar? Di mana Arya?Tok tok tokTiba-tiba pintu kamar diketuk, sekali, dua kali, ia tak mendengarnya. Ketukan itu semakin kencang.Sayup-sayup terdengar suara dari luar, “Ressa, sayang, Nak, ditunggu ayah di luar.”Itu suara ibu Ressa, Ressa mengucek matanya. Ia melihat pakaian yang dikenakannya. Bukan gaun pengantin.Jadi tadi itu mimpi? Batin Ressa.Ia tak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena pernikahannya dengan lelaki pilihannya hanya sebuah mimpi, atau harus senang karena insiden terjatuh saat pernikahan ternyata hanyalah sebuah mimpi.Kepalanya terasa berat karena tidur singkatnya di sore hari. Ressa membuka pintu kamarnya, “ada apa Bu?”“Kamu tidur? Sore hari jangan tidur!” larang ibu Ressa.&
Di rumah Arya.Malam ini Arya menonton televisi sambil sesekali mengecek notifikasi ponselnya. Takut kalau-kalau tiba-tiba kekasihnya menghubunginya.“Arya anak ibu, lagi apa?” ibu Kalimah menghampiri anak lelakinya yang sedang menonton televisi.“Ini Bu, nonton moto gp, seru, sini Bu duduk,” jawab Arya sambil menepuk karpet di sebelahnya.Ibu Kalimah pun ikut duduk di samping Arya. Matanya melihat layar kaca, sesekali menatap anak lelakinya itu.“Nak, kayaknya sudah lama sekali pacarmu enggak main kesini lagi. Kamu masih sama Ressa?” tanya ibu Kalimah.“Masih, Bu,” Jawab Arya singkat. Matanya masih terpaku pada jajaran motor di layar kaca.“Kenapa kok enggak main kesini lagi?” tanya ibu Kalimah mengulangi pertanyaannya karena penasaran.“Dia sibuk kerja di kota, Bu,” jawab Arya dengan lembut.
Hari ini Arya tetap berangkat kerja ke gudang seperti biasanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap Arya yang pekerjaan keras.Seandainya tuan Sanjaya mau sedikit saja membuka hatinya, ia akan bisa melihat watak Arya yang berbeda jauh dengan ayahnya, Sukardi.Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu peribahasa yang selalu dipegang teguh oleh tuan Sanjaya sehingga ia menutup mata atas segala perilaku baik dari Arya.Tuan Sanjaya tidak merasa sedang balas dendam. Ia hanya masih merasa sakit hati atas apa yang diperbuat rekannya, Sukardi. Juga ia tidak mau putrinya diperlakukan dengan tidak baik oleh keluarga Sukardi. Masih ada trauma yang mendalam baginya.Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba tuan Sanjaya mengunjungi gudang. Biasanya ia akan menyuruh orang kepercayaannya untuk mengecek. Di sanalah ia melihat dan berpapasan dengan Arya, putra dari si penghancur kariernya.Arya sedang menata barang ketika tuan Sanjaya berk
“Maafkan aku, Ress. Aku mau kamu tetap hormat pada orang tuamu, ikuti dulu kemauan orang tuamu. Sambil berjalan, kita sambil cari solusi, aku akan membuktikan pada ayahmu, kalau aku pantas mendapatkanmu. Kita berdoa bersama semoga semesta menyatukan kita. ”Sebuah deru motor mendekat pintu masuk. Ressa dan Arya kompak melihat ke arah luar. Dika. Rekan kerja Arya sudah sampai. Ia membuka pintu menggunakan kunci yang dibawanya. Tapi gagal, karena ada kunci yang tergantung di dalam.Arya membukakan pintu dan mempersilakan Dika untuk masuk.“Dik, masuk, gih, siapin semuanya!”Dika masuk ke dalam. Pandangan matanya menangkap sosok gadis cantik yang sering diceritakan Arya. Apa dia Ressa? Dika bertanya-tanya dalam hatinya. Wajar saja karena Dika memang belum pernah ketemu sebelumnya.“Eh, siapa itu Ar? Ressa kah?” Tanya Dika setengah berbisik.Arya mengangguk, “yoi.”
Arya kembali ke warung miliknya dengan ojek online. Meski hatinya perih, ia harus tetap bekerja. Apalagi saat ini coffe shop miliknya sudah dikenal kalangan milenial.“Bro, lesu amat abis kencan,” celetuk Dika yang melihat Arya tak bertenaga.“Nanti lah aku ceritakan kebenarannya sama kamu,” jawab Arya tak punya mood untuk bercerita.Dika tak ambil pusing tentang itu.“Kamu kalo ga semangat gitu istirahat dulu gih. Biar aku yang ambil alih semuanya. Daripada kamu nanti menurunkan kualitas minuman kamu sendiri. Oke?” ujar Dika pengertian.Sesuai motto coffe shopnya yakni "kepuasan pelanggan adalah prioritas kami".“Gak. Aku tetep kerja, semangat buat diriku sendiri!” ujar Arya.Dika terkekeh mendengarnya. Aneh sekali memang sahabatnya yang satu ini.“Bro, liat tuh, Adit sama Vera dateng,” ujar Dika menunjuk di pintu di mana Adit m
Tanpa jeda, Ressa menjawab, “enak saja, aku masih cinta banget sama dia. Dan kami sedang berusaha biar ayah bisa merestui kami.”Gilang tersenyum sinis, “Memangnya cukup waktunya? Dua bulan lagi kita bertunangan, tadi aku mendengar percakapan mereka sih gitu.”Ressa terkejut mendengarnya hingga sisa jus yang di mulut hampir tersembur, “hah?”Gilang merasa menang bisa mendapatkan Ressa yang cantik jelita dengan mudahnya.“Kamu tega nyakitin hati orang lain?” tanya Ressa, “kamu mau tunangan sama orang yang tidak mencintai kamu?”“Aku pribadi tidak masalah, lambat laun kamu juga akan tergila-gila padaku,” jawab Gilang tak acuh. Ia terlalu percaya diri.“Tapi aku enggak mau sama kamu. Dan tidak akan pernah mencintai kamu.”Ressa menolak langsung. Tapi apalah daya, lelaki yang ada di hadapannya ini adalah laki-laki yang dijodohkan oleh aya