Share

Setia Tak Berbalas

Namun Agista tetap pada pendiriannya, dia tidak menganggap jika  dirinya seperti sampah.

     Setelah lulus SMA dan setelah Yuda merenggut mahkotanya, Agista lebih sering menghabiskan waktunya di tepi danau melihat dan ngajak ngobrol teratai - teratai yang ada di sana. Dan di sana pula dulu Agista dan Yuda sering memadu kasih.

     Sore itu teratai yang dilihat Agista kebanyakan sudah layu namun sebagian ada pula ada yang baru mekar.

   "Hai, teratai aku sudah jujur pada Yusuf. Tapi mengapa dia tetap ingin menikahi ku? Kenapa dia tidak merasa jijik dengan aku?" Agista bertanya pada bunga teratai yang dia anggap sebagai sahabatnya.

    "Wahai, teratai! Semakin dia menolak semakin ingin aku memilikinya," Yusuf datang tiba-tiba dan sama-sama bicara pada bunga teratai.

     Yusuf pun melangkahkan kakinya ke tepi danau dan memetik satu bunga teratai seraya berujar kepada Agista.

    "Bukankah teratai ini sahabatmu? Bisakah kamu belajar dari teratai ini?" Yusuf berusaha meyakinkan Agista jika dia benar-benar tulus mencintainya.

     "Lihatlah teratai - teratai itu! Mekar dengan indah meski hidup di atas air yang kotor," Yusuf mencoba memberikan semangat pada Agista walau pun bukan perawan tapi dia tetap bisa memberikan sesuatu yang lebih baik dari itu.

    "Bagiku, apalah arti perawan jika dia tidak bisa menerima aku apa adanya," 

     "Jujur aku mencintaimu pada saat kamu bersikap jujur siapa dirimu," alasan demi alasan pun Yusuf lontarkan kepada Agista seraya menatap wajahnya yang sendu dan matanya sembab memerah karena hampir setiap hari menangisi Yuda yang tak kunjung mengabari keberadaannya.

   

    "Agista aku ingin menikahimu! Aku sayang sama kamu, aku ingin membuat senyummu terus terpancar dari wajah cantikmu ini!" 

    Tangan Yusuf memegang kedua tangan Agista seraya menatap wajahnya yang sedang sedih itu. 

    "Tidak kak!" lagi-lagi Agista menolak Yusuf.

     "Aku akan pergi ke Jakarta, mudah-mudahan aku dapat petunjuk di sana tentang keberadaan Yuda," Agista malah berlalu pergi dan memutuskan untuk menyusul Yuda ke Jakarta walau pun dia tidak tahu di mana alamatnya.

   Agista pun meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jakarta dan menyusul Yuda.

   "Nak, bagaimana jika orang tua Yusuf bertanya pada kami? Apa alasan Ibu dan Ayah tentang kepergian kamu?" tanya ibunya Agista.

    "Bilang saja, jika aku mau cari pekerjaan Bu!" Jawabnya.

    Seribu cara pun kedua orang tuanya Agista menahan pergi, tak mampu mengalahkan tekadnya untuk mencari keberadaan Yuda.

   Pagi sekali Agista berangkat ke terminal dengan naik ojeg. Isak tangis sang Ibu pecah melewati kepergian anaknya yang akan memperjuangkan haknya. Begitu pula dengan sang Ayah.

   "Nak, hati-hati di sana! Jakarta tidak seperti di kampung kita," pesan sang Ibu kepada Agista sambil menangis dan memeluk tubuhnya dengan erat.

  "Bu, do'akan aku yah! Yah jangan sedih aku pasti bisa jaga diri!" Agista pun membalas pesan dan nasihat orang tuanya.

    Agista pun berangkat dan naik bus. Setelah tiba di Jakarta Agista bertanya pada supir bus di mana daerah Jakarta Selatan. 

   Sebelum berangkat Agista mencari informasi terlebih dahulu pada salah satu temannya Yuda yang katanya Yuda berada di daerah seputar Jakarta Selatan.

   "Maaf neng, kalau nanya alamat itu harus lengkap karena Jakarta Selatan itu luas!" Jawab sang supir.

   "Ya sudah, terimakasih pak!" Agista pun berlalu dan mencari sendiri Jakarta Selatan itu.

    Dari Dzuhur hingga magrib tiba, kaki pun sampai lecet karena berjalan menyisir kota Jakarta yang sangat luas.

    Karena hari sudah mulai gelap, dan azan magrib berkumandang Agista mencari mesjid untuk melaksanakan shalat Magrib.

    Di mesjid itu pula Agista berdo'a dan memohon petunjuk tentang misinya mencari alamat Yuda.

   "Ya Allah ampuni hamba Mu ini yang sudah berlumuran dosa, tapi aku mohon agar aku mampu menebus dosa-dosa itu!" 

    Seusai shalat Agista termenung di teras mesjid sampai waktu shalat Isa tiba, namun  dia  tetap bingung harus ke mana lagi kakinya melangkah.

    "Maaf nak, jika tidak ada kepentingan mesjid ini akan kami kunci!" ujar sang marbot mesjid.

    "Aku mencari alamat seseorang tapi tak kunjung ketemu," jawab Agista.

    "Bagaimana kalau tinggal saja di tempat saya, sebelum alamat yang nak cari belum ketemu?" tawar sang marbot.

   Dengan senang hati, Agista menerima pertolongan sang marbot tersebut.

   Rumah sang marbot tidak jauh dari mesjid, dan setelah tiba di rumah Agista dikenalkan dengan istri dan anaknya.

   "Oh iya kita sampai lupa berkenalan. Saya Ahmad, ini Murni istri saya, dan ini Samira putri kami," ujar sang marbot.

   "Aku Agista pak, Bu dari Bandung. Terimakasih atas kebaikan kalian memberi tumpangan tidur," 

    "Karena sudah malam, bagaimana kalau nak Agista istirahat saja! Tidur di kamar Samira yah!" seru sang Marbot.

   Sebuah kebaikan berpihak pada sang bunga teratai, di tengah kota Jakarta yang keras Allah mengirimkan orang sebaik pak Ahmad dan keluarga padanya.

   Setelah subuh, Agista berniat untuk melanjutkan petualangannya untuk mencari sang kekasih. Agista berpamitan dan berterima kasih pada keluarga pak Ahmad.

    Sebelum pergi Bu Murni memberikan sesuatu pada Agista.

   "Nak, pakailah ini! Kamu akan semakin cantik dan terjaga dari fitnah!" Bu Murni memberikan sebuah kerudung yang cantik pada Agista.

    "Ibu kok baik sekali, padahal kita baru kenal," puji Agista.

    "Ibu juga memiliki anak gadis seumuran kamu, jadi ibu sangat ingin menjaga kehormatannya," 

   Agista sangat malu ketika Bu Murni  bicara seperti itu, karena dirinya sudah menyia-nyiakan kehormatan yang seharusnya dia jaga sampai kata sah keluar dari mulut para saksi ijab kabul antara ayah dan calon suaminya kelak.

   "Terimakasih Bu!" Agista menangis di pelukan Bu Murni.

   "Jika alamatnya tak kunjung ketemu lagi, kamu jangan sungkan untuk ke sini lagi!" 

   Dengan tidak berlama-lama, Agista segera melangkahkan kakinya menyusuri setiap jalan yang ada di Jakarta.

    Keringat pun sudah membasahi tubuh mungilnya karena kepanasan. Sesekali dia duduk di tepi jalan hanya sekedar ingin melepaskan rasa lelahnya.

     "Yuda, kamu di mana? Aku sangat lelah menunggu dan mencari mu," Agista bergumam dalam batinnya sendiri.

    Tak lama kemudian, Agista bangkit dari duduknya dan ....

     "Braaak," 

    Suara mobil menabrak pohon yang ada di depannya dan secara spontan mobil itu mengarah padanya  lalu menyerempet tubuhnya yang sangat mungil itu hingga Agista terjatuh pingsan di tempat.

   Satu jam kemudian, Agista membuka matanya dan tersadar jika dirinya sedang berada di ranjang rumah sakit.

     "Maaf dek, saya disuruh memberikan ini dari  seseorang yang mengantar adek  ke sini!" ucap salah seorang perawat sambil memberikan sebuah amplop pada Agista.

   Dengan tangan yang masih tertancap jarum infus, Agista membuka perlahan isi amplop yang diberikan perawat tadi.

   Isi amplop tersebut berisi beberapa lembar uang, dan selembar kertas yang isinya, "Uang ini sangat lebih dari cukup untuk kamu pulang dan menikmati kehidupan yang baru," 

   Agista segera memanggil perawat dan meminta tolong untuk mencabut jarum infusnya.

   "Suster, saya mau pulang. Kira-kira saya harus bayar berapa?" tanya Agista pada perawat.

    "Semua biaya rumah sakit sudah dibayar oleh laki-laki yang menitipkan amplop kepada saya untuk Adel," jawab sang perawat.

    Agista makin kebingungan, sebenarnya laki-laki itu siapa dan cerita dia bisa sampai di rumah sakit pun tidak tahu persis karena terakhir yang dia lihat adalah duduk dan bangkit dari bawah pohon di tepi jalan, dan setelah itu dia tidak sadarkan diri.

   Sambil melangkahkan kakinya perlahan, Agista kembali melanjutkan perjalanannya. 

   Baru saja sepuluh menit berjalan, perutnya sudah keroncongan. Lalu dia mencari rumah makan.

    Rumah makan tersebut ada di seberang rumah sakit, ketika namun ketika hendak menyeberang Agista mendengar sebuah suara yang tak asing dia dengar.

    Suara itu berasal dari samping Agista, saat  matanya menoleh ke arah sumber suara yang dia dengar. Ternyata seorang lelaki yang sudah membuat dirinya melangkahkan kaki  sampai  ke Jakarta.

   Lelaki itu adalah Yuda, namun Agista merasa ada yang janggal dengan apa yang dia lihat.

  Yuda tengah bermesraan dengan seorang wanita seksi,  sontak Agista langsung menghampirinya. Menyapanya dengan  menepuk bahu Yuda.

    "Yuda!" 

     Tapi Yuda malah menarik tangan Agista dan mengajaknya sedikit jauh dari jarak  wanita tersebut seraya menuturkan kata-kata yang membuatnya sangat sakit.

   "Apa uang yang aku berikan tadi kurang? Aku kasih lagi yah," ucap Yuda sambil mengambil beberapa lembar uang kertas berwarna merah dari dompetnya dan memasukannya pada tas kecil Agista.

    "Jadi amplop tadi?" dengan nada gugup Agista baru sadar jika surat dan uang yang dititipkan dari perawat itu adalah dari Yuda.

    "Berarti kamu?" Agista kembali gugup, matanya memerah, dan tangannya terkepal dikedua pahanya. 

    Yuda menjawab Agista, namun sebelum mulut Agista mengeluarkan kata-kata. Agista  ....,

Bersambung

***

Hai sobat, kira-kira apa yang dilakukan Agista pada Yuda? Setelah misi pencariannya berhasil.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ariandani Rissa
wanita selalu saja memakai perasaannya tanpa berpikir logis. kasihan Agista
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status