Share

Chapter 3: Rencana

Setelah aku melihat kunci kamar yang sudah ada di tangan Ellard, langsung saja aku menuju kearah tangga untuk pergi ke kamar penginapan kami. Ellard menyusul di belakangku. Kami menyusuri lantai demi lantai menuju lantai ketiga tempat kamar yang kami sewa.

“Azzo, santai dong jalannya gausah tergesa-gesa aku lagi pengen ngobrol dengan nona cantik itu lohh.. jarang-jarang kan ketemu wanita di perjalanan kita. Siapa tau bisa kunikahi hehe...”

“Bodo amat El, aku dah capek mau tidur.”

“Bukannya tadi baru aja tidur di goa? Masa udh ngantuk lagi? Cari alesan aja biar aku ga bisa punya cewe ya?”

“Ish, tau ah. Tapi El, apa kau ga lapar? Aku kok lapar ya.” Aku memandangnya sinis, dan mengalihkan topik pembicaraan.

Sebenarnya aku lumayan iri dengannya, dia kan bisa saja dapat pacar kapanpun, bahkan mungkin saja bisa langsung menikah. Tampangnya pun tidaklah jelek jadi memang mudah saja baginya mendapatkan wanita. Lah aku? Tubuhku seperti bocah begini mana ada yang mau denganku.

“Boleh, karena kau membahasnya perutku jadi laper nih. Kita makan dulu yuk, aku mau makan nasi goreng buatanmu Azzo, masih ada kan sisanya yang kita masak di gua tadi?”

“Iya masih, namun sepertinya cuman seporsi, barengan ya. Aku juga lumayan laper.”

Tidak lama kami mengobrol, Sampailah kami di depan kamar 176. Kami membuka pintu kamarnya dan bersegeralah kami masuk untuk beristirahat.

“Wah Azzo, keren ya kamarnya”

“Iya El lumayan lah ya, meskipun katanya penginapan termurah di kota ini.”

“Tapi aku tidak pernah melihat kamar model begini loh... gimana ya bilangnya bingung aku tidak punya kata yang tepat”

“Modern maksudmu?”

“Nah iya modern, selama ini penginapan yang kita sewa selalu biasa saja kan.”

“Biasa saja lebih ke terkesan kuno dan seperti seadanya ya haha..”

“Yah namanya juga tempat penginapan pengelana jadi kebanyakan ya sederhana saja”

Setelah kulihat dan kukelilingi kamar ini, memang tidak salah ini seperti kamar penginapan layaknya hotel berbintang di dunia lamaku. Wajar bagiku untuk tidak terlalu terkejut melihatnya, namun Ellard yang sangat senang karena pertama kali melihatnya adalah suatu pemandangan langka bagiku. Kamar ini dilengkapi 2 kasur terpisah, 1 kamar mandi, meja dan kursi untuk menulis. Saat aku melihat ke dinding atas, aku melihat benda yang tidak asing bagiku. Ini kan AC?!

“El, lihat itu. Itu benda apa ya?”

Aku pura-pura tidak tau. Karena sewaktu aku berkeliling aku tidak menemukan benda yang mirip seperti remote untuk mengendalikan AC itu. Jadi secara teknis aku memang tidak tau itu benda apa.

“Hmm... entahlah aku juga kurang tau Azzo, apa kita tanya ke resepsionisnya di bawah? Oh iya aku sudah lapar Azzo, cepat keluarin nasi gorengnya, aku udah lapar nih.”

“Iya-iya nih, dibagi dua loh ya, jangan sampai aku tidak kebagian.”

“Siap, nih punyamu.”

Aku menerima nasi goreng bagianku yang sudah dibagi rata oleh Ellard. Sambil makan, kami mulai membahas rencana yang akan dilakukan untuk kedepannya, selama kami di Kota Sonnenstadt.

“Azzo berhubung kita sudah sampai disini, kita harus memulai rencana kita secepatnya.”

“Hm, benar. “

Aku harus bertemu dengan delapan dewa surgawi, khususnya karena berada disini maka yang menguasai kota ini dahulu yang harus kutemui. Untuk menanyakan mengenai seputar duniaku kenapa terhubung dengan dunia ini, serta caranya untuk kembali. Sambil diam termenung.

“Tapi sebelum itu, kita kehabisan uang Azzo. Tiga koin emas yang kita bayar untuk penginapan ini adalah uang terakhir kita. Kita harus menemukan cara supaya dapat uang di kota ini. Sudah tidak mungkin bagi kita untuk mulung artefak yang ada di reruntuhan dan dijual kan?”

“Reruntuhan yang kita telusuri terakhir kali sekitar tiga bulan lalu, dan jaraknya sekitar lumayan jauh dari sini. Jika kita kesana dan kembali lagi kesini setidaknya akan membutuhkan waktu enam bulan.”

“Yap, sangat melelahkan jika kita kesana dan hanya untuk mendapatkan beberapa keping emas. Dan jika kita kembali menghitung bekal dan perlengkapan lainnya selama perjalanan, hanya akan tersisa 3 koin emas seperti uang kita semula”

“Bagaimana kalau kita mendaftar di guild petualang? Sepertinya kita bisa mendapatkan penghasilan juga dari sana. Mungkin lebih baik daripada kita menjadi pedagang artefak reruntuhan seperti biasa.”

“Memang sih pedagang artefak uangnya sangat banyak, tapi untuk menelusuri reruntuhan biayanya juga tinggi. Tekanan sihir dan jiwa kita juga masih di tingkat emas dan perak, sungguh berat rasanya membayangkan beberapa tahun terakhir ini yang sudah kita lewati.”

“Yah sebaiknya memang kita bekerja di guild petualang saja.” Sambil merebahkan diri ke kasur setelah makan nasi goreng.

Kasurnya sangat nyaman, sungguh tidak terbayang kapan terakhir kali aku merasakan kasur seempuk ini. Aku sudah tidak ingat, mungkin saat terakhir kali adalah saat di duniaku dulu. Aku pun memejamkan mata menikmati kasur empuk ini.

Ellard yang sudah selesai makan dan duduk di tempat duduk meja kerja disaat melihatku merebahkan diri ke kasur langsung ikutan rebahan di kasur kedua dekat pintu masuk.

“Wah gila kasurnya enak sekali, baru pertama kali aku merasakan kasur seempuk ini, kira-kira terbuat dari bahan apa ya? Apakah memakai kapas seperti biasanya? Azzo woy, kasur ini enak banget kan buat rebahan?” Ellard mengajak bicara dan langsung melirikku yang tertidur di kasur sebelah karena tidak merespon pertanyaanya

“Loh kok sudah tidur? Kan baru aja menyusun rencana ulang kita. Haduh dasar bocah.. Bahkan tas dan perlengkapan tidak dilepas dulu. Huft, merepotkan sekali bocah ini”

Ellard langsung melepas tas dan pedang yang masih terpasang di tubuh Azzo, lalu menaruhnya ke atas meja. Setelah itu, tak lupa memasangkan selimut padanya. Supaya bisa tidur dengan nyenyak. Setelah melepas perlengkapannya juga Ellard juga langsung tertidur. Mereka tertidur dengan lelapnya, bahkan mereka sudah lupa mengenai benda mirip seperti AC yang ada di atas kamar mereka.

............bersambung.............

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status