“Gaun pernikahanmu yang gagal dipakai, boleh aku beli saja? Nanti akan aku permak sedikit dan bagian perutnya perlu sedikit dilonggarkan. Sedikit dirombak untuk hasil yang lebih bagus."
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah dipecat dari Lawana Corp, sekarang wanita tidak tahu diri ini meminta hal yang mustahil.
"Tidak."
"Jenar, ayolah," bujuk Rula.
"Kamu ini sudah gila atau bagaimana?" cecarnya tak habis pikir. "Katamu, kamu ingin membahas hal yang penting, aku kira kamu ingin meminta maaf bukan memalak!"
"Jenar, jangan jual mahal."
"Harga gaunku memang mahal, tidak ada yang murahan di hidupku kecuali ..."
Jenar memandang Rula, dia mencoba menahan amarah. "Kamu," pungkasnya sadis dengan alis terangkat.
Pada sabtu malam, Jenar diajak bertemu oleh Rula di salah satu cafe yang berada di pusat kota, katanya ingin membahas hal yang serius.
Dia mulanya menolak, tetapi Rula terus saja mengganggu dan membuatnya kesal.
Jenar lantas mengiyakan keinginan Rula dengan sebuah kesepakatan, dia yang memilih tempat makan dan dia ingin dibayari, hitung-hitung memanfaatkan peluang untuk makan enak.
Sakit hati boleh, tapi perut kenyang adalah suatu keharusan.
Kebetulan, cafe viral yang sedang dia incar berada di tengah kota.
"Daripada tidak terpakai dan terbuang, lebih baik aku yang pakai. Anggap saja, aku adalah pengantin pengganti," celotehnya lagi.
“Kamu menjadi selingkuhan dari calon suamiku, membuat pernikahanku berantakan dan sekarang kamu meminta gaun pengantin yang aku buat dengan susah payah? Konyol.”
“Sepuluh juta. Apa itu terlalu murah?” tanyanya dengan nada yang terdengar sombong hingga Jenar menggelengkan kepala karena tidak percaya.
“Pernikahanku yang kamu buat hancur lebur harganya jauh lebih mahal dari itu.”
“15 juta. Itu penawaran terakhir untuk gaun yang sederhana. Bagaimana?”
“Pakai karung goni saja menikahnya atau pelepah pisang, jangan pakai gaunku!”
“Aku butuh cepat dan kebetulan, gaun milikmu tidak jadi dikenakan," tutur Rula tanpa beban, seolah-olah dirinya lupa kalau pernah menorehkan luka menganga di hati Jenar.
"Kalau aku beli dari kamu, setidaknya kamu bisa balik modal meski hanya sedikit. Bukannya itu justru membuat kamu menjadi untung?”
“Apanya yang untung? Semua justru buntung karena kamu!”
“Gaun itu masih tersimpan di tempat kamu memesannya atau sudah dibawa pulang?" tanya Rula dengan memotong daging secara santai.
"Kalau sudah dibawa pulang, aku akan meminta calon suamiku untuk mengambilnya dan tentu, aku akan men-transfer uangnya,” pintanya tenang.
“Ini bukan perkara uang,” kata Jenar dengan geram karena lawan bicaranya terlihat sangat santai.
“Orang macam apa yang menusuk sahabatnya dibelakang? Kamu mendukungku untuk menikah, kamu membantuku, kamu ikut menyiapkan semuanya tapi ternyata kamu jadi pengkhianat!"
Sraaak.
“Jenar!” panggil Rula sambil berupaya menyusul Jenar.
Luka di hati Jenar masih menganga lebar karena gagal merajut pernikahan dan kini, orang yang dia anggap sahabat kembali datang.
Bukan untuk meminta maaf seperti yang diharapkan Jenar, tetapi justru menyuruhnya mengalah untuk hal-hal yang dia sukai dan teramat berharga dihidupnya.
“Aku juga memberikanmu ide untuk gaun itu, aku yang menemanimu mendesain gaun, jadi gaun itu juga milikku!” teriak Rula sekuat tenaga hingga Jenar berhenti.
Dia tersegal-segal menahan tangis lalu memutar tumit untuk kembali menghampiri Rula.
"Dasar kutu busuk! Dasar pengkhianat, dasar pencuri. SEMUA HAL HAL BURUK ITU KAMU, RULA!"
"Kamu dan dia bahkan belum menikah dan aku masih memiliki kesempatan," ceplos Rula yang berusaha untuk memegang tangan Jenar dan berbisik pelan.
"KAMU MEREBUT SEMUA YANG AKU MILIKI!"
"Aku memberikannya pilihan dan dia memilihku. Apakah itu salahku? Aku tidak meminta macam-macam darimu, hanya sebuah gaun pengantin."
"ITU BUKAN SEKADAR GAUN, SIALAN!" makinya dengan tubuh gemetar karena sudah tidak tahan lagi.
“Dasar jalang!” geram Jenar, suaranya terdengar amat kencang hingga kerumunan terbentuk dan saling berkasak kusuk memandang dua wanita dewasa yang berteriak-teriak di tengah malam.
"BERHENTI MENGATAIKU, JENAR!" balas Rula yang—menurutnya—hanya ingin meminta barang yang tak terpakai.
Jenar mempermalukannya dan Rula tidak terima, dia memajukan diri dan hendak menampar Jenar ketika seseorang menyeruak dari kerumunan lalu mencekal tangan Rula di udara.
"Cukup."
Semilir aroma alkohol tercium dengan begitu kuat dari tubuh yang menempel erat disebelah Jenar menggaungkan sikap protektif.
Salah satu tangan memegang pinggang Jenar, menjaganya dekat sedangkan tangan yang lain memegang milik Rula.
Jenar menoleh ke sebelah kiri dengan terkesima meski matanya terasa buram.
Dia memandang dengan serius seorang yang memakai kaos dengan celana kargo pendek, Mada Lawana tetap terlihat mempesona di keremangan malam.
***
“Jadi, siapa perempuan berambut pendek itu?” tanya Mada kepada Jenar sementara di luar sana terdengar kilat yang menyambar-nyambar pertanda hujan badai akan segera datang.
“Mengapa Pak Mada berada di sana? Bapak menguntit, ya?”
“Omong kosong. Siapa dia?” desak Mada lagi ketika menyadari Jenar sedang menatap ke arah balkon yang pintunya masih terbuka lebar dan melihat beberapa botol alkohol yang terserak.
“Rula,” kekeh Jenar dengan merasa miris karena lagi-lagi Mada melihatnya dalam situasi terburuk yang tengah dia alami.
“Pernikahanku tinggal digelar beberapa hari lagi, tetapi Rula tiba-tiba mengabarkan dia berbadan dua dan yang dia kandung adalah anak dari calon suamiku,” cerita Jenar yang hanya dijawab gumam oleh Mada.
Dia terus memandang Mada yang pergi ke arah pendingin lalu kembali dengan membuka sumbat botol alkohol yang baru lalu meletakannya di atas meja.
“Cheers,” ajaknya dengan bersiap bersulang setelah memberikan salah satu gelas yang sudah dirinya isi kepada Jenar.
“Pak Mada belum menjawab pertanyaanku, mengapa Pak Mada ada di sana?"
Mada menuangkan alkohol itu untuk Jenar, begitu juga untuk dirinya lalu menyesapnya lebih dahulu.
“Mencari makan malam, kebetulan cafe itu viral dan letaknya berseberangan dengan apartemen ini,” jelasnya kepada Jenar yang dia ungsikan ke sini agar tidak menimbulkan keributan lanjutan.
“Jadi, di mana makanannya?” tanya Jenar karena dia tidak melihat bungkus apapun yang ditenteng oleh Mada.
Satu-satunya yang Mada tenteng adalah dirinya yang dicokok seperti kucing basah.
“Tidak jadi membeli karena menonton keributan sudah cukup mengenyangkan."
Jenar mencebik, bibirnya tertekuk ke arah bawah karena dia malu atas apa yang terjadi.
“Oh omong-omong, soal pemecatan itu ... apakah serius?"
Tidak ingin membuang waktu dan terlena akan sikap Mada yang ajaib, Jenar langsung pada inti permasalahan.
“Serius.”
“Kenapa?”
“Tawaran yang pernah diberi, sudah berlaku?”
“Tentang menjadi sekretaris?” kekeh Jenar lalu membuat tanda menyilang di depan dada lalu mulai mengikuti Mada yang meneguk alkohol.
“Bagaimana bisa menjadi sekretaris kalau sudah dipecat?” tanyanya dengan mata menyipit.
“Bisa-bisa saja. Kalau perlu, kamu mulai bekerja sebagai sekretaris di hari senin.”
“Sudah itu saja?” Jenar mengerjapkan mata, nampak tidak percaya bahwa Mada semudah itu mengatakannya.
“Sebetulnya, bukan tentang itu,” balas Mada sambil mengikis jaraknya dari Jenar kemudian menyentuhkan hidungnya dengan milik si perempuan.
“Tentang?”
“Tentang mabuk bersama,” bisik Mada sensual dengan berusaha menyentuhkan bibirnya dengan milik Jenar.
“Pak Mada,” balas Jenar yang selama ini selalu membayangkan sentuhan Mada.
Sejatinya, sejak malam itu dia sama sekali tidak bisa melupakannya.
Kini, ketika jaraknya dan Mada hanya berupa seutas garis tipis, Jenar mati-matian menahan diri.
Aneh, rencana pernikahannya baru saja kandas dan hancur lebur, tetapi ketika ada Mada di dekatnya, Jenar benar-benar dapat melupakan tragedi mengenaskan itu sepenuhnya.
“Ya?”
Jenar menatap Mada, tidak peduli ini salah ataupun benar. Dirinya nampak mencari-cari sesuatu sebelum memegang erat pakaian yang dikenakan oleh Mada.
Oh shit, dia tidak bisa menahannya lebih lama.
“Saya—” ucapan Jenar terputus ketika Mada langsung memagutnya hingga tubuh mereka berayun bersama.
Disela-sela upayanya dalam mencari pasokan oksigen, Mada membelai Jenar menggunakan punggung tangan yang terasa sangat dingin saat suara hujan deras disertai kilat menyambar.
“Sekarang ingin bermalam di sini, Nona Penggoda?” tanya Mada sebelum menggotong tubuh Jenar.
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba