Share

Tawanan di Atas Ranjang

"Tiga hari yang lalu, kamu lihai sekali menggodaku. Sekarang, berpura-pura menjadi pemalu. Apakah kamu memang dua orang yang berbeda?”

Pertanyaan tembakan dari Mada membuat Jenar terhenyak.

"Penggoda yang digoda, bagaimana jika itu menjadi topik rapat lanjutan, hmm?" tawar Mada dengan gerak bibir yang sensual.

"Sepertinya menarik, kamu setuju?" Dia memandang ke arah Jenar yang nampak salah tingkah, terlihat dari telinganya yang memerah.

"Pak Mada, tolong jangan diungkit lagi, Pak," tuturnya sopan mengingat kini kondisi mereka berada di dalam area kantor.

"Oh, kamu lebih suka diangkat daripada ungkit ternyata," kata Mada dengan kesimpulannya sendiri sebelum tertunduk dan memainkan jemarinya di spidol besar.

"Tepatnya diangkat ke ranjang. Bukan begitu?" godanya tak berkesudahan sambil mengeluarkan suara animalistik hingga Jenar terlempar kembali pada memorinya saat terus dihujam oleh Mada.

“Lagipula, bagaimana jika aku memaksa? Kamu sudah berada di atas ranjangku dan kamu harus membayar untuk itu.”

“Membayar bagaimana, Pak?”

Mada memutar posisi duduknya sejenak, mengangkat salah satu kaki hingga tumpang tindih di atas paha sedangkan tangannya bersedekap di depan dada ketika matanya meneliti Jenar dengan saksama.

“Tidak ada yang boleh pergi dari jangkauanku jika sudah berada di atas ranjang,” tukasnya dominan dengan mata tertuju tajam kepada Jenar yang nampak kerdil.

“Tiga hari yang lalu adalah kesalahan, Pak Mada.”

“Kesalahan karena terbangun di ranjang presdir?”

“Pak Mada, tolong lupakan yang kemarin.”

“Kemarin itu hari minggu, memang apa yang kita lakukan di hari minggu? Kita melakukannya di hari jum'at malam. Ingat?”

Mada membenahi posisi duduknya hingga Jenar terdiam seribu bahasa, ingin kembali mendebat tetapi dia tidak berani macam-macam karena status Mada yang cukup tinggi.

“Aku sudah bilang kalau kita akan bertemu lagi. Kamu tidak percaya itu, ya?”

Sejujurnya, tidak.

Jenar tidak percaya dengan ucapan Mada bahwa mereka berdua akan bertemu kembali.

Apalagi, di malam itu Jenar benar-benar hanya ingin menyalurkan rasa frustasinya tanpa melibatkan perasaan sama sekali dan siapa sangka bahwa Mada adalah lelaki beristri?

“Jadi kapan kamu akan mabuk lagi? Racauan kamu saat mabuk benar-benar menjadi hiburan.”

“Tidak dalam waktu dekat.”

“Aku tidak bisa memanggilmu Nona Penggoda dalam beberapa waktu dekat?” tanya Mada penuh harap dengan mata yang menyipit penuh selidik.

“Tidak."

“Namaku Mada Lawana,” kata Mada dengan berdiri dari tempatnya duduk hingga Jenar otomatis memundurkan langkah sebelum dikungkung oleh si lele dumbo.

"Dan menyebut 'Jenar' itu terlalu sulit untukku."

Pria yang baru saja didapuk menjadi presdir menggantikan Oscar Lawana ini mendekati Jenar setelah memastikan bahwa pintu ruangan telah tertutup.

Langkah kakinya terdengar cukup menggema dan dengan perlahan tumitnya bergerak guna mengungkung Jenar.

Dengan tangan besarnya, Mada memaksa punggung karyawannya itu untuk melengkung di atas meja kayu panjang yang dipergunakan untuk rapat.

“Aku lebih mudah mengingat nama pertama yang kamu katakan. Nona Penggoda,” jelasnya diselingi jeda hingga Jenar menundukan pandang.

"Nona Penggoda, terdengar lebih cocok untukmu," sambung Mada sensual sambi bernapas lembut di dekat Jenar.

Dengan sengaja, Mada menyentuhkan tubuhnya dengan lengan Jenar sehingga wangi parfum si wanita tertutup oleh miliknya.

“Kamu sendiri yang memperkenalkan diri padaku berkali-kali. Jadi bukan salahku jika lebih mengenal kamu dengan nama itu, ‘kan?”

“Pak Mada,” panggil Jenar dengan tangan berkeringat dingin karena terbius oleh pesona Mada.

Mada gegas menjauhkan diri dari Jenar, karena dia tidak yakin dapat menahan diri agar tidak menggagahi Jenar di saat ini.

Setelah itu, Mada berdiri menjauh lalu bergumam dan kembali mengetuk spidol di atas meja kayu sedangkan Jenar merapikan diri dengan wajah merona.

“Statusku seorang presdir, jadwal akan sangat padat, kehadiran sekretaris akan sangat membantu."

“Apa terdapat opsi untuk menolak?" tanya Jenar tanpa tedeng aling-aling karena mengerti ucapan Mada.

“Kamu bisa menolak."

"Oh, syukurlah."

“Tapi setelah ini aku tidak yakin akan berhenti memanggilmu dengan nama Nona Penggoda meski di kondisi kantor yang ramai sekalipun.”

“Pak Mada--" gerung Jenar sedangkan Mada mengedikan bahu.

“Itu mungkin akan memercikan skandal yang merugikan karyawan baru sepertimu. Jadi, terima tawaranku dengan baik-baik atau harus dengan cara paksaan hmm?”

***

Hampir seminggu setelah permintaan mustahil dari Mada, Jenar tengah mengantri di cafetaria Lawana Corp.

Dia sedang menunggu giliran untuk mengambil jatah makan siang ketika langkah tegap menyamai langkahnya dengan kedua tangan berada di dalam kantung celana.

“Sudah mau menjadi sekretaris pribadi?” tanya Mada dengan berjalan di sebelah Jenar dengan santai.

“Tidak akan pernah," bisiknya.

“Nona Penggoda memang pemberani," sindir si pria yang gengsi karena terus ditolak oleh Jenar secara terang-terangan.

Jenar masih mengabaikan Mada, dia berjalan cepat tanpa mengindahkan kehadiran Mada yang justru menyamakan langkah dengannya.

“Kamu harusnya menghormati saya dengan berhenti mengambil lauk pauk makan siang dan menatap saya saat berbicara, Jenar," lugasnya.

Mada sengaja mengubah sapaan untuk menunjukan tinggi statusnya pada Jenar, semata-mata agar Jenar mau berbincang dengannya dan terintimidasi.

Jenar berhenti, tangannya yang sudah akan mengambil centong nasi dia kembalikan lagi pada tempatnya.

“Ini sudah hampir seminggu dan Pak Mada selalu bertanya hal yang sama, tolong berhenti, Pak."

"Aku sudah menandaimu sebagai calon sekretaris, termasuk menandai di area leher. Ingat?"

Mada mengatakan dengan santai lalu mengetuk lehernya sebanyak dua kali.

Dia senang melakukan dominasi atas hal-hal yang terjadi di sekitarnya termasuk pada karyawan baru dengan prestasi cemerlang ini.

Kali ini, karena Jenar selalu menolak, Mada tertantang untuk terus mengganggu Jenar di sela-sela pekerjaan yang mereka lakukan sebagai seorang presdir dan karyawan baru.

“Bapak seharusnya mencari kandidat laki-laki untuk menjadi sekretaris supaya tetap profesional,” tolak Jenar.

“Kalau kamu menolak, kamu tidak akan kuat dengan konsekuensinya,” balas Mada dengan santai.

“Apa konsekuensinya?” tantang Jenar dengan memandang Mada kelewat berani.

“Menjadi Nona Penggoda untuk saya," bisiknya sensual. "Dan itu artinya, kamu menjadi tawanan ranjang saya."

“Pak Mada, tolong hentikan," pinta Jenar dengan geregetan atas sikap keras kepala Mada yang terus mengusiknya.

"Mungkin saya sedang kurang sadar ketika memperkenalkan diri dengan nama itu, tetapi untuk sekarang—”

“Sekarang kamu mau menjadi sekretaris pribadiku. Begitu?”

“Tidak,” ketus Jenar.

“Sampai kapan kamu ingin dikejar?”

Jenar berhenti sepenuhnya, dia meninggalkan barisan karyawan yang akan mengambil makan siang lalu melangkah dengan tergesa berusaha meninggalkan Mada.

Melihat tindak tanduk Jenar, Mada menyeringai.

Kali ini, targetnya benar-benar liar dan buas hingga harus ditaklukan dengan cara yang keras.

Setelah Jenar pergi, Mada tidak lagi mengejarnya seperti apa yang telah dia lakukan hampir seminggu ini.

Mada justru membalik tubuh dan berjalan cepat dengan ponsel yang berada di telinga, menunggu beberapa saat ketika nada sambung terdengar lebih dahulu.

“Pecat karyawan bernama Jenar Suksma Arawinda,” lugasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status