Share

Diikat Dengan Sebuah Kecupan

Mada menunduk, menatap cincin kawin yang melingkar dan tak pernah dia lepaskan lalu menghela napas panjang ketika ponsel yang berada di atas nakas berdering dengan cukup kencang.

“Saya di apartemen. Ada apa?” tanya Mada saat mengangkat dering tersebut.

Tangannya yang lain secara otomatis menarik selimut untuk menutupi punggung polos Jenar dan penuh bercak kemerahan karena ulahnya.

“Bagaimana bisa papa naik ke lantai apartemen saya? Siapa yang memberikan kunci prib—oh, saya meninggalkan kunci cadangan di ruang kerja?” tanya Mada yang tidak jadi marah besar meski untuk saat ini kepanikan tercetak jelas diwajahnya.

Buru-buru dia menepuk Jenar, meminta agar perempuan itu terbangun padahal baru terlelap setelah malam panjang yang mereka lewati.

“Baik, terima kasih,” pungkasnya dengan mengakhiri panggilan serta memijat kening lalu fokus membangunkan Jenar yang tertidur seperti batu, diam tak bergerak.

“Jenar! Jenar, bangun! Sembunyi. Sembunyi sek—”

“Mada? Mada Lawana?” panggil Oscar yang digemakan oleh ruang besar itu ditemani suara tongkat yang dipergunakan untuk mengetuk lantai.

Sial!

Oscar datang terlalu cepat dari yang Mada bayangkan.

Suara langkah kakinya bahkan terdengar menggema sampai ke depan kamar tidur yang pintunya tak tertutup ini.

“Di mana Mada?”

Oscar nampak bertanya kepada seseorang sebelum bergumam dan suaranya menjadi tidak jelas, nampaknya si tetua Lawana itu sedang menelusuri ruang demi ruang di apartemen Mada.

"Sudah periksa kamar mandi? Apa? tidak ada? Bagaimana dengan ruang lainnya? Kamu yakin tidak ada Mada di sana?"

Sekuat tenaga, Mada berupaya membangunkan Jenar yang justru dengan terang-terangan mengusir Mada.

“Kamu yang pergi, ini kasurku. Aku suka tidur di sini, kamu ‘kan bisa membeli kasur baru!”

Mada ingin marah terhadap karyawannya ini, tetapi dia tak sempat melakukannya karena Oscar nampaknya sangat bersemangat untuk mengobrak abrik tempatnya tinggal saat ini.

Ini kacau, dia bisa-bisa kepergok.

Meski berdecak sebal melihat reaksi Jenar, Mada memilih untuk berpakaian lalu keluar dari kamar dan menemukan Oscar duduk di pinggir mini bar dan di sebelahnya persis terdapat tas milik Jenar.

“Siapa perempuan itu?” tembak Oscar tanpa tedeng aling-aling kepada Mada yang masih membersihkan kotoran mata sambil bergerak mendekat.

"Apa maksud papa?" tanyanya tak peduli meski sadar arah percakapan Oscar.

"Balkonmu penuh dengan pecahan gelas serta botol alkohol kosong, beruntung Josh sudah merapikannya."

"Itu bagus."

“Sampai kapan kamu akan terus menjadi pemabuk, Mada?!” geramnya pada Mada yang menguap lalu meregangkan tubuh hingga aroma alkohol menguar kencang.

“Sampai alkohol terasa seperti air mineral,” sapanya cuek dengan ocehan Oscar sambil bergerak untuk membuka kulkas sementara asistennya sudah menyiapkan menu sarapan lengkap untuk Oscar.

"Ingat status kamu yang sekarang, kamu sudah menjadi presdir di Lawana menggantikan papa."

"Setidaknya aku tidak mabuk saat bekerja. Bukankah itu sudah cukup?"

"Dasar kepala batu!" ceracau Oscar pada putra tunggalnya ini. "Siapa pemilik tas itu?” desak Oscar meminta jawab.

“Entahlah. Aku tidak tahu, pa."

“Tas ini menjadi saksi,” tunjuknya kepada tas milik Jenar dengan serius seakan-akan tas itu menyimpan rahasia terdalam.

“Jangan katakan bahwa kamu mulai menyukai memakai atribut perempuan karena sakit hati, Mada.”

“Mungkin saja, ‘kan?” balasnya dengan menguap lalu duduk di sebelah Oscar sambil menelungkupkan kepala lalu menarik napas dalam.

"Kamu ini keras kepala sekali. Kapan mau memproduksi cucu untuk papa dengan serius, Mada?" desis Oscar sambil mengangkat tongkatnya kemudian menggetok punggung Mada, membuat putranya merintih kesakitan.

"Argh! Papa, ini menyakitkan!"

Bersamaan dengan pertikaian antara papa dan anak lelakinya itu, Jenar yang berada di dalam kamar Mada menggerung, tubuhnya terasa pegal serta kepala yang pening.

Untungnya ini hari minggu, dia bisa bersantai sejenak.

Dia bangun dan menepuk wajahnya berulang kali lalu menatap ke sekitar, seluruh kekacauan mereka tadi malam sudah dirapikan, nampaknya Mada adalah pria yang resik.

Jenar memungut pakaiannya yang sudah digantung pada salah satu sisi lalu mengenakannya dengan terburu-buru sambil mencari lokasi tas yang dia bawa saat bertemu Rula semalam sebelum teringat bahwa dia meninggalkannya di area mini bar.

Dengan langkah cepat tanpa prasangka apapun karena dunianya masih sedikit linglung, Jenar main keluyuran saja keluar dari kamar tersebut sebelum …

“Nah nah nah, itu siapa? Hayo, mengaku pada papa! Mada, jawab.”

Jenar melirik ke arah Mada yang terus dipentung dengan menggunakan wortel rebus oleh Oscar.

Dia ingin pergi, tetapi sudah tertangkap basah.

Jika masuk kembali ke kamar Mada, semua akan jadi berantakan. Jika asal pergi, tas dan identitasnya akan tertahan.

“Papa belum pernah menginjakan kaki di apartemen ini dan perempuan itu sudah. Jadi, Josh, di mana kacamataku?!” pinta Oscar kepada asisten putranya itu sebelum Mada melemaskan bahu dan menurunkan kacamata yang bertengger di atas kepala Oscar.

Untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Jenar melirik ke arah Mada yang juga memberikan kode agar Jenar mendekat padanya.

“Ini Jenar, karyawan yang papa sukai saat presentasi pekan lalu,” kata Mada tanpa tedeng aling-aling hingga Oscar melotot, begitu pula Jenar yang jadi tersenyum canggung lalu berusaha melepaskan tangan Mada dari tubuhnya.

“Kenapa kamu ada di apartemen Mada?” selidiknya hingga Jenar mencari bantuan dengan melirik Mada.

“Kar—”

“Ada pembaharuan kontrak, mulai senin besok Jenar menjadi sekretaris Mada, Pa. Bukan lagi karyawan. Kami mendiskusikannya semalaman suntuk.”

“Kalian mabuk?”

“Tidak, Pak Oscar.”

“Mabuk sebagai perayaan. Hanya sebatas itu saja,” sela Mada hingga Jenar memilih untuk menganggukan kepala mengikuti permainan Mada meski aslinya keki bukan main.

“Papa sepertinya mengerti mengapa kamu menjadikan Jenar sebagai sekretaris."

“Oh ya?” tanya Mada dengan bepura-pura terkejut hingga Oscar bergumam pelan.

“Ini karena Jenar mirip dengan Bianca," ceplos Oscar dengan santai.

“Bianca?” ulang Mada dan Jenar secara bersamaan lalu memandang satu sama lain.

Keduanya nampak kaget dengan nama yang tercetus dari belah bibir Oscar.

Jadi, siapa Bianca? Apa hubungan Bianca dengan semua ini?

Mengapa nama perempuan itu tercetus terus menerus dari belah bibir Oscar dan Mada?

Jenar masih sibuk mencoba memikirkan kemungkinan yang ada ketika deham dan kalimat lanjutan dari Oscar membuat pipinya merona.

"Pagi hari memang terasa indah, menempel satu sama lain."

"Pak Oscar, saya minta maaf," tutur Jenar sambil berusaha meronta melepaskan diri dari cengkraman Mada yang sia-sia belaka karena Mada benar-benar mencengkramnya.

“Memang semua kisah romansa berawal dari atasan lalu menjadi pasangan,” ucap Oscar dengan santai, paham akan tabiat putranya yang gemar berkencan dengan sekretaris.

“Apakah pembicaraan pembaharuan kontrak itu memakan waktu yang cukup lama dan alot?”

“Sangat,” kata Mada berusaha berdeham kencang memberikan kode kepada Jenar yang tidak mengerti.

“Betul, Pak Oscar. Sangat … alot dan besar.”

“Apa yang besar, Jenar?”

Pepaya california milik Mada Lawana.

“Keuntungan menjadi sekretaris pasti sangat besar, Pa,” sela Mada lagi dan Jenar mengangguk bersemangat sambil melupakan bayang-bayang pepaya california dari benaknya.

“Bukan yang lain?” selidik lelaki tua itu hingga Jenar tersenyum kikuk begitu pula Mada yang langsung melepaskan Jenar.

“Wortel yang direbus oleh Josh cukup besar. Jadi, bisa kita sarapan bersama? Josh, buatkan satu piring lagi untuk Jenar,” pinta Mada sementara Oscar melirik diam-diam ke arah Jenar yang terhalang oleh tubuh putranya.

***

“Ini kontrak untuk menjadi sekretaris, kamu mulai bekerja senin besok.”

Mada meluncurkan satu bundel kontrak kepada Jenar yang berada di seberang meja setelah Oscar dan Josh pergi dari sana.

“Apa bedanya dengan kontrak karyawan biasa?”

“Tidak banyak. Intinya, dimanapun Mada Lawana berada, di situ Jenar Suksma Arawinda hadir, termasuk di luar negeri dan luar angkasa. Lagipula, kamu dulunya lulusan terbaik sekolah sekretaris, jadi terkait beban kerja seharusnya sudah ada bayangan.”

Jenar mencebik, sudut bibirnya terangkat. “Sekalian saja dirantai biar bisa ikut kemana-mana.”

“Mau? Kebetulan terdapat rantai di apartemen ini.”

“Eh—”

“Rantai anjing tepatnya, mau?” ulang Mada dengan sudut kiri bibir yang terangkat, kontras dengan sikap Mada saat di kantor yang dingin dan sudah menjadi kasak kusuk seminggu terakhir ini.

“Rantai sepeda saja sekalian,” seloroh Jenar.

“Oh, ada juga. Kamu tinggal pilih,” balas Mada hingga Jenar menepuk wajah karena gemas dengan tingkah lakunya!

“Antara memakai rantai anjing atau rantai sepeda,” jedanya disertai kerlingan nakal pada sudut mata lalu menjentikan jemari sambil menyuap menu sarapan.

“Bagaimana jika dirantai dengan kecup di bibir, Nona Penggoda?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status