Beranda / Romansa / Terbangun di Ranjang Presdir Duda / Diikat Dengan Sebuah Kecupan

Share

Diikat Dengan Sebuah Kecupan

Penulis: Naraya Mahika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-04 03:58:58

Mada menunduk, menatap cincin kawin yang melingkar dan tak pernah dia lepaskan lalu menghela napas panjang ketika ponsel yang berada di atas nakas berdering dengan cukup kencang.

“Saya di apartemen. Ada apa?” tanya Mada saat mengangkat dering tersebut.

Tangannya yang lain secara otomatis menarik selimut untuk menutupi punggung polos Jenar dan penuh bercak kemerahan karena ulahnya.

“Bagaimana bisa papa naik ke lantai apartemen saya? Siapa yang memberikan kunci prib—oh, saya meninggalkan kunci cadangan di ruang kerja?” tanya Mada yang tidak jadi marah besar meski untuk saat ini kepanikan tercetak jelas diwajahnya.

Buru-buru dia menepuk Jenar, meminta agar perempuan itu terbangun padahal baru terlelap setelah malam panjang yang mereka lewati.

“Baik, terima kasih,” pungkasnya dengan mengakhiri panggilan serta memijat kening lalu fokus membangunkan Jenar yang tertidur seperti batu, diam tak bergerak.

“Jenar! Jenar, bangun! Sembunyi. Sembunyi sek—”

“Mada? Mada Lawana?” panggil Oscar yang digemakan oleh ruang besar itu ditemani suara tongkat yang dipergunakan untuk mengetuk lantai.

Sial!

Oscar datang terlalu cepat dari yang Mada bayangkan.

Suara langkah kakinya bahkan terdengar menggema sampai ke depan kamar tidur yang pintunya tak tertutup ini.

“Di mana Mada?”

Oscar nampak bertanya kepada seseorang sebelum bergumam dan suaranya menjadi tidak jelas, nampaknya si tetua Lawana itu sedang menelusuri ruang demi ruang di apartemen Mada.

"Sudah periksa kamar mandi? Apa? tidak ada? Bagaimana dengan ruang lainnya? Kamu yakin tidak ada Mada di sana?"

Sekuat tenaga, Mada berupaya membangunkan Jenar yang justru dengan terang-terangan mengusir Mada.

“Kamu yang pergi, ini kasurku. Aku suka tidur di sini, kamu ‘kan bisa membeli kasur baru!”

Mada ingin marah terhadap karyawannya ini, tetapi dia tak sempat melakukannya karena Oscar nampaknya sangat bersemangat untuk mengobrak abrik tempatnya tinggal saat ini.

Ini kacau, dia bisa-bisa kepergok.

Meski berdecak sebal melihat reaksi Jenar, Mada memilih untuk berpakaian lalu keluar dari kamar dan menemukan Oscar duduk di pinggir mini bar dan di sebelahnya persis terdapat tas milik Jenar.

“Siapa perempuan itu?” tembak Oscar tanpa tedeng aling-aling kepada Mada yang masih membersihkan kotoran mata sambil bergerak mendekat.

"Apa maksud papa?" tanyanya tak peduli meski sadar arah percakapan Oscar.

"Balkonmu penuh dengan pecahan gelas serta botol alkohol kosong, beruntung Josh sudah merapikannya."

"Itu bagus."

“Sampai kapan kamu akan terus menjadi pemabuk, Mada?!” geramnya pada Mada yang menguap lalu meregangkan tubuh hingga aroma alkohol menguar kencang.

“Sampai alkohol terasa seperti air mineral,” sapanya cuek dengan ocehan Oscar sambil bergerak untuk membuka kulkas sementara asistennya sudah menyiapkan menu sarapan lengkap untuk Oscar.

"Ingat status kamu yang sekarang, kamu sudah menjadi presdir di Lawana menggantikan papa."

"Setidaknya aku tidak mabuk saat bekerja. Bukankah itu sudah cukup?"

"Dasar kepala batu!" ceracau Oscar pada putra tunggalnya ini. "Siapa pemilik tas itu?” desak Oscar meminta jawab.

“Entahlah. Aku tidak tahu, pa."

“Tas ini menjadi saksi,” tunjuknya kepada tas milik Jenar dengan serius seakan-akan tas itu menyimpan rahasia terdalam.

“Jangan katakan bahwa kamu mulai menyukai memakai atribut perempuan karena sakit hati, Mada.”

“Mungkin saja, ‘kan?” balasnya dengan menguap lalu duduk di sebelah Oscar sambil menelungkupkan kepala lalu menarik napas dalam.

"Kamu ini keras kepala sekali. Kapan mau memproduksi cucu untuk papa dengan serius, Mada?" desis Oscar sambil mengangkat tongkatnya kemudian menggetok punggung Mada, membuat putranya merintih kesakitan.

"Argh! Papa, ini menyakitkan!"

Bersamaan dengan pertikaian antara papa dan anak lelakinya itu, Jenar yang berada di dalam kamar Mada menggerung, tubuhnya terasa pegal serta kepala yang pening.

Untungnya ini hari minggu, dia bisa bersantai sejenak.

Dia bangun dan menepuk wajahnya berulang kali lalu menatap ke sekitar, seluruh kekacauan mereka tadi malam sudah dirapikan, nampaknya Mada adalah pria yang resik.

Jenar memungut pakaiannya yang sudah digantung pada salah satu sisi lalu mengenakannya dengan terburu-buru sambil mencari lokasi tas yang dia bawa saat bertemu Rula semalam sebelum teringat bahwa dia meninggalkannya di area mini bar.

Dengan langkah cepat tanpa prasangka apapun karena dunianya masih sedikit linglung, Jenar main keluyuran saja keluar dari kamar tersebut sebelum …

“Nah nah nah, itu siapa? Hayo, mengaku pada papa! Mada, jawab.”

Jenar melirik ke arah Mada yang terus dipentung dengan menggunakan wortel rebus oleh Oscar.

Dia ingin pergi, tetapi sudah tertangkap basah.

Jika masuk kembali ke kamar Mada, semua akan jadi berantakan. Jika asal pergi, tas dan identitasnya akan tertahan.

“Papa belum pernah menginjakan kaki di apartemen ini dan perempuan itu sudah. Jadi, Josh, di mana kacamataku?!” pinta Oscar kepada asisten putranya itu sebelum Mada melemaskan bahu dan menurunkan kacamata yang bertengger di atas kepala Oscar.

Untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Jenar melirik ke arah Mada yang juga memberikan kode agar Jenar mendekat padanya.

“Ini Jenar, karyawan yang papa sukai saat presentasi pekan lalu,” kata Mada tanpa tedeng aling-aling hingga Oscar melotot, begitu pula Jenar yang jadi tersenyum canggung lalu berusaha melepaskan tangan Mada dari tubuhnya.

“Kenapa kamu ada di apartemen Mada?” selidiknya hingga Jenar mencari bantuan dengan melirik Mada.

“Kar—”

“Ada pembaharuan kontrak, mulai senin besok Jenar menjadi sekretaris Mada, Pa. Bukan lagi karyawan. Kami mendiskusikannya semalaman suntuk.”

“Kalian mabuk?”

“Tidak, Pak Oscar.”

“Mabuk sebagai perayaan. Hanya sebatas itu saja,” sela Mada hingga Jenar memilih untuk menganggukan kepala mengikuti permainan Mada meski aslinya keki bukan main.

“Papa sepertinya mengerti mengapa kamu menjadikan Jenar sebagai sekretaris."

“Oh ya?” tanya Mada dengan bepura-pura terkejut hingga Oscar bergumam pelan.

“Ini karena Jenar mirip dengan Bianca," ceplos Oscar dengan santai.

“Bianca?” ulang Mada dan Jenar secara bersamaan lalu memandang satu sama lain.

Keduanya nampak kaget dengan nama yang tercetus dari belah bibir Oscar.

Jadi, siapa Bianca? Apa hubungan Bianca dengan semua ini?

Mengapa nama perempuan itu tercetus terus menerus dari belah bibir Oscar dan Mada?

Jenar masih sibuk mencoba memikirkan kemungkinan yang ada ketika deham dan kalimat lanjutan dari Oscar membuat pipinya merona.

"Pagi hari memang terasa indah, menempel satu sama lain."

"Pak Oscar, saya minta maaf," tutur Jenar sambil berusaha meronta melepaskan diri dari cengkraman Mada yang sia-sia belaka karena Mada benar-benar mencengkramnya.

“Memang semua kisah romansa berawal dari atasan lalu menjadi pasangan,” ucap Oscar dengan santai, paham akan tabiat putranya yang gemar berkencan dengan sekretaris.

“Apakah pembicaraan pembaharuan kontrak itu memakan waktu yang cukup lama dan alot?”

“Sangat,” kata Mada berusaha berdeham kencang memberikan kode kepada Jenar yang tidak mengerti.

“Betul, Pak Oscar. Sangat … alot dan besar.”

“Apa yang besar, Jenar?”

Pepaya california milik Mada Lawana.

“Keuntungan menjadi sekretaris pasti sangat besar, Pa,” sela Mada lagi dan Jenar mengangguk bersemangat sambil melupakan bayang-bayang pepaya california dari benaknya.

“Bukan yang lain?” selidik lelaki tua itu hingga Jenar tersenyum kikuk begitu pula Mada yang langsung melepaskan Jenar.

“Wortel yang direbus oleh Josh cukup besar. Jadi, bisa kita sarapan bersama? Josh, buatkan satu piring lagi untuk Jenar,” pinta Mada sementara Oscar melirik diam-diam ke arah Jenar yang terhalang oleh tubuh putranya.

***

“Ini kontrak untuk menjadi sekretaris, kamu mulai bekerja senin besok.”

Mada meluncurkan satu bundel kontrak kepada Jenar yang berada di seberang meja setelah Oscar dan Josh pergi dari sana.

“Apa bedanya dengan kontrak karyawan biasa?”

“Tidak banyak. Intinya, dimanapun Mada Lawana berada, di situ Jenar Suksma Arawinda hadir, termasuk di luar negeri dan luar angkasa. Lagipula, kamu dulunya lulusan terbaik sekolah sekretaris, jadi terkait beban kerja seharusnya sudah ada bayangan.”

Jenar mencebik, sudut bibirnya terangkat. “Sekalian saja dirantai biar bisa ikut kemana-mana.”

“Mau? Kebetulan terdapat rantai di apartemen ini.”

“Eh—”

“Rantai anjing tepatnya, mau?” ulang Mada dengan sudut kiri bibir yang terangkat, kontras dengan sikap Mada saat di kantor yang dingin dan sudah menjadi kasak kusuk seminggu terakhir ini.

“Rantai sepeda saja sekalian,” seloroh Jenar.

“Oh, ada juga. Kamu tinggal pilih,” balas Mada hingga Jenar menepuk wajah karena gemas dengan tingkah lakunya!

“Antara memakai rantai anjing atau rantai sepeda,” jedanya disertai kerlingan nakal pada sudut mata lalu menjentikan jemari sambil menyuap menu sarapan.

“Bagaimana jika dirantai dengan kecup di bibir, Nona Penggoda?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Satu Buket Bunga Besar

    "Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Lelaki Berteman Luka

    "Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Mencium Penuh Nafsu

    "Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Laki-Laki Parlente Mencurigakan

    "Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Will You Be My Wife?

    "Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Hei, Penculik Tampan!

    “Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status