Share

Tuan Muda Lawana Corp

Penulis: Naraya Mahika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-04 03:48:02

Siapa sangka, aksi binal dan beradu peluh serta kulit yang menggesek satu sama lain semalam justru berujung pada bencana?

"Harusnya aku menangkap ikan hiu, bukan ikan lele dumbo."

Desah itu masih tertinggal di telinga Jenar, hentakan serta elus lembut jemari si pria pada tubuh saat menggerayanginya kini seakan menjadi beban berat di pundaknya.

Laki-laki yang dia goda sudah beristri dan itu adalah pukulan telak bagi Jenar.

Ketika Jenar mengambil langkah seribu untuk pergi dan melupakan semua hal yang terjadi, pintu kembali terbuka, sebuah kepala muncul masih dengan handuk putih melilit dipinggang.

"Nona Penggoda," panggil si lelaki dengan suara berat yang membuat Jenar teringat akan engah yang semalam dia dengar di telinga.

"Kamu ingin memata-mataiku?"

Jenar tergagap. "Ak—APA? JELAS TIDAK, jangan bermimpi."

"Aku mengamatimu melalui CCTV," jelasnya dengan menunjuk ke arah CCTV berbentuk lingkaran kecil yang memang terpasang di atas pintu.

"Jadi, aku bertanya-tanya mengapa kamu masih di sini. Kalau begitu, aku tebak, kamu ingin aku membayarmu?"

"Tidak."

"Jadi yang semalam gratis?"

Mada membasahi bibir lalu kembali mengunyah buah anggur hijau sedangkan milik Jenar sudah habis dirinya santap.

"Tidak dan ya. Anggap saja semalam adalah suatu kesalahan."

"Apakah ini kode kalau kamu ingin kita melakukan ronde berikutnya, Nona Penggoda?" tanyanya disertai kerlingan nakal.

Mada menganggukan kepala saat mengerti ucapan Jenar, dia bersandar di ambang pintu kemudian sedikit berkacak pinggang menunjukan ototnya yang liat.

"Ya. Sial—maksudku, tidak," tukas Jenar dengan cepat.

"Tidak adalah iya dan iya adalah iya, Nona."

"Oh, diamlah!" balas Jenar yang lagi-lagi mendapati cincin kawin tersebut masih tersemat.

Dia menelan saliva kemudian berbalik dengan langkah cepat sebelum deham dari Mada terdengar yang membuat Jenar ingin menjerit.

"Nona Penggoda, kamu salah jalan," godanya lagi sambil terkekeh sembari mengamati Jenar yang wajahnya semerah udang rebus.

***

[Mas Taka : Je, kamu bisa menggantikan posisi Lamina untuk rapat dengan jajaran direksi Lawana?]

"Ini sama saja aku mengantarkan diri masuk ke lubang harimau," keluh Jenar frustasi.

Tiga hari yang lalu, Jenar dibuat kalang kabut dengan aksinya yang liar.

Setelah hari itu, dia tidak mau lagi kembali ke club karena kadung malu dengan situasi yang ada.

Dia tidak mau mengambil resiko akan bertemu dengan lelaki aneh itu lagi.

Sekarang, Jenar menghela napas panjang saat mendapat pesan dari Taka, manajernya di Lawana Corp, tempatnya bernaung selama tiga bulan terakhir.

Tabungannya terkuras habis, kisah cintanya kandas, dia tidur dengan orang asing yang sudah memiliki istri dan sekarang diminta melakukan hal paling mustahil oleh Taka.

***

“Jenar,” panggil Taka kesekian kalinya dengan menyikut Jenar yang sedang membuka lembar demi lembar materi dan berusaha memahaminya hanya dalam hitungan menit.

Lamina yang senior saja perlu waktu berhari-hari untuk mengerti dan sekarang dia harus melakukannya kurang dari setengah jam?!

“Kenapa, Mas?” tanya Jenar dengan nada malas.

“Tiga menit lagi harusnya rapat dimulai,” katanya berbisik dengan melirik jam tangan sambil menggosok kedua tangan pertanda gugup.

“Sekalian ada ceremony penyambutan presdir baru, anak laki-lakinya Pak Oscar. Jadi saya harap, kamu akan menjaga sikap.”

“Oke, tidak sulit," balas Jenar dengan cuek.

Taka menyuruh Jenar berdiri ketika Oscar berkeliling menyalami satu demi satu direksi yang berada di sana lalu berhenti di hadapan Taka dengan cukup lama sehingga beberapa orang menjadi penasaran.

“Di mana Lamina?” tanya Oscar ketika tiba pada gilirannya menyalami Taka dan menoleh ke arah kiri, mencari keberadaan Lamina.

“Lamina berhalangan hadir, Pak. Jenar yang menggantikan.”

“Jenar,” ulang Oscar dengan nada pelan sambil menyalami Jenar.

“Karyawan baru? Kelihatan dari id card di leher kamu itu, tintanya masih tebal.”

Oscar tidak memerlukan jawaban dari Jenar karena dia langsung memutar tubuh dan duduk pada salah satu bangku serta meneguk obat.

Jenar memperhatikan gerak gerik Oscar sebelum berpaling menatap tiap kursi yang sudah dipenuhi oleh jajaran direksi serta menghitungnya.

Sorot matanya tertuju pada satu bangku yang kosong dengan tulisan MADA LAWANA tercetak jelas sebagai penanda.

"Mas Taka, itu yang namanya Mad—"

“Jenar, silakan dimulai presentasinya," sela Oscar dengan membuka tutup kertas air mineral lalu meneguknya begitu pula Jenar yang mempersiapkan diri.

"Apa?" tanya Taka sejurus kemudian sedangkan Jenar berdeham dan menggelengkan kepala, menandakan bahwa hal itu bisa dibahas nanti.

“Baik, selamat pagi bapak dan ibu jajaran direksi dan komisaris Lawana Corporation, perkenalkan nama saya Jenar dari divisi—"

Klak.

“Maaf, saya terlambat,” sela seorang yang langsung melangkah masuk, membuat para jajaran direksi serta komisaris berdiri lalu membungkukan tubuh ke arah si pria, termasuk Taka.

Hanya Jenar yang berdiri diam sambil memegang laser di tangannya dengan cukup kencang ketika merasakan gigilan di sekujur tubuh.

Suara dari seberang sana jelas mengingatkannya dengan lelaki yang dia goda tempo hari serta memakai handuk putih yang menggantung rendah di pinggang serta pepaya California dibaliknya.

“Kenapa berhenti? Lanjutkan,” ucap Mada dengan tegas ketika dia menatap ke arah Jenar yang masih mematung.

“Mada, perkenalkan diri dulu baik-baik.”

“Bukankah sudah ada pembicaraan bahwa saya akan datang kemari, papa?” tanya Mada dengan formal mengembalikan tatapnya kepada Oscar yang disambut tepuk tangan meriah sementara Jenar menunduk dalam-dalam lalu menyumpah serapah di dalam hati.

Sial sial sial!

Imajinasi tentang Mada yang memberikan isapan di lehernya pada malam itu kembali membuat Jenar meremang dan pipinya menghangat.

Bagaimana bisa mereka bertemu sebagai seorang karyawan dan bos padahal tiga hari yang lalu mereka beradu peluh bersama?

Sungguh, Jenar sudah bisa membayangkan interaksi mereka akan secanggung apa nantinya.

Jenar menyipitkan mata, dari jarak sejauh ini, lagi-lagi dia melihat cincin yang tersemat di jemari Mada dan membuatnya merasa amat sangat bersalah.

“Permisi Pak Oscar, Pak Mada dan hadirin sekalian, bolehkah saya izin ke kamar mandi?"

“Tidak,” tegas Mada hingga Jenar dicubit pahanya oleh Taka dengan kencang.

Mada mengetuk jemari, berdeham dan membuka berkas yang ada dihadapannya.

“Rapat harus dilangsungkan dengan cepat karena semua memiliki kepentingan,” tukasnya tanpa berbasa basi dengan nada yang tegas lalu duduk di kursi diikuti oleh yang lain.

“Pergi ke kamar mandi hanya akan menghabiskan waktu,” lugas Mada dengan membolak balik bundel dengan teramat cepat dan menutupnya dengan tangan yang sedikit memukul meja saat tatapnya bersirobok dengan Jenar.

“Atau, ada pekerjaan lain yang ingin Nona Peng—”

Jenar membulatkan mata, menggeleng secara tidak kentara dengan cepat sehingga Mada berubah kembali menjadi lebih tenang.

“Apakah pergi ke kamar mandi lebih penting dari kelangsungan rapat pagi ini, Nona Pemateri?” tanya Mada dengan menggigit bibir secara sensual ketika seluruh mata tak ada yang menyadarinya.

Tetapi, Jenar sadar dan dia tahu dengan pasti bahwa Mada sedang memprovokasinya serta mengingatkan Jenar akan malam mendebarkan.

“Kalau begitu, silakan Nona bekerja," katanya memberikan izin dengan menyeringai saat menatap Jenar yang kalang kabut.

Mada meraih ballpoin dari dalam saku, memuntirnya di tangan dengan lihai, menikmati momentum ketika Jenar seperti kucing di dalam karung.

Klak.

Dia meletakan ballpoin tersebut ketika jemarinya menemukan sesuatu yang rasanya lebih sensual untuk menggoda Jenar.

"Karena saya tahu, pekerjaan Nona selalu memuaskan."

"Oh ya?"

"Benar," balas Mada dengan sorot mata yang tertuju tajam pada Jenar.

"Terlebih, Nona handal dalam memberikan kepuasan pada ….”

Jenar menggeleng, tapi Mada justru makin membuatnya serba salah.

Dengan usil, Mada meraih sebuah spidol besar yang dia buat dalam posisi tegak serta menggerakan jemarinya naik dan turun.

“Hal-hal tertentu. Benar, ‘kan?” ucapnya dengan menyeringai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Satu Buket Bunga Besar

    "Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Lelaki Berteman Luka

    "Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Mencium Penuh Nafsu

    "Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Laki-Laki Parlente Mencurigakan

    "Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Will You Be My Wife?

    "Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Hei, Penculik Tampan!

    “Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status