Natya Beno atau Natya Daksa? Xixixixi. Jangan lupa kasih vote dan komentar ><
Natya hanya termenung mendengar pengakuan Daksa yang terlalu mendadak. Wanita itu berdeham sekali untuk mencairkan perasaan kikuknya. Dewi keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Natya. Karena ketika dirinya tidak tahu harus menjawab apa, suara alarm di ponselnya yang berjudul 'Jam makan siang sudah habis' berbunyi."Ah, jam makan siangnya udah selesai. Aku, eh, maksudnya saya harus balik ke kantor. Kalau begitu, saya permisi duluan." Natya bangkit, cepat-cepat meninggalkan warteg yang diselimuti suasana canggung itu."Natya."Natya berhenti ketika Daksa memanggil namanya. Namun dia tidak berniat untuk membalikkan badan."Kali ini kamu enggak muntahin makanannya. Apa aku boleh berspekulasi kalau masakan aku ada yang salah? Jadi lain kali aku akan minta kamu untuk jadi pencicip menu baru restoran aku."Natya tidak menjawab apapun. Wanita itu langsung melengos pergi begitu saja. Ada perasaan khawatir muncul dalam dirinya. Tentang semua luka yang pernah dialaminya dan membuatnya ada
Natya termenung menatap layar ponselnya yang menyala. Getaran tidak juga berhenti meski Natya sudah mengabaikan panggilan dari Daksa. Nita berdiri di sisi tempat tidurnya sambil mendesah pelan."Nat, angkat aja lah.""Gue enggak tahu harus ngomong apa.""Mungkin dia ada perlu." Nita mendesak."Ada perlu apa dia sama gue jam delapan malem gini? Ngajak sleep call?""Meneketehe. Makanya angkat!"Merasa telinganya panas karena omelan Nita. Dengan setengah enggan Natya menggeser layar hijau pada ponselnya."Halo?""Akhirnya diangkat juga.""Ada perlu apa?"Terdengar dehaman pelan dari seberang telepon. "Ehm, maaf kalau aku ganggu waktu istirahat kamu—""Girls talk, actually," potong Natya."Oke. I'm sorry for that. Dan aku pikir ini sedikit memalukan.""Oke. To the point, please?" "Kamu ingat adik perempuan aku waktu kamu datang ke sini?""Oh, ingat. Adira, kan? Kenapa?""Dia mau ketemu kamu lagi. Ini dia ada di sebelah aku, kalau kamu mau bicara sama dia …" terdengar suara Daksa yang sedi
Aditya berdiri di hadapan Natya. Sementara wanita itu hanya mengepalkan tangan sebelum menyingkir dari hadapan pria itu. Nita di belakangnya juga tidak bertindak apapun."Natya." Aditya mencekal tangan Natya sebelum dia benar-benar pergi."Lapas," ucap Natya datar."Nat, sebentar aja. Gue mau ngomong.""Lepasin!" Natya berontak sekuat tenaga. "Tangan lo nanti kotor nyentuh cewek murahan kayak gue." kalimat sarkasme dilontarkan olehnya."Waktu itu gue enggak bermaksud ngomong sekasar itu, Nat. Maaf."Natya tidak menggubris Aditya. "Nit, gue enggak tahu harus marah atau kecewa sama lo. Tapi buat saat ini, jangan muncul di hadapan gue dulu," ucap Natya mutlak tanpa ingin dibantah."Natya, gue enggak—"Sebelum mendengar penjelasan Nita, Natya lebih dulu meninggalkan paviliun Nita. Tidak peduli meski Nita berteriak memanggilnya, atau ketika dirinya mendengar Aditya mencegah Nita mengejarnya. Wanita itu terus berjalan menyusuri gang sempit hingga menemukan jalan utama. Air mata jatuh tanpa
Natya dan Daksa memutuskan untuk makan di dalam mobil setelah menerima pesanan dari restoran siap saji. Daksa memilih memarkirkan mobilnya di sekitar kantor Natya agar tidak perlu terburu-buru seandainya wanita itu ada keperluan mendadak. “Kamu lagi ada masalah?” Natya yang sedang membuka bungkus burger yang mereka beli dari salah satu restoran fast food, menoleh begitu Daksa membuka suara. “Hng? Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” “Sebenernya aku mau nanya dari awal ketemu kamu di lobi. Mata kamu kelihatan bengkak.” Natya spontan menyentuh kelopak matanya. “Oh ini … karena saya begadang semalaman buat nyelesaiin kerjaan.” tentu saja itu jawaban dusta dari Natya. Daksa hanya mengangguk-angguk. Membiarkan dirinya dan Natya untuk sama-sama mengganjal perut. Daksa menyalakan pemutar musik di dalam mobilnya. Lantunan suara gitar terdengar menciptakan nada untuk lagu yang dinyanyikan oleh Westlife. “Hm! More than Words!” meski sedang mengunyah, Natya dengan spontan berucap begitu mengetahu
‘Iya. Kita mulai dari berteman, ya.’ Kalimat yang diucapkan Daksa berhasil menghantui Natya selama dua hari ini. Bukan karena jantungnya yang berdebar, atau perutnya yang tergelitik, tapi karena kata ‘berteman’ yang membuat kepalanya memikirkan hal lain. Nita. Entah pertemanannya dan Nita bisa dikatakan awet atau tidak, karena mereka sudah bersama sejak duduk di bangku SMA. Meski dalam prosesnya mereka melewati berbagai hal, dan pertengkaran adalah salah satunya. Namun kasus kali ini sedikit berbeda, karena ini adalah sesuatu yang sangat mempengaruhi hidupnya. Natya mengulang kejadian di mana dirinya melihat sosok Aditya—mantannya—berdiri di depan pintu paviliun sahabatnya. Saat itu Natya tidak bisa memikirkan hal lain kecuali merasa dirinya dikhianati. Bukan pertama kalinya Aditya menginterupsi kedamaian pertemanannya dan Nita. Tapi kali ini sedikit berbeda, karena ribuan pertanyaan dan spekulasi singgah di kepala Natya. Bagaimana Aditya bisa ada di sana? Apa Aditya tahu dirinya s
Natya duduk di dalam salah satu bar. Di depannya sudah ada segelas Raspberry Martini—jenis red cocktail yang terbuat dari vodka, sirup rasberi, serta jus lemon—ketiganya yang masih penuh, dua gelas lainnya sudah kosong. Sudah tiga kali helaan napas keluar dari bibirnya. “Hah … gue enggak nyangka kalau uang yang gue cari pakai keringet dan air mata, bakal gue buang-buang buat minum.” kemudian Natya tertawa setelah berbicara dengan udara. Ya, Natya pergi ke bar sendirian. Usai mengetahui perasaan Nita yang selama ini disembunyikan, Natya mengakui dirinya butuh sesuatu untuk menghilangkan beban dan stres di pikirannya. Sahabatnya itu ternyata selama ini berusaha menekan perasaannya. Namun Natya tetap merasa dikecewakan karena perkataan Nita seperti mengartikan bahwa ini semua salahnya. “Hah … manis,” ujar Natya setelah kembali meneguk minumannya. Natya menepuk kedua pipinya. “Gue enggak boleh mabok!” kemudian mengangguk-angguk. Dirinya tidak menyadari bahwa saat ini wajahnya sudah mem
“Jadi, kamu berantem sama sahabat kamu karena dia ternyata sahabatan sama mantan kamu?” Setelah tangisan Natya mereda, dia menceritakan apa yang sedang terjadi. Butuh banyak pertimbangan sebelum cerita itu mengalir dari mulutnya. Tetapi hatinya mengatakan bahwa Daksa adalah orang yang akan menjaga rahasianya. Bersama Daksa, dia aman. Natya mengangguk, tapi kemudian menggeleng. “Bukan gitu. Saya enggak masalah kalau emang mereka sahabatan. Toh dari awal sebelum ketemu saya, mereka udah temenan lama. Tapi masalahnya, sahabat saya ini seakan bilang kalau tindakan saya salah padahal yang mutusin hubungan bukan saya.” “Jadi kamu kecewa karena sahabat kamu itu malah berpihak ke mantan kamu?” Natya mengangguk. Entah karena jalan pikiran penulis selalu lancar sebab adanya daya imajinasi, atau karena pengalaman Daksa soal ini lebih banyak darinya. Tapi Natya mengagumi cara Daksa menangkap ceritanya. “Kalau gitu … karena sahabat kamu enggak berpihak ke kamu, aku bakal ada di pihak kamu.” “
Keesokan harinya, Natya kembali bekerja. Baru saja duduk di kursinya, Natya mendapat panggilan dari Bu Retno untuk datang ke ruangannya. Wanita itu 100 persen yakin bahwa bu Retno akan menginterogasinya tentang rencana kerja yang akan dilakukan Daksa. Dengan memantapkan tekad, Natya melangkah masuk ke dalam ruangan bu Retno dengan senyum profesionalnya. Natya mengetuk pintu, lalu terdengar suara bu Retno yang mempersilakannya untuk masuk. Natya melangkah pasti ke dalam ruangan Kepala Redaksinya itu. “Selamat pagi, Bu.” “Natya, duduk-duduk sini.” nada suara bu Retno terdengar sangat senang, seperti baru mendapatkan lotre senilai satu miliar. Natya duduk di single sofa sebelah kanan. “Jadi gimana? Kemarin kamu sudah berhasil mendapatkan tanda tangan kontrak dengan penulis Shasaka?” “Sekarang beliau ingin menggunakan namanya, Bu, menjadi penulis Daksa. Tetapi kontrak kerja pertama tetap harus ditepati untuk tidak menyebarkan informasi pribadi penulis Shasaka.” “Iya, saya ingat. Jad