Share

Part 7

"Laras hamil."

"Haa? Apa? Hamil? Nggak, itu nggak mungkin. Gimana dia bisa hamil. Katamu, kalian sudah sebulanan lebih tidak berhubungan bagaimana bisa? Pasti ini akal-akalan kamu aja 'kan? Jawab, Mas!"

"Ini serius, Sayang. Laras hamil. Aku menyentuhnya tepat waktu kamu mengatakan semuanya itu. Setelahnya nggak pernah lagi."

"Aku nggak percaya, Mas. Bagaimana bisa coba."

"Ya, jelas kamu nggak percaya. Orang kamu nggak pernah hamil!"

"Apa? Jahat kamu, Mas! Tega kamu bicara seperti itu sama aku, Mas!"

Sambungan telepon di putus sepihak oleh Annisa. Amarahnya tak bisa lagi dikendalikan. Kabar yang disampaikan Ibra, sangat-sangat menyakitkan baginya. Rasa takut kehilangan Ibra semakin terpampang nyata di pelupuk matanya.

Ibra tidak mempedulikan Annisa yang merajuk. Di pikirannya ini adalah bagaimana merebut kembali apa yang sudah hilang sebulan lebih ke belakang. Dia begitu kehilangan sosok Laras yang hangat ketika bersama dirinya. Kehamilan Laras saat ini akan dia manfaatkan dengan sebaik mungkin.

Usai sholat Subuh, Ibra memutuskan untuk tidak lanjut tidur lagi seperti biasanya. Dia memilih berkutat di dapur mempersiapkan sarapan pagi bagi dua wanita yang menemani dirinya sejak belum menjadi siapa-siapa.

Kelam beranjak pergi diganti dengan sinar matahari. Dingin menusuk kalbu berganti hangat. Laras keluar bersama Kinara. Semenjak pulang dua hari yang lalu, Laras memilih tidur dengan Kinara ketimbang dengan dirinya.

"Wah, papa rajin sekali. Pagi-pagi sudah menyiapkan sarapan."

"Iya, dong, Sayang. Demi mama dan kamu, papa akan lakuin semuanya."

Laras tak berkomentar apapun, wajahnya pun tak enak dilihat. Mungkin hatinya sudah mulai membeku.

"Dik, aku hari ini agak sibuk. Sehabis ngantar Kinara ke sekolah, aku juga mau lihat lowongan pekerjaan, sekalian langsung di antar. Doain, ya!"

Laras tak merespon, meski dia berdiri di teras rumah semata bukan ingin mendengar apa yang dikatakan Ibra, melainkan hanya sekedar melepas Kinara yang sudah sejak tadi berada di dalam mobil.

"Pa, ayuk berangkat! Nanti macet, Nara tidak mau telat ke sekolah!" seru gadis berlesung pipi itu.

***

"Aku hamil, Din."

"Haa? Serius? Masya Allah, rezeki yang nggak disangka-sangka itu, Ras."

"Tapi aku berat nerimanya, kenapa juga aku harus hamil, Din."

Laras menghubungi Dinda, ketika setelah setengah jam Kinara berangkat ke sekolah.

"Hmm ... kenapa musti begitu? Mana tauan dengan hamilnya kamu, Ibra jadi berubah. Mana tauan juga dia menceraikan adik madumu itu, Ras."

"Aku nggak berharap apa-apa lagi, Din."

"Eh, nggak boleh gitu. Kalau Ibra berubah, kamu, Kinara, dan calon dedek bayi akan jadi keluarga yang utuh."

"Entahlah, Din. Eh iya, kalau ada seminar lagi kabarin aku, ya!"

"Iya, tenang aja. Nanti kalau ada pasti aku kabari kamu."

Semenjak Laras tahu kalau Ibra mengkhianatinya, Laras mulai mengasah diri, menimba ilmu dalam segi berbisnis. Selama ini, dia sengaja tak melakukan itu, karena ingin menjadi istri serta ibu yang cuma ada untuk Ibra juga Kinara.

Hari-hari Ibra habiskan dengan fokus mengurus Kinara, juga urusan rumah tangga, Ibra melarang Laras melakukan apapun kecuali bermain dan menemani Kinara belajar juga mengaji. Selebihnya, Ibra yang turun tangan. Selagi dia belum mendapatkan pekerjaan.

Ibra juga membuktikan ucapan yang dia lontarkan pada Annisa lewat sambungan telepon. Setiap Annisa menelepon tak pernah diangkat memang baru seminggu berlalu sejak hari itu.

"Dik, hari ini aku mau ngantar surat lamaran. Doakan, ya!"

"Iya." Laras hanya menjawab sekenanya, tapi membuat Ibra sangat bahagia. Akhirnya, Laras merespon juga.

"Semoga kamu bisa memaafkan aku, Dik. Mas akan berubah demi anak kita." Satu kalimat yang diucapkan Ibra sebelum pergi meninggalkan rumah.

***

"Dia hamil, Bu. Mas Ibra sekarang semakin cuek sama aku."

Liana akhirnya menghubungi Nani, ibunya. Dia kehilangan akal untuk mengatur strategi apa selanjutnya.

"Makanya, lain kali, sebelum ngelakuin hal itu dipikir dulu, banyak rugi atau untungnya nggak. Ini kamu sama aja cari masalah, Li."

"Iya, Bu. Aky ngaku bodoh, udah ceroboh ambil tindakan. Tapi sekarang aku harus ngapain, Bu. Dia bunting, otomatis akan sulit bagi aku misahin mereka."

"Ya udah kamu, pura-pura hamil dong. Biar sama, biar Ibra bisa fokus ke kamu juga."

"Gimana caranya, Bu."

"Ya ampun, Liana. Nanya caranya, kamu masih nanya sama ibu. Giliran yang enak-enak kami bisa, giliran begini, otakmu ngadat. Cari tahu aja sendiri gimana caranya!"

Setelah menelepon dengan ibunya, Liana berpikir keras. Mengatur strategi agar ide yang disampaikan ibunya berjalan mulus tanpa cela.

'Tunggu ya, Mas, aku akan buat kamu lebih memihakku!'

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Sepmi Tanda
resiko punya bini dua. ya. moga Ibra akan tetap tegas dan komit sesuai janji.
goodnovel comment avatar
Alamsyah
jahat banget sih
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Ibu sama ank sama aza
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status